Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Suara Hati Pedagang Tutut Usai Kasus KLB Keracunan di Tanah Baru Bogor
13 Juni 2018 15:09 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Korban keracunan tutut mencapai 108 orang, mereka dirawat di enam rumah sakit dan lima puskesmas. Namun kini sudah banyak korban yang telah kembali ke rumah.
Keracunan tutut tidak hanya memakan korban tetapi juga berdampak pada penjualan pedagang tutut. Seperti yang dirasakan Haryono, distributor tutut di Pasar Bogor. Haryono mengaku sejak kejadian keracunan tutut penjualannya menurun tidak seperti biasanya.
"Kalau bukan bulan Ramadhan perbulan itu bisa sampai Rp 6 hingga Rp 7 juta sudah bersih. Nah kalau bulan Ramadhan biasanya bisa sampai Rp 30 juta perbulan, perharinya bisa sampai Rp 7 juta," ujar Hayono saat ditemui kumparan, di Pasar Bogor, Rabu (30/5).
Sebelum tersebarnya isu keracunan olahan tutut, yakni selama 11 hari awal Ramadhan, Haryono bisa menjual 11 ton tutut. Menurutnya penjualan tutut di bulan Ramadhan selalu meningkat dibandingkan hari biasanya karena tutut merupakan makanan khas berbuka puasa.
Namun semenjak maraknya isu tersebut, Haryono mengaku untuk menghabiskan satu kwintal tutut saja ia merasa sulit. Tutut yang tidak terjual akan terbuang begitu saja, karena tutut tidak dapat bertahan lama. Tutut yang lama juga tidak bisa dijadikan pakan ternak bebek karena takut beracun.
ADVERTISEMENT
"Kemarin orang-orang sampai berebut minta dilayanin duluan, sekarang mah boro-boro mereka hilang gitu aja gara-gara kasus keracunan itu, jadinya saya buang di Kali Cisadane tutut yang mati dan tidak layak dijual," ujar Haryono.
Pria yang sudah 10 tahun berkecipung di dunia perjualan tutut ini kecewa dengan pedagang tutut olahan yang membuat warga keracunan. Haryono menyebut kasus ini tidak hanya berdampak pada penjulan tetapi juga pada para pencari tutut yang kehilangan pekerjaannya.
"Jadi saya dapat tutut dari mereka (pencari tutut). Nah sekarang si pencari tutut, banyak yang teleponin saya, kapan mereka bisa masok tutut lagi, ibu-ibu yang biasanya motongin pantat cangkang tutut juga jadi menganggur padahal sebentar lagi lebaran, kasihan mereka jadi tidak ada pemasukan," katanya.
ADVERTISEMENT
Meski isu keracunan tutut masih marak di telinga masyarakat, Haryono tidak putus asa untuk menjual tutut. Ia mengaku akan tetap menjual tutut sampai kapan pun, karena menurutnya tutut merupakan mata pencarian nomer satu selain usaha lainnya seperti menjual kolang kaling.
Haryono juga merasa memiliki tanggung jawab besar terhadap anak buahnya yang kehilangan pekerjaan karena hanya kasus keracunan ini.
"Saya akan perjuangin tutut ini dari awal lagi karena saya membawa orang banyak, kalau tututnya enggak laku kasihan mereka. Saya rela merintis dari awal, pertama demi saya dan keluarga, kedua demi pencari, demi anak buah saya," tuturnya.
Hal yang sama juga dilakukan Baceng, pencari tutut, meski pendapatannya menurun drastis ia akan tetap terus mencari tutut demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
ADVERTISEMENT
"Masih optimis tutut akan membaik, sampai saya lelah, sampai saya merasa nggak mau lagi," ujar Baceng saat ditemui kumparan di danau daerah Cibinong, Rabu (30/5).
Baceng sudah 17 tahun bekerja sebagai pencari tutut, ia mengaku baru kali ini menemukan kasus keracunan olahan tutut yang menyebabkan dirinya menganggur 5 hari tanpa ada pemasukan.
Ia berpesan bagi penjual olahan tutut matang untuk mengolah tutut dengan cara yang benar yakni membersihkan tutut sampai tidak ada lendir yang keluar dari cangkangnya.
"Pesan saya dicuci yang bersih sampai benar-benar air bekas cuciannya tuh bening. Dan semoga tidak ada kasus yang seperti ini lagi, karena pengaruhnya sama usaha kecil seperti saya dan rakyat kecil lainnya," pungkas Baceng.
ADVERTISEMENT
Ikuti terus perkembangan informasi tutut dalam topik khusus Tutut Beracun .