Studi: Donald Trump Peringkat Teratas Penyebaran Misinformasi soal Corona

2 Oktober 2020 4:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden AS Donald Trump dalam debat kampanye presiden 2020 pertama dengan calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden di Cleveland, Ohio, AS, Selasa (29/9). Foto: Jonathan Ernst/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Presiden AS Donald Trump dalam debat kampanye presiden 2020 pertama dengan calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden di Cleveland, Ohio, AS, Selasa (29/9). Foto: Jonathan Ernst/REUTERS
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Cornell University, New York, AS, merilis sebuah studi mengenai penyebaran informasi yang salah (misinformasi) seputar corona pada Kamis (1/10) waktu setempat. Hasil studi tersebut menunjukkan Presiden AS, Donald Trump, berada di peringkat teratas dalam penyebaran misinformasi.
ADVERTISEMENT
Dilansir AFP, studi yang dilakukan Cornell Alliance for Science itu mengevaluasi sekitar 38 juta artikel yang diterbitkan media mainstream berbahasa Inggris di seluruh dunia dalam kurun 1 Januari hingga 26 Mei 2020.
Database yang digunakan mencakup artikel dari negara-negara seperti AS, Inggris, India, Irlandia, Australia, Selandia Baru, negara-negara Afrika dan Asia.
Tim kemudian mengidentifikasi sebanyak 522.472 artikel berita mengandung informasi yang salah terkait pandemi corona.
Ilustrasi positif terkena virus corona. Foto: Shutter Stock
Artikel yang mengandung misinformasi itu terbagi menjadi 11 sub-topik utama. Mulai dari teori konspirasi, serangan terhadap ilmuwan bernama Anthony Fauci, hingga gagasan bahwa corona merupakan senjata biologis yang diciptakan China.
Dari 11 topik utama misinformasi tersebut, paling teratas yakni 'penyembuhan ajaib' yang muncul di 295.351 artikel. Cornell Alliance for Science menyebut topik 'penyembuhan ajaib' merujuk pada pernyataan Trump saat menggelar konpers pada 24 April di Gedung Putih.
ADVERTISEMENT
Saat itu, Trump mengusulkan kepada ahli agar menciptakan cairan serupa disinfektan untuk disuntikkan kepada pasien corona. Sehingga pasien bisa cepat sembuh layaknya virus corona yang mati setelah disemprot disinfektan.
Tak hanya itu, Trump juga disebut telah menyebarkan misinformasi soal obat hidroklorokuin bisa mencegah corona. Padahal klaim Trump tersebut belum terbukti secara ilmiah.
"Oleh karena itu, kami menyimpulkan bahwa Presiden Amerika Serikat (Donald Trump) kemungkinan adalah pendorong terbesar dari informasi yang salah tentang COVID-19," tulis studi tersebut.
Direktur Cornell Alliance for Science, Sarah Evanega, yang memimpin penelitian itu menyatakan, informasi yang salah soal corona bisa membuat masyarakat tak lagi mengikuti panduan resmi.
"Jika orang disesatkan oleh klaim yang tidak ilmiah dan tidak berdasar tentang penyakit tersebut, mereka mungkin cenderung tidak mengikuti panduan resmi. Dengan demikian, lebih berisiko menyebarkan virus," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Sementara analis data Cision Insights yang menyediakan database penelitian, Jordan Adams, menyatakan topik misinformasi yang paling banyak menyebar selanjutnya yakni pandemi corona sengaja diciptakan untuk mempercepat "tatanan dunia baru".
Misinformasi berikutnya yakni pandemi corona merupakan tipuan untuk kepentingan politik Partai Demokrat AS. Lalu virus corona disebut sebagai senjata biologis yang dikembangkan laboratorium di Wuhan, China.
Ilustrasi hoaks Foto: Shutterstock
Kemudian misinformasi yang menyebut corona merupakan teori konspirasi yang dikaitkan dengan Bill Gates. Selanjutnya hoaks gejala COVID-19 disebabkan jaringan telepon 5G, teori konspirasi anti-Semit, dan gagasan bahwa virus adalah bentuk pengendalian populasi.
Melengkapi daftar misinformasi yakni adanya serangan terhadap ilmuwan AS Fauci, referensi ke video "Plandemi" yang dibantah, dan orang-orang China yang mengonsumsi sup kelelawar telah menimbulkan munculnya corona.
ADVERTISEMENT
Penelitian tersebut juga menemukan ada upaya untuk mengoreksi kesalahan informasi berupa artikel pengecekan fakta. Artikel cek fakta tersebut muncul sebanyak 183.717 kali selama periode penelitian.