Profil Doktor Sukidi, Cendekiawan Muhammadiyah yang Disanjung Megawati

25 Mei 2024 11:32 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sukidi, cendekiawan Muhammadiyah sekaligus pemikir kebinekaan. Foto: Antaranews Kaltim/HO/PKT
zoom-in-whitePerbesar
Sukidi, cendekiawan Muhammadiyah sekaligus pemikir kebinekaan. Foto: Antaranews Kaltim/HO/PKT
ADVERTISEMENT
Dalam pidatonya di Rakernas V PDIP, Ketum Megawati Soekarnoputri, sempat menyinggung nama cendekiawan kebhinekaan, Sukidi Mulyadi. Nama Sukidi disebut-sebut saat Megawati membahas anomali demokrasi, seperti yang terjadi di proses revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
"Coba berpikir secara jernih, arif, dan bijaksana. Terjadinya anomali demokrasi dijelaskan oleh Dr Sukidi, pemikir kebhinekaan yang disegani. Sosok ini menjelaskan fenomena kepemimpinan paradoks yang memadukan populisme dan Machiavelli hingga lahir watak pemimpin authoritarian populism," kata Megawati dalam Rakernas V PDIP di Ancol, Jakarta Utara, Jumat (25/5).
Dalam karakter ini, menurut Megawati, hukum pun dijadikan pembenaran atas segala tindakannya. Hukum hanya menjadi alat bahkan pembenar dari ambisi kekuasaan.
"Inilah yang disebut pakar, autocratic legalism. Ini bukan saya yang ngomong, lho. Ini kan para pakar," tutur Megawati.
Lantas, siapakah sosok Sukidi yang disebut Megawati ini?
Sukidi Mulyadi, atau yang lebih akrab dengan panggilan doktor Sukidi, adalah seorang cendekiawan Muhammadiyah adalah anak seorang petani dari Sragen, Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Ia menyelesaikan program doktoralnya dari Universitas Harvard di bidang Kajian Islam dengan disertasi berjudul “The Gradual Qur’an: Views of Early Muslim Commentators”.
Sukidi sudah banyak menerbitkan karya tulis, baik dalam bentuk buku, jurnal ilmiah, maupun artikel. Dalam tulisannya, Sukidi banyak membahas soal demokrasi hingga isu HAM.
Salah satu tulisannya, "Malik Nggendong Lali," yang diterbitkan dalam Koran Kompas tanggal 16 Mei 2024, dibagikan oleh Mahfud MD dalam akun X-nya. Tulisan itu dibuka dengan cerita Megawati saat mendatangi pameran seni Butet Kertaredjasa.