Sosok Kiai itu Kini Meninggalkan KPAI

31 Juli 2017 19:59 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Asrorun Niam (Foto: Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Asrorun Niam (Foto: Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
Enam tahun sudah Asrorun Niam duduk di kursi pimpinan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Sejak 2011, Niam, yang juga pengajar di UIN Jakarta ini menjadi Wakil Ketua KPAI.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pada periode 2014-2017, Niam duduk di kursi Ketua KPAI. Pria kelahiran Nganjuk 41 tahun lalu ini, tak hanya menjabat sebagai Ketua KPAI. Niam juga menjabat sebagai Sekretaris Komisi Fatwa MUI dan juga di Katib Syuriah PBNU.
Tak heran kalau koleganya, yang juga aktivis perlindungan anak, Reza Indragiri menyebut Niam sebagai kiai di KPAI.
Hari ini, Senin (31/7) Asrorun Niam resmi mengakhiri jabatannya sebagai Ketua KPAI. Serah terima jabatan dilaksanakan di Hotel Aryaduta Jakarta, dan dihadiri oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohanna Yambise serta pejabat dari berbagai kementerian.
Dalam sambutan serah terima itu, Niam menegaskan, selama dua periode mengemban amanah di KPAI, dirinya merasa dunia perlindungan anak sudah menjadi bagian jiwanya.
ADVERTISEMENT
Asrorun Niam (Foto: Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Asrorun Niam (Foto: Dok. Pribadi)
"Masalah perlindungan anak, bagi saya, bukan sekedar memenuhi tugas profesional. Tetapi menjadi panggilan jiwa. Karenanya, saya juga menitipkan kepada komisioner baru, perlu mencurahkan jiwa raga dalam mengemban amanah baru ini," tegas Niam.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohanna Yambise juga mengakui keberhasilan KPAI di bawah kepemimpinan Asrorun Niam.
"Saya mengucapkan selamat mengakhiri tugas dengan sukses kepada Pak Niam dan kawan-kawan. KPAI di bawah Pak Niam sangat dinamis dan terus bersinergi dengan Kementerian. Saya sering bareng dengan Pak Niam menangani kasus-kasus anak bersama," ujar Yohana.
Asrorun Niam, Ketua KPAI. (Foto: Antara/Rivan Awal Lingga)
zoom-in-whitePerbesar
Asrorun Niam, Ketua KPAI. (Foto: Antara/Rivan Awal Lingga)
Kembali ke soal sosok Kiai, Reza Indragiri menyampaikan pendapatnya tentang sosok Niam:
Sekian persen sel otak Niam adalah sel otak akademisi. Wajar, karena dia orang kampus. Wawasannya kompleks. Keberaniannya membangun spekulasi pun ditopang argumentasi dalam takaran memadai.
ADVERTISEMENT
Sekian persen sel otak Niam lainnya berakrobat laksana sel otak politisi. Dia tidak hanya mahir memaparkan gagasan, tapi juga lincah menangkis serangan. Bahkan menyerang balik lawan bicaranya. Artikulasi Niam sedemikian rupa terlihat, misalnya, ketika dia berada di ruang rapat Komisi 8 DPR RI. Cara kerja sel-sel otak Niam itu boleh jadi merupakan akibat langsung dari pengalamannya sekian lama duduk di belakang barisan pimpinan Komisi DPR yang mengurusi--antara lain--perlindungan anak, sebagai tenaga ahli di sana.
Selebihnya, mirip jamaah berthawaf, sejauh apa pun terpantul ke sana-sini sel-sel otak Niam tetap berputar berporoskan kiblat. Dalam isu apa pun, kalau kita cermati, warna keislaman tak pernah tanggal dari pemikirannya. Bahkan jangankan saat Niam berbicara. Ketika dia diam sekali pun, saya tidak menemukan kalimat lain kecuali bahwa ekspresi wajahnya sudah mengesankan NU sekali.
ADVERTISEMENT
Mekanisme kerja sel otak ala kyai itu justru sangat dibutuhkan. Apa pasal?
Blak-blakan saja; saya menangkap ada kalangan di kancah perlindungan anak yang tempo-tempo melakukan manuver yang justru bertolak belakang dengan kepentingan anak. Dalam isu pelarangan minuman keras, misalnya. Pihak-pihak tersebut berkampanye bahwa alkohol bukan penyebab aksi-aksi kejahatan--termasuk kejahatan seksual--terhadap anak. Padahal, sudah banyak anak-anak yang cedera parah bahkan mati mengenaskan di tangan pelaku yang menenggak minuman keras. Juga ada bertimbun-timbun hasil studi di dunia yang memastikan minuman keras sebagai faktor di balik banyaknya tindakan memviktimisasi anak.
Niam tidak beringsut sedikit pun. Betapa pun dia sekian kali digugat di ruang publik, Niam tetap kumandangkan ketegasannya bahwa minuman keras adalah penyebab nyata--tentu bukan satu-satunya--orang-orang menampilkan perilaku biadab terhadap anak-anak. Atas dasar itulah, pungkas Niam, pelarangan minuman keras perlu dikedepankan dalam produk-produk kebijakan.
ADVERTISEMENT
Begitu pula dalam masalah lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Mudah dibaca, ada kelompok-kelompok yang secara terorganisasi membangun opini bahwa LGBT bukan penyimpangan seksual. Narasi yang mereka ciptakan apalagi kalau bukan hak azasi manusia, cinta kasih, kesetaraan, toleransi, dan sejenisnya.
Niam, sambil menampakkan senyum dari balik misainya, tidak berkisar sejari pun. LGBT adalah kelainan seksual, demikian kunci Niam. Bahkan dalam sebuah obrolan, kami bersepakat bahwa kampanye LGBT yang diarahkan ke anak-anak merupakan bentuk kekerasan psikis dan seksual. Anak-anak harus dilindungi dari kekerasan tersebut. Itu berarti, individu-individu yang melakukan kampanye semacam itu patut dipandang sebagai pelaku kekerasan terhadap anak. Dan kepada mereka, para pelaku itu, sudah seharusnya diberikan ganjaran hukum.
Isu minuman keras dan LGBT di atas merupakan contoh adanya anasir-anasir ideologis yang secara nyata turut bermain di arena perlindungan anak. Alhasil, terlalu naif sesungguhnya apabila dipandang bahwa seluruh aktivis perlindungan anak bekerja semurni-murninya, setulus-tulusnya, semata-mata demi kepentingan anak itu sendiri. Niscaya ada kepentingan yang melawan arus. Yaitu, mereka yang bertolak belakang dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, serta memunggungi nilai-nilai luhur Pancasila dan pasal 28J ayat 2 Undang-Undang Hak Asasi Manusia.
ADVERTISEMENT
Untuk melawan anasir-anasir kontra-perlindungan anak tersebut jelas dibutuhkan petarung dengan amunisi komplit. Petarung yang bekerja dengan akal, hati, dan tangannya. Petarung yang argumentatif secara akademis, ligat bak politisi, berpendirian militan, namun tetap hangat menjalin pertemanan. Petarung yang memulai kerja besarnya dengan membongkar habis sindrom rendah diri kronis massal yang berlindung di balik dalih "silent majority" dan "silent is gold".