Sungai dan Drainase di Medan Jadi 'Tong Sampah' Warga

15 Januari 2019 21:20 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sampah masyarakat yang dibuang di pinggir Sungai Deli. (Foto: Rahmat Utomo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sampah masyarakat yang dibuang di pinggir Sungai Deli. (Foto: Rahmat Utomo/kumparan)
ADVERTISEMENT
Irawan sudah tinggal di pinggiran Sungai Deli, Medan, Sumatera Utara, selama 20 tahun. Dalam rentang waktu itu juga, semua sampah sisa makanannya dilempar begitu saja ke sungai itu.
ADVERTISEMENT
Perilaku itu bukan hanya dilakukan Irawan. Hampir seluruh warga yang tinggal di pinggiran Sungai Deli membuang sampahnya ke aliran air tersebut.
"Kami masih mending hanya limbah masakan, tetangga yang lain membuang limbah plastik dan limbah rumah tangga lainnya. Hampir seluruh warga di pinggiran Sungai Deli membuang ke sungai," kata Irawan saat ditemui kumparan, Selasa (15/1).
Anak-Anak di Sungai Deli, berenang dipinggiran Sungai Deli yang penuh sampah. (Foto: Rahmat Utomo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Anak-Anak di Sungai Deli, berenang dipinggiran Sungai Deli yang penuh sampah. (Foto: Rahmat Utomo/kumparan)
Sungai Deli sudah menjadi tong sampah bersama warga yang tinggal di bantarannya. Tidak adanya petugas yang mengangkut sampah mereka jadi alasan warga tetap membuang sampah ke sungai. Padahal, saat ini Sungai Deli sudah terlihat kumuh.
Bukan hanya mereka yang tinggal di sepanjang Sungai Deli, perilaku buang sampah ke aliran air juga dilakukan masyarakat dekat drainase di Kelurahan Sei Kera, Kecamatan Medan Perjuangan. Akibatnya drainase sepanjang 2 kilometer dan lebar 10 meter itu dinamai Parbus, akronim dari parit busuk.
Tumpukan sampah di pinggiran jalan Kec. Medan Perjuangan (Foto: Rahmat Utomo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tumpukan sampah di pinggiran jalan Kec. Medan Perjuangan (Foto: Rahmat Utomo/kumparan)
Warga Kelurahan Sei Kera memberi nama drainase itu Parbus bukan tanpa alasan. Aliran air itu memang berbau busuk, airnya juga terlihat hitam pekat. Berbagai jenis sampah juga tampak di drainase itu. Mulai dari limbah plastik sampai sisa-sisa bekas makanan.
ADVERTISEMENT
Ramlan, warga Sei Kera yang lahir pada tahun 1934, mengenang dulunya aliran air itu adalah sungai. Airnya masih jernih, sampai orang-orang memanfaatkannya untuk memancing dan mandi.
Situasi baru berubah pada 1960an. Kala itu, kata Ramlan, sejumlah orang mulai membuang sampah ke sana. Kebiasaan buruk yang tidak jelas sebab mulainya, tidak berhenti hingga kini.
"Sejak dulu bahkan sudah 17 kali ganti lurah, mereka tak bisa menghentikan masyarkat membuang sampah sembarangan," sebut Ramlan.
Kondisi 'Parbus' yang sudah puluhan tahun tercemar limbah. (Foto: Rahmat Utomo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi 'Parbus' yang sudah puluhan tahun tercemar limbah. (Foto: Rahmat Utomo/kumparan)
Menurut Ramlan, untuk mengubah kebiasaan orang membuang sampah ke Parbus. Sudah ada tempat pembuangan sampah sementara di dekat Kantor Lurah Sei Kera. Namun masyarakat tetap enggan mengantarkan sampahnya di tempat itu. Ramlan menduga, petugas yang tidak rutin mengangkut jadi sebab warga malas membuang sampah ke tempat disediakan.
ADVERTISEMENT
"Kadang seminggu 2 kali, kadang sampah yang berbau busuk tak dianggkat, karenanya banyak masyarakat yang buang sampah ke sungai ," katanya.
Sungai Deli dan Parbus merupakan cerminan kotornya Kota Medan. Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menetapkan Medan sebagai kota terkotor di Indonesia.
Situasi ini sebenarnya sudah coba diatasi Pemerintah Kota Medan. Namun, mereka menemui beberapa kendala untuk menangani sampah. Selain tim pengangkut sampah yang tidak rutin bekerja, masih ada warga yang belum terdaftar dalam program pemungutan sampah Pemerintah Kota Medan.
"Kami akan melakukan evaluasi terkait keluhan masyarakat, serta akan melaksanakan pendataan ulang, bagi warga masyarakat yang belum terdaftar," kata Kepala Dinas Kebersihan dan Pertanaman Kota Medan M. Husni.
Sampah masyarakat yang dibuang di pinggir Sungai Deli. (Foto: Rahmat Utomo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sampah masyarakat yang dibuang di pinggir Sungai Deli. (Foto: Rahmat Utomo/kumparan)
Masalah sampah di Medan, kata Husni, juga terhambat dengan terbatasnya jumlah kendaraan pengangkut. Husni tidak menyebut jumlah kendaraan pengangkut yang ideal untuk Medan. Dia hanya menyebut saat ini, ada 273 kendaraan pengangkut sampah di Ibu Kota Sumatera Utara itu.
ADVERTISEMENT
"Jumlah ini pun masih dirasakan kurang, karenanya kita berupaya melakukan penambahan kembali di tahun 2019, rencanamya ada 25 lagi armada angkutan yang ditambah tahun ini," sebut Husni.
Meski demikian, Husni mengklaim upaya membuat Medan menjadi lebih bersih tetap dilakukan. Salah satunya adalah mengoperasikan kembali Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang guna mendukung TPA Terjun untuk menampung sampah yang dihasilkan warga setiap harinya. Saat ini TPA Terjun masih jadi satu-satunya TPA tempat pembuangan sampah di Kota Medan.
Saat ini, kata Husni, satu warga Kota Medan secara rata-rata menghasilkan 0,7 kilogram sampah setiap harinya. Artinya, dengan jumlah penduduk Medan yang mencapai 2,9 juta jiwa, ada sekitar 2.000 ton sampah yang dihasilkan setiap harinya.
Kondisi 'Parbus' yang sudah puluhan tahun tercemar limbah. (Foto: Rahmat Utomo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi 'Parbus' yang sudah puluhan tahun tercemar limbah. (Foto: Rahmat Utomo/kumparan)
ADVERTISEMENT