Sukidi: Demokrasi dan Konstitusi Harus Selamat dari 'Permainan Kasar'

19 Juni 2024 20:06 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi publik dengan tajuk hukum sebagai senjata politik di Aula Grha STR, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (19/6/2024). Foto: Fadlan Nuril Fahmi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi publik dengan tajuk hukum sebagai senjata politik di Aula Grha STR, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (19/6/2024). Foto: Fadlan Nuril Fahmi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemikir Kebhinekaan, Sukidi, menyatakan dalam praktiknya, demokrasi harus diselamatkan dari populisme otoriter. Hal serupa pun terjadi pada konstitusi. Menurutnya, konstitusi harus diselamatkan dari permainan kasar.
ADVERTISEMENT
Hal ini disampaikan Sukidi dalam acara diskusi publik bertajuk Hukum sebagai Senjata Politik oleh NCMS di Aula Grha STR, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (19/6).
"Demokrasi harus dirawat, harus diselamatkan dari bahaya populisme otoriter. Begitu juga konstitusi, itu harus diselamatkan dari praktik permainan kasar konstitusional," ujar Sukidi dalam diskusi publik Hukum sebagai Senjata Politik, Rabu (19/6).
Ia juga mengatakan, di Indonesia terdapat figur yang sudah teruji pada perjuangan penegakkan konstitusi dan demokrasi.
"Bagaimana kita menyelamatkan demokrasi dan konstitusi? Pada ranah politik, kita memperoleh figur yang telah teruji dalam perjuangan, menegakkan konstitusi, menegakkan demokrasi. Kalau Ibu Sulis [guru besar UI] begitu bangga terhadap perjuangan perempuan, maka saya ingin memberikan satu contoh saja bagaimana seorang perempuan berjuang untuk menyelamatkan demokrasi dari bahaya populisme otoriter," ucap Sukidi.
ADVERTISEMENT
Sukidi mencontohkan Megawati Soekarnoputri sebagai sosok perlawanan praktik otoritarianisme dalam demokrasi negara.
"Untuk menyelamatkan konstitusi dari apa yang oleh Profesor Mark Tushnet di Harvard Law School disebut sebagai constitutional hardball. Seorang perempuan dan warga negara itu bernama Megawati Soekarnoputri. Megawati Soekarnoputri telah teruji dalam sejarah untuk melakukan kultur perlawanan terhadap otoritarianisme," tuturnya.
Pemikir Kebhinekaan, Sukidi saat diwawancarai wartawan di Aula Grha STR, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (19/6/2024). Foto: Fadlan Nuril Fahmi/kumparan
Ia menceritakan, pada perjuangan Megawati, masa itu reformasi akan diubah kembali menjadi otoritarianisme. Hal itulah yang kini sedang terjadi juga di Indonesia.
"Karena itu ketika reformasi ingin diputar balik ke arah otoritarianisme, yang dalam tradisi politik disebut sebagai the authoritarian turn dan itulah yang terjadi pada kita hari-hari ini," ungkap Sukidi.
Atas hal itu, Sukidi menilai sikap netral dan diam-diam namun bergerak merusak demokrasi menjadi simbol pengkhianatan dari cita-cita reformasi.
ADVERTISEMENT
"Maka sikap netral, sikap diam, sikap sembunyi adalah bagian dari pengkhianatan terhadap cita-cita pendiri bangsa dan juga cita-cita reformasi. Megawati Soekarnoputri memberikan satu sikap yang tegas," pungkasnya.