LIPSUS Banjir Jabodetabek, COVER 1:1

Stafsus Menteri PUPR: Atasi Banjir Jakarta Perlu Niat Politik

27 Januari 2020 18:05 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana banjir yang merendam kawasan Kampung Pulo di Jakarta, Kamis (2/1).  Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
zoom-in-whitePerbesar
Suasana banjir yang merendam kawasan Kampung Pulo di Jakarta, Kamis (2/1). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Berbagai kebijakan yang dikerahkan oleh pemerintah pusat dan daerah belum mampu mengatasi banjir Jakarta. Ketika tahun 2020 baru memasuki hari pertama, beberapa wilayah langsung diuji oleh genangan banjir.
Salah satu banjir kritis berada di komplek perumahan Cipinang Melayu di Jakarta Timur yang terendam 1,5 meter. Padahal, wilayah itu tak jauh dari Banjir Kanal Timur yang dirancang sebagai proyek menghalau banjir. Proyek yang rampung tahun 2010 dan menghabiskan biaya Rp 600 miliar tak mampu melindungi permukiman terdekat dari banjir akibat curah hujan tinggi di malam pergantian tahun.
Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Bidang Air dan Sumber Daya Air Firdaus Ali mengakui jika penanganan banjir berlomba dengan masalah ekologis. Sayangnya, teknologi yang dibangun tetap saja kalah dengan penurunan kualitas lingkungan yang membuat Jakarta semakin rentan oleh banjir, seperti yang terjadi di Cipinang dan beberapa wilayah Jakarta Timur. “Teknologi Banjir Kanal Timur itu memakai hitungan lama,” kata Firdaus ketika ditemui kumparan di Kementerian PUPR, Kamis, (23/1).
Staf Ahli Kementerian PUPR, Firdaus Ali. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Padahal, pemerintah sudah melakukan berbagai perencanaan. Pemerintah kolonial Belanda pernah merancang Master Plan penanggulangan banjir ketika ibu kota masih bernama Batavia di tahun 1913. Setelah kemerdekaan, Pemerintah Indonesia terus memperbarui sistem antisipasi di tahun 1965, 1973, 1997, 2007, hingga yang terakhir 2014.
Pakar hidrologi Universitas Indonesia ini mengakui jika antisipasi banjir perlu dilakukan dari hulu dan hilir. Namun, masalah politik dan ego-sektoral kerap menjadi masalah. Berikut wawancara kumparan bersama Firdaus:
Kenapa banjir di Jakarta dan sekitarnya masih sulit untuk diatasi?
Bahwa banjir di Jakarta itu bukan hal baru. Sejak zaman Belanda, tahun 1856 juga sudah banjir. Abad 18, 17, 18, 19, sampai 20, banjir selalu ada. Tapi memang skalanya berbeda. Belanda mendesain kanal barat dengan kanal timur, karena dia itu sudah membayangkan bahwa beban Jakarta dalam menerima air lintasan nanti akan semakin besar.
Setelah Indonesia merdeka, kita kemudian mulai menata sistem drainase di ibu kota dan sekitarnya. Tahun 1973 kita punya masterplan banjir ibu kota. Kemudian 2007 kita revisi kembali. Terakhir kita keluar dengan konsep yaitu, NCICD, National Capital Integrated Coastal Development.
Sejauh ini bagaimana pelaksanaan program yang sudah direncanakan?
Kita berbagi tugas, ada yang merupakan tanggung jawab dan kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan juga kementerian lain. Lalu ada yang merupakan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah, baik itu kota/kabupaten atau provinsi-seperti DKI Jakarta.
Pembagian tugas tadi untuk apa? Untuk kita bisa sinergi, bisa kemudian kolaborasi, semua rencana tadi itu bisa dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Sampai 2017, setidaknya kita sudah dalam arah yang cukup jelas, yaitu di antaranya: kita membangun sistem pengendali atau namanya retensi di daerah hulu.
Lalu kita juga mendorong pemerintah kota dan kabupaten di daerah hulu untuk mengendalikan konversi ruang mereka. Jangan lagi pembukaan lahan yang akan mengubah koefisien air lintasan. Di dalam kota, kita juga berbagi peran. Misalkan normalisasi Ciliwung, Pesanggrahan, Krukut, Sunter, Angke. Ya itu adalah tugas fisiknya dibebankan ke APBN melalui PUPR. Pembebasan lahan dan pemindahan warga di sempadan sungai tadi itu adalah tugas DKI Jakarta.
Pemprov DKI kan juga punya tugas lain, menata kembali sistem drainase yang ada. Baik itu makro, mikro, saluran penghubung, kemudian normalisasi badan air yang ada. Lalu hal lain apa? Pompanya diganti, diperbarui, dibesarkan kapasitasnya, lalu rumah pompanya ditinggikan, kemudian pakai solar dipastikan ada. Dan ditambah pompa-pompa yang bisa dimobilisasi, disebut mobile pump.
Pemerintah DKI Jakarta juga harus menambah Ruang Terbuka Hijau. Kemudian Pemprov DKI membantu memperbesar kapasitas air hujan, misalkan dengan bikin sumur resapan. Bikin biopori, bikin sumur injeksi, bikin bidang resapan, atau yang lebih populer bikin drainase vertikal. Kerjakan semuanya.
Kondisi Villa Nusa Indah 2 Bekasi, pasca banjir pada 1 Januari 2020. Foto: Dwi Herlambang/kumparan
Apakah langkah-langkah tersebut sudah cukup untuk mengatasi banjir?
Jumlah air yang turun di Jakarta makin lama makin besar. Sehingga, kapasitas untuk kita meresapkan itu juga ada batas maksimumnya. Termasuk air yang datang dari hulu, makin lama makin besar.
Kita butuh saluran yang besar, untuk mengalirkan ke laut. Satu lagi. Jakarta itu adalah daerah yang terletak di pesisir, dan tidak menguntungkannya Jakarta itu sebagian elevasi Jakarta itu berada di bawah muka air laut dalam keadaan normal. Ini juga dalam 40 tahun terakhir ini ada juga ancaman yang sangat menakutkan itu adalah kita memiliki laju turun muka tanah yang paling tinggi, dan saya berani mengatakan saat ini Jakarta adalah kota dengan laju turun muka tanah tertinggi di dunia, setelah Meksiko City, Yokohama, Bangkok, kita adalah tertinggi sekarang.
Langkah untuk normalisasi bantaran kali hingga membangun kanal bahkan sudah digagas sejak zaman Belanda dan tetap saja menyisakan banjir. Kenapa dilanjutkan?
Sebetulnya tidak gagal, hanya tidak mencukupi. Karena apa? Karena kita butuh banyak kanal. Yang dibangun kan cuma satu kanal. Makanya pasca banjir tahun 2007 kita bangun kanal timur, dan itu belum cukup karena kita butuh kanal yang lain lagi.
Tahun 80, kita masih punya 78-an persen RTH di DKI Jakarta. Awal 80an. Sekarang kita punya kurang dari 10 persen, bayangkan saja kita mengkonversi ruang dengan cepat sekali.
Begitu kemudian diubah menjadi perkebunan, daerah komersial, air hujan akan sedikit yang meresap ke dalam tanah. Kalau dulu yang meresap adalah 90 persen, sekarang yang meresap hanya 10 persen dan yang dilimpaskan hampir 90 persen.
Saat ini ada perdebatan antara normalisasi dan naturalisasi sungai. Menurut keadaan di Jabodetabek, mana yang paling efektif?
Normalisasi badan air, sungai bendungan atau waduk, setu, untuk mengembalikan kapasitas tampung atau kapasitas alir badan air tadi sehingga dia mampu menampung atau mengalirkan debit air yang dengan intensitas hujan yang tinggi. Dalam pelaksanaan normalisasi ya karena dikembalikan kapasitasnya jadi ya akan ada pengerukan, pelebaran, lebar sungai, ada penguatan tanggul kiri kanan yang sifatnya vertikal dengan menggunakan beton
Konteks naturalisasi lebih kepada fungsi estetika. Yaitu dengan membuat sungai berkelok-kelok, landai sekali, batu-batuan rumput tanaman, ada jembatan ada tempat rekreasi di sana, air ditahan lama, air bisa meresap ke tanah,
Tetapi di daerah perkotaan, normalisasi adalah fungsi estetika, sebab kalau dia difungsikan sebagai pengendali banjir ya debit masif itu tidak akan mungkin kita tahan, seberapa lama kita tahan di naturalisasi tadi? Kekurangannya apa? Dia butuh lahan yang sangat luas. Pertanyaanya, mampu enggak kita membebaskan ruang 100 meter ke kiri dan kanan. Untuk normalisasi melebarkan sungai 10 meter aja kita strugglenya setengah mati.
Infografik Banjir Jakarta. Foto: Dimas Prahara/kumparan
Jadi menurut Anda, sangat sulit melakukan naturalisasi di DKI Jakarta?
Persoalan kita di Jakarta ketersediaan ruang. Kalau kita punya kemewahan ruang, misalkan begini, saya berandai-andai gubernur DKI Jakarta mengeluarkan perda yang disetujui pemerintah pusat, semua bangunan di kiri kanan sungai 100 meter dirobohkan, dan diganti untung, kemudian kita bikin konsep yang ditawarkan oleh Gubernur Anies Baswedan tadi, kita punya konsekuensi fiskal bahwa kita akan membebaskan lahan sebesar mungkin dan kita pindahkan bangunan gedung yang ada di sekitar sungai tadi, tetapi itu belum cukup
Kenapa? karena saya katakan beban lintasan karena konversi ruang di hulu itu semakin lama semakin besar, kita belum bicara dampak perubahan iklim. Kenapa? perubahan iklim akan meningkatkan intensitas curah hujan. Jadi dua hal, konversi ruang resapan itu memperbesar air limpasan, tanpa perubahan iklim saja kita buka ruang di hulu akan membuat debit lebih besar ke Jakarta.
Ditambah ada dampak perubahan iklim yang memicu anomali cuaca lokal yang bikin curah hujan sangat ekstrem sekali, seperti pergantian tahun kemarin gitu. Itu baru 377 milimeter di Halim, 345 di Taman Mini, itupun tidak merata sebetulnya, Tomang itu cuma 208. Coba merata 300 kebayang, Jakarta ini tenggelam. Jadi simpel sekali menjelaskannya.
Batas beton di Sungai Ciliwung, Condet, Jakarta Selatan. Foto: Rina Nurjanah/kumparan
Normalisasi sungai seperti yang dilakukan di Ciliwung ternyata masih menyisakan banjir.
Kalau ada yang kemarin mengatakan, itu sudah dinormalisasi kok tergenang juga, karena baru setengahnya dinormalisasi. Baru sebelahnya, ya jelas, coba kalau dua-duanya. Kenapa, normalisasi bukan hal yang baru, karena di manapun juga dilakukan. Di Bangkok pasca banjir besar yang melanda awal 2010 kalau nggak salah, itu dilakukan normalisasi. Di banyak negara, ini bukan hal yang baru kok.
Jadi yang kita normalisasi tidak hanya Ciliwung. Pesanggrahan juga, Krukut juga, Sunter juga. Semuanya yang merupakan badan air sungai kali yang potensi menimbulkan genangan dan banjir, memang harus dinormalisasi.
Banjir tahun 2007, 2013, Istana terendam air kan. Sehingga fokusnya kelihatan sekali di Ciliwung. Makanya kita sepakati pasca banjir 2013 itu adalah menormalisasi Ciliwung mulai dari jembatan Tol TB Simatupang sampai ke pintu air Manggarai. Totalnya kira-kira 33,6 km.
Presiden Joko Widodo memimpin Ratas terkait penanganan banjir di Istana Negara, Jakarta, Rabu (8/1). Foto: Kevin S Kurnianto/kumparan
Sejauh mana intervensi untuk menahan laju alih fungsi lahan di daerah hulu?
Dalam level itu kita hanya berusaha menahan. Lalu kemudian kita juga berusaha melakukan intervensi yang sifatnya struktural, yaitu membangun waduk retensi.
Jadi koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah masih menjadi kendala?
Jadi presiden memanggil 3 gubernur, dengan berapa bupati dan walikota ke Istana, kira-kira 2 minggu yang lalu pasca banjir awal tahun. Dan gubernur diminta untuk berkoordinasi sesama gubernur dengan bupati dan pemerintah pusat. Fokus kepada program yang sudah direncanakan, dan presiden klir sekali mengatakan, mau normalisasi mau naturalisasi, tapi itu dikerjakan.
Komitmen dari pemerintah daerahnya harus kuat. Kalau pemerintah daerahnya tidak ngapa-ngapain ya kan juga tidak bisa mengambil alih apa yang sudah kita delegasikan tadi.
Normalisasi kalau kita kerjakan dengan benar, kemudian pemerintah Kota Bogor Kota Depok, Kabupaten Bogor, kemudian Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi kita beri penguatan teknis dan fiskal untuk memperbesar ruang terbuka hijau dan biru, dan memperbesar kapasitas resapan yang akan kita nikmati jangka panjang.
APBD DKI Jakarta, APBD Kota dan Kabupaten dan daerah penyangga tadi dialihkan costnya untuk pengelolaan daerah resapan tadi. Kita lihat politik anggarannya, jangan kemudian berteriak tapi tidak mengalokasikan dana pengelolaan banjir sama dengan bohong.
Pemerintah pusat ya tentunya harus berbagi dengan 34 provinsi. Jadi Indonesia itu tidak hanya Jakarta. Indonesia itu ya ada tanggung jawab kita di Papua, tanggung jawab kita di Aceh sana, tanggung jawab kita di Sulawesi Utara, kita punya semua yang merupakan tanggung jawab yang kita juga bangun, kita jaga mereka dari ancaman bencana hidrometeorologi yang semakin lama semakin tinggi intensitas dan risiko yang kita hadapi.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meninjau kerja bakti besar-besaran cegah banjir Jakarta. Foto: Instagram/@dinaslhdki
Banyak sekali wacana proyek antisipasi banjir, seperti pembangunan gorong-gorong raksasa dan tanggul. Namun semuanya tak terlaksana. Apa hambatannya?
Sekarang ini kan kita menguasai ruang air. Kita jangan egois. Ruang air adalah milik air. Dia akan datang. Jadi jangan kemudian memaksakan diri kita mengokupasi ruang air.
Konsekuensi mengokupansi ruang air ketika musim hujan datang dengan curah hujan tinggi, sudah pasti akan terendam air tadi. Artinya apa? Masyarakat ini harus dipindahkan dengan dignity ke tempat yang lebih aman.
Persoalan yang kita hadapi. Karena pertumbuhan kota semakin pesat. Kita sudah mengokupansi ruang tempat pulang basamonya air. Artinya apa? Di sini kita harus mencarikan ruang pengganti air tadi. Solusinya apa? Ya di luar negeri itu mereka nggak ada lagi ruang di permukaan, idealnya bangun bendungan di permukaan. Bangun sungai baru, kanal. Tapi kan tidak mungkin dilakukan di Jakarta. Opsinya apa? Kita membangun sungai di bawah tanah.
Teknologinya apa? Seperti kita bikin MRT. Kita bikin terowongan seperti yang dibikin di Singapura, Kuala Lumpur, Tokyo, Chicago, Hong Kong, bikin sungai baru di bawah tanah. Tujuannya untuk mengalirkan air secepat mungkin. Katakanlah air kelebihan di laut.
Lalu kemudian ada opsi lain. Membangun ground reservoir. Reservoir di bawah tanah. Di lapangan sepak bola di bawahnya dibikin reservoir katakanlah menampung 100 ribu meter kubik. Atau kemudian di Tokyo dibawa ke dalam sekali bisa menampung 2 juta meter kubik air. Kalau hujan turun, air disimpan, ketika tidak hujan air diambil sebagai air baku untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
Namun teknologi ini memang mahal sekali. Tapi Tokyo nggak pernah kebanjiran. Tokyo jauh lebih banyak dibanding kita. Mungkin ruang terbuka Tokyo sedikit lebih besar dari kita ya. Tapi mereka tidak pernah mengalami kebanjiran yang seperti kita alami.
Artinya, secara teknologi banjir itu memang bisa diselesaikan. Hanya membutuhkan komitmen yang kuat dengan biaya yang tidak sedikit. Tapi kan tadi, kita terkendala pada keputusan politik dan kemauan untuk mengambil keputusan di sana tadi.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten