Studi AS: Vaksin Janssen dengan Booster mRNA Hasilkan Respons Antibodi Kuat

13 Oktober 2021 21:06 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi vaksin corona Johnson & Johnson. Foto: Dado Ruvic/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi vaksin corona Johnson & Johnson. Foto: Dado Ruvic/REUTERS
ADVERTISEMENT
Penggabungan penggunaan vaksin corona Johnson & Johnson (Janssen) dengan vaksin berplatform mRNA, dilaporkan memiliki hasil yang menjanjikan. Temuan tersebut dipaparkan dalam data milik Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat (NIH).
ADVERTISEMENT
Pemaparan data NIH itu dilaporkan oleh media AS Axios pada Selasa (12/10). NIH akan mempresentasikan data yang dimilikinya di hadapan Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) pada Jumat (15/10) mendatang.
Orang yang menerima vaksin dosis tunggal Janssen dan kemudian disuntik dosis tambahan (booster) dengan vaksin mRNA, disebut akan memiliki respons antibodi penetralisir yang lebih kuat.
Dalam kata lain, kemampuan antibodi dalam melawan virus penyebab COVID-19 akan jauh lebih baik.
Namun, dalam studi NIH itu, terdapat limitasi atau keterbatasan.
Antibodi penetralisir hanya mencegah virus COVID-19 memasuki sel tubuh dan bereplikasi (memperbanyak diri). Selain itu, masih belum diketahui berapa lama respons kuat akan bertahan di tubuh.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden usai menerima vaksin dosis ketiga (Booster) menggunakan Pfizer di Gedung Putih, Washington, DC, Amerika Serikat. Foto: Brendan Smialowski / AFP
Vaksin Pfizer dan Moderna merupakan vaksin berplatform mRNA (messenger RNA). Sedangkan vaksin Janssen merupakan vaksin non-replicating viral vector, atau menggunakan vektor virus yang tidak bereplikasi.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Reuters, perusahaan Johnson & Johnson saat ini tengah mengajukan izin kepada FDA agar vaksin dosis tunggalnya dapat digunakan sebagai booster. Perizinan tersebut akan dibahas pada Jumat mendatang.
Di antara dua vaksin mRNA itu, baru Pfizer yang sudah mendapat izin FDA untuk dijadikan vaksin dosis booster. Sedangkan diskusi soal Moderna sebagai booster baru akan dibahas.
Para ahli mengatakan, vaksin Moderna tidak memenuhi kriteria FDA untuk menjadi dosis booster.
Hal ini mungkin disebabkan efikasi vaksin Moderna pada dosis pertama dan kedua terbukti tetap kuat, tak seperti Pfizer yang efikasinya merosot setelah enam bulan.