Stafsus Bidang Hukum Presiden Tegaskan KUHP Jamin Kemerdekaan Pers

10 Desember 2022 10:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Politisi PSI, Dini Shanti Purwono. Foto: Iqbal Maulana/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Politisi PSI, Dini Shanti Purwono. Foto: Iqbal Maulana/kumparan
ADVERTISEMENT
DPR telah mengesahkan Rencana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi KUHP. Meski demikian, masyarakat menilai ada banyak pasal-pasal bermasalah di KUHP.
ADVERTISEMENT
Salah satu kekhawatirannya adalah pasal yang mengatur kerja pers di KUHP. Muncul kekhawatiran KUHP baru berpotensi mengkriminalisasi wartawan.
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono menegaskan, KUHP baru tetap menjamin kebebasan pers.
“Mekanisme penyelesaian sengketa terkait pers tetap melalui Dewan Pers. Jika ada keberatan terhadap suatu pemberitaan media yang terdaftar di Dewan Pers, maka penyelesaiannya melalui mediasi Dewan Pers. Sejauh ini Mahkamah Agung konsisten menerapkan hal ini dalam perkara pidana maupun perdata yang menyangkut media. Jadi teman-teman wartawan tidak perlu khawatir dikriminalisasi,” kata Dini dalam keterangan pers, Sabtu (10/12).
Dini mengatakan, Pasal 6 huruf d UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah diadopsi ke Pasal 218 dan Pasal 240 KUHP yang baru.
ADVERTISEMENT
“Kritik merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, sehingga jelas tidak bisa dipidana,” ujarnya.
Ada 17 pasal yang dinilai dapat mengkriminalisasi wartawan dan mengancam kebebasan pers. Dini menjelaskan, pasal-pasal tersebut selama ini ada dalam KUHP versi lama.
Menurutnya, pasal-pasal tersebut bersifat umum. Sehingga tidak spesifik ditujukan kepada pers mengingat fungsi pers sebagai alat kontrol dalam sistem demokrasi.
“Presiden Jokowi sendiri pernah menyampaikan dalam forum perayaan Hari Pers Nasional bahwa pers memiliki peran sangat besar dalam pemerintahan, baik dalam mewartakan agenda pemerintah ataupun memberikan kritik atas kebijakan pemerintah,” jelas Dini.
“Sebagian dari 17 pasal itu sudah pernah diuji di Mahkamah Konstitusi. Keputusan MK itulah yang menjadi acuan para perumus KUHP baru dalam memformulasi ulang pasal-pasal yang bersangkutan agar menjadi lebih baik,” lanjut Dini.
ADVERTISEMENT
Di antaranya Pasal 188 KUHP baru tentang tindak pidana terhadap ideologi negara. Pasal ini sudah ada sejak KUHP lama dan dalam KUHP baru telah ditegaskan pidana khusus dalam hal ini bisa dihapuskan atau dibatalkan jika hal tersebut dilakukan untuk kepentingan ilmu pegetahuan dalam rangka mempelajari, memikirkan, menguji, dan menelaah.
Kemudian Pasal 218 KUHP baru tentang penyerangan harkat dan martabat Presiden, menurut Dini, perlu dicermati rumusannya sudah berbeda dengan Pasal 134 KUHP lama tentang Penghinaan Presiden yang sudah dianulir MK. Perumusan Pasal 218 KUHP baru telah sesuai dengan pertimbangan Putusan MK No 13-22/2006 tentang Pengujian Pasal 134 KUHP, yaitu dalam hal penghinaan dilakukan terhadap presiden selaku pejabat dapat menggunakan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum sebagai delik aduan.
ADVERTISEMENT
Lalu Pasal 240 KUHP baru tentang penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara deliknya bersifat aduan dan hanya bisa diadukan langsung oleh pimpinan lembaga negara yang dibatasi yaitu Legislatif (DPR, DPD, dan MPR) dan Yudikatif (MA dan MK). Sehingga menutup ruang bagi simpatisan atau relawan untuk melaporkan penghinaan terhadap lembaga negara.
“Jadi mohon agar para pihak membaca dulu pasalnya dengan jeli, pahami dulu substansinya dengan benar, jangan langsung panik karena kesalahpahaman dan lalu menebarkan kepanikannya tersebut kepada masyarakat,” pungkasnya.