Sulitnya KPK Menangkap Eks Caleg PDIP Harun Masiku, Seperti Apa Kasusnya?

26 September 2022 12:49 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Sudah 2 tahun 8 bulan Harun Masiku gagal ditangkap. KPK masih kesulitan meringkus eks caleg PDIP itu.
ADVERTISEMENT
Sejumlah upaya sudah dilakukan KPK untuk menangkapnya sejak gagal meringkusnya dalam OTT pada 8 Januari 2020.
Mulai dari memasukkannya dalam daftar DPO, melakukan pencegahan ke luar negeri, membentuk satgas khusus, meminta bantuan interpol dengan menerbitkan red notice, hingga membentuk tim khusus lintas departemen yang bekerja khusus mencari Harun Masiku. Namun semua upaya itu masih belum membuahkan hasil.
KPK sempat menyatakan tertangkapnya Harun Masiku hanya soal waktu apesnya.
"Tinggal tunggu apesnya. Seperti Djoko Tjandra, bertahun-tahun (buron) dari 2009 sampai sekarang (ditangkap). Kalau masih ada di Indonesia atau masih hidup, mudah-mudahan (Harun Masiku bisa ditangkap)," kata Karyoto di kantornya, Jumat (23/10/2020).
Hampir dua tahun berlalu sejak pernyataan KPK itu, Harun Masiku tak kunjung apes. Hingga 32 bulan buron, nyatanya Harun Masiku belum ditangkap oleh KPK.
ADVERTISEMENT

Siapa Harun Masiku?

Tersangka korupsi eks caleg PDIP Harun Masiku. Foto: Twitter/@efdesaja
Harun Masiku merupakan eks caleg PDI Perjuangan. Dia terjerat kasus suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024.
Harun Masiku merupakan pria kelahiran Jakarta 21 Maret 1971. Dia merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Dia juga pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Hukum Ekonomi Internasional di University of Warwick Inggris.
Sebelum terjun ke politik praktis, dia pernah bekerja sebagai pengacara pada 1994-1995. Tercatat, dia pernah menjadi pengacara korporasi besar yakni PT Indosat.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto pernah memuji Harun Masiku. Harun Masiku dinilai memiliki latar belakang yang baik dari segi akademik. Harun Masiku disebut pernah mendapatkan beasiswa Chevening dari pemerintah Inggris.
"Kami juga berikan keterangan karena yang bersangkutan (Harun) punya latar belakang yang baik. Sedikit dari orang Indonesia yang menerima beasiswa dari Ratu Inggris dan memiliki kompetensi di dalam international economic law," ucapnya usai diperiksa KPK 24 Januari 2020 lalu.
ADVERTISEMENT

Kasus Harun Masiku

EKs Komisioner KPU Wahyu Setiawan usai menjalani pemeriksaan oleh penyidik KPK, Jakarta, Kamis (5/3). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Harun Masiku menjadi tersangka pada 9 Januari 2020. Meski keberadaannya belum diketahui. Ia terlibat penyuapan kepada Wahyu Setiawan selaku Komisioner KPU.
Potongan kasus Harun Masiku terungkap dalam dakwaan Wahyu Setiawan yang sudah terbukti di persidangan. Harun Masiku memberikan suap SGD 57.350 atau setara Rp 600 juta kepada Wahyu Setiawan. Suap itu diberikan melalui mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina.
Dalam dakwaan Wahyu, jaksa mengungkapkan suap tersebut diberikan agar Wahyu mengupayakan Harun Masiku sebagai anggota DPR F-PDIP menggantikan Riezky Aprilia melalui mekanisme PAW.
Semua berawal pada 21 Mei 2019, saat KPU RI melakukan rekapitulasi perolehan suara PDIP untuk Dapil Sumsel I.
Berdasarkan hasil pemungutan suara pada 17 April 2019, PDIP mendapatkan 145.752 suara dengan rincian: Nazarudin Kiemas suara 0, Darmadi Djufri suara 26.103, Riezky Aprilia suara 44.402.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada Diah Oktasari suara 13.310, Doddy Julianto suara 19.776, Harun Masiku suara 5.878, Sri Suharti suara 5.699, dan Irwan Tongari suara 4.240. Sesuai penghitungan, PDIP mendapat alokasi 1 kursi DPR yang diperoleh Riezky Aprilia.
Riezky melenggang ke DPR karena Nazaruddin Kiemas yang sebenarnya memperoleh suara terbanyak, meninggal. Sehingga berdasarkan UU Pemilu, suara terbanyak kedua dari partai tersebut yang akan menggantikan.
Sejumlah karangan bunga untuk alm Nazaruddin Kiemas di DPR, Jakarta, Selasa (27/3). Foto: Rafyq Panjaitan/kumparan
Pada Juli 2019, DPP PDIP melakukan rapat pleno terkait kondisi tersebut. Dalam rapat itu, DPP PDIP memutuskan Harun Masiku yang terpilih menggantikan Nazaruddin, bukan Riezky Aprilia.
Pada 5 Agustus, DPP PDIP mengirimkan surat kepada KPU perihal permohonan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung yang pada pokoknya mengalihkan suara Nazaruddin kepada Harun Masiku. Kemudian di bulan yang sama, Harun menemui Ketua KPU, Arief Budiman, untuk menyampaikan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun pihak KPU tak mengabulkan permohonan tersebut. Sehingga upaya lain dilakukan pihak Harun Masiku yang dibantu Saeful Bahri untuk meloloskannya ke Senayan. Upaya lobi-lobi pun dilakukan melalui Wahyu Setiawan.
"Saeful Bahri menghubungi terdakwa II (Agustiani Tio) selaku kader PDIP yang pernah jadi anggota Bawaslu sehingga mengenal terdakwa I (Wahyu) selaku anggota KPU. Pada intinya Saeful meminta tolong terdakwa II menyampaikan ke terdakwa I selaku anggota KPU yang memiliki kewenangan antara lain menerbitkan keputusan KPU terkait hasil pemilu agar dapat mengupayakan persetujuan dari KPU RI terkait pergantian caleg DPR RI di Dapil Sumsel 1 dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku," kata Jaksa saat membacakan dakwaan pada Kamis (28/5).
Tersangka Saeful Bahri usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/2). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Kemudian Agustiani menyampaikan permintaan Saeful tersebut kepada Wahyu yang dijawab dengan 'Siap, Mainkan'.
ADVERTISEMENT
Pada 27 September 2019, KPU menerima tembusan surat DPP PDIP terkait dengan permohonan fatwa terhadap putusan MA. Pada intinya meminta, KPU diminta melaksanakan permintaan DPP PDIP sesuai dengan amar putusan. Namun KPU tetap menolak sehingga Riezky dilantik jadi anggota DPR.
Pada 5 Desember, Saeful menghubungi Agustiani yang menanyakan terkait besaran uang operasional untuk memuluskan langkah Harun Masiku ke DPR. Saeful pun menawarkan angka Rp 750 juta, tapi Wahyu meminta lebih.
"Terdakwa II melaporkan kepada Terdakwa I dengan pesan iMessage 'Mas ops nya 750 cukup mas? dan dibalas oleh Terdakwa I dengan; 1000," kata Jaksa yang artinya Rp 1 miliar.
Pada hari yang sama, Saeful kemudian mengirimkan draf surat DPP PDIP Nomor 224/EX/DPP/XII/2019 perihal Permohonan Pelaksanaan Fatwa MA melalui pesan WA kepada Agustiani untuk disampaikan kepada Wahyu.
ADVERTISEMENT
Kemudian pada 13 Desember 2019, Saeful dan advokat PDIP, Donny Tri Istiqomah, menemui Harun Masiku di Restoran di Hotel Grand Hyatt Jakarta. Dalam pertemuan itu, Saeful melaporkan kepada Harun bahwa untuk memuluskan langkahnya ke DPR, membutuhkan dana Rp 1,5 miliar.
Beberapa hari kemudian, Harun menyampaikan kepada Saeful siap memenuhi jumlah uang tersebut dan mengatakan: 'awal Januari saya dilantik'.
Pada 17 Desember, Harun Masiku memberikan uang Rp 400 juta kepada Saeful melalui Moh Ilham Yulianto dengan menukarkan uang sejumlah Rp 200 juta dalam pecahan dolar Singapura, totalnya SGD 20.000. Uang itu diberikan untuk Wahyu sebagai DP dari total fee yang dijanjikan.
Namun ternyata dari total Rp 400 juta, sebanyak Rp 200 juta dibagi dua antara Saeful dengan Donny.
ICW pasang poster Harun Masiku sebagai orang hilang di jalan layang bawah patung pancoran, Jakarta. Foto: Dok. ICW
Sisa DP sebesar Rp 200 juta kemudian akan diserahkan kepada Wahyu melalui Agustiani di Pejaten Village. Setelahnya, Saeful meminta Wahyu mengupayakan Harun bisa jadi anggota DPR RI. Wahyu kemudian menjawab: “Iya, saya upayakan”.
ADVERTISEMENT
Namun uang SGD 20.000 itu tidak diberikan semuanya, sebab ada kelebihan mengingat kurs saat itu. Saeful hanya memberikan SGD 19.000 kepada Wahyu. Sisa SGD 1.000 lainnya diambil lagi oleh Saeful. Kemudian, Wahyu hanya mengambil SGD 15.000 dan SGD 4.000 diberikan kepada Agustiani.
Pada 23 Desember 2019, Harun kembali menghubungi Saeful dan memberikan Rp 850 juta. Kemudian Saeful menukarkan Rp 400 juta di antaranya menjadi SGD 38.350 yang diberikan kepada Wahyu melalui Agustiani sebagai DP kedua. Sedangkan sisanya diberikan kepada Donny Rp 170 juta.
Di hari yang sama, Agustiani menghubungi Saeful meminta sejumlah uang untuk kebutuhan pribadinya. Saeful memberikan Rp 50 juta.
Saat pemberian uang tahap kedua, Saeful kembali meminta kepada Wahyu agar Harun bisa jadi anggota DPR menggantikan Riezky dalam mekanisme PAW. Wahyu kemudian menyampaikan kepada anggota KPU lain untuk menindaklanjuti surat tersebut dengan alasan: "di luar sudah ramai".
ADVERTISEMENT
Pada 6 Januari 2020, Wahyu menyampaikan di forum rapat pleno KPU bahwa Agustiani sebagai utusan DPP PDIP ingin konsultasi soal masalah PAW. Selanjutnya, Wahyu bersama anggota KPU lainnya Hasyim Asyari bertemu dengan Agustiani di KPU RI.
Persangka mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina (kiri) memasuki gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan di Jakarta, Kamis (6/2). Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Keesokannya, KPU mengirimkan surat kepada DPP PDIP perihal penjelasan yang pada pokoknya KPU tidak dapat memenuhi permohonan PAW atas nama Riezky kepada Harun karena tak sesuai dengan UU Pemilu.
Pada 8 Januari 2020, Wahyu menghubungi Agustiani untuk mentransfer uang Rp 50 juta yang sempat diberikan Saeful. Sebelum ditransfer, Wahyu ditangkap KPK dengan bukti SGD 38,350.00 di tangan Agustiani.
Atas perbuatannya, Wahyu sudah divonis 6 tahun penjara, Agustiani divonis 4 tahun penjara, dan Saeful 1 tahun serta 8 bulan penjara. Menyisakan Harun Masiku yang hingga saat ini masih buronan.
ADVERTISEMENT