Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Sudah 7 Hakim Tipikor Diciduk, MA Butuh Evaluasi
8 September 2017 18:40 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, KPK menangkap tangan Suryani, seorang hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu yang menerima suap. Koalisi Pemantau Peradilan mencatat, Suryani merupakan hakim ketujuh yang diciduk karena uang dari orang yang sedang diadili.
ADVERTISEMENT
Sebelum Suryani, disebutkan ada beberapa hakim tipikor yang juga ditangkap karena kasus suap, antara lain Hakim Tipikor Bengkulu Janner Purba, Hakim Ad Hoc Tipikor Semarang Kartini Marpaung, Hakim Ad Hoc Tipikor Bandung Ramlan Comel, Hakim Ad Hoc Tipikor Pontianak Heru Krisbandono, Hakim Ad Hoc Tipiko Palu Asmadinata, dan Hakim Tipikor Semarang Pragsono.
Anggota Koalisi Pemantau Peradilan yang juga Koordinator Program PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia), Julius Ibrani, menilai catatan tersebut menunjukan lembaga peradilan masih sarat perilaku korup.
"Kerentanan tersebut terjadi karena model pengawasan hakim tidak dibangun dengan ketat bahkan cinderung tanpa pengawasan," kata Julius berdasarkan keterangan tertulisnya yang diterima kumparan (kumparan.com), Jumat (8/9).
Julius mengatakan, Mahkamah Agung selaku lembaga penaung hakim, tidak membangun perubahan untuk mencegah adanya perilaku korup. Para hakim malah cenderung berupaya melonggarkan pengawasan dengan mendukung revisi UU KPK.
ADVERTISEMENT
"Ikatan Hakim Indonesia justru mendukung revisi UU KPK yang terang-terang merupakan hasil dari upaya pelemahan KPK," ujarnya.
Karena itu, Julius meminta agar MA melakukan evaluasi internal. Khususnya untuk pembinaan hakim dan proses rekrutmennya. "Apakah proses rekrutmen telah dapat menjaring hakim Tipikor yang memiliki integritas. Serta apakah pembinaan hakim berhasil menanamkan nilai integritas kepada hakim, khususnya hakim Tipikor," jelasnya.
Proses evaluasi MA, disebut Julius, harus melibatkan Komisi Yudisial dan KPK.