Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
“Bagaimana bisa menjadi begini? Bagaimana bisa?” kata Pangeran Diponegoro dalam perjalanan menuju Karesidenan Semarang, 28 Maret 1830 silam. Waktu itu, seperti dikutip dari Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (2014) karya Peter Carey, Diponegoro berada dalam tawanan Belanda setelah berakhirnya Perang Jawa.
ADVERTISEMENT
Diponegoro ditemani kedua istrinya serta putra sulungnya Pangeran Diponegoro II. Kondisinya sangat tidak baik, demam tinggi karena terjangkit malaria. Sementara pasukan kavaleri Belanda yang tak ramah terus mengawasi Diponegoro yang dianggap masih berbahaya, meski sedang tak berdaya.
Setelah tiba di Benteng De Ontmoeting di Ungaran saat senja, Diponegoro meminta waktu untuk salat Maghrib.
“Inilah salat Maghrib pertama Pangeran Diponegoro sebagai orang buangan,” tulis Peter Carey.
Dua opsir Belanda De Stuers dan Roeps tetap mengawasi Diponegoro dari jarak yang tidak terlalu jauh. Selepas ibadah, Diponegoro kemudian makan malam dalam satu meja makan bersama dua opsir tersebut.
“Pangeran sangat memahami dengan baik adat orang Eropa di meja makan. Saya belum pernah melihat sebelumnya ada yang makan dengan begitu anggunnya di meja makan,” kata De Steurs pada catatan Louw dan De Klerck dalam ‘Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro’.
Pagi harinya, 29 Maret 1830, Diponegoro dibawa ke Kediaman Residen di Bojong. Selama seminggu di sana, Diponegoro tetap diberi makan meski bukan santapan khas pribumi seperti nasi.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya ia terlihat begitu menikmati roti putih yang diangkat dari atas panggangan. Namun, Diponegoro tetap menolak ketika ditawari sebotol anggur.
Berangkat ke Batavia
Pada 3 April 1830, Diponegoro diberitahu akan diberangkatkan menuju Batavia. Perjalanannya akan menggunakan kapal uap SS Van der Capellen.
Pangeran Diponegoro pun menyatakan dengan sepenuh hati, siap untuk berangkat. Akan tetapi, dia mengajukan persyaratan.
Yakni permintaan untuk tidak menghadapi perundingan yang berlarut-larut lagi sesampainya di Batavia. Sebab, dia mengaku, tubuhnya sudah tak sanggup untuk melakukan hal demikian.
“Orang tahu bahwa saya ingin mendapat kepastian tentang hak-hak hukum saya atau dikirim ke Makkah atau ke tempat lainnya,” ujar Diponegoro.
Bahkan, saat itu, Diponegoro sebenarnya tidak mengetahui daerah tujuan pengasingannya. De Steurs yang sudah tahu bahwa Diponegoro akan dibawa ke Sulawesi pun hanya menyatakan kalimat diplomatis.
ADVERTISEMENT
Dia memberi tahu bahwa Diponegoro akan berada di bawah kewenangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, begitu berada di atas kapal uap.
Suasana hati sang pangeran kembali bergejolak ketika sampai di dermaga. Pasalnya, banyak orang-orang bergerombol untuk melihat wajahnya. Ada orang Eropa dan ada pula warga pribumi.
Memang, Diponegoro tak berkata apa-apa. Namun, dari guratan wajahnya dia tampak senang karena kehadirannya masih disambut rakyat Jawa.
Namun, Diponegoro memilih menutup wajahnya dengan ujung serban ketika berjalan menuju kapal. Rakyat pun tambah penasaran bercampur kecewa. Mereka tak dapat melihat wajah sang pangeran untuk terakhir kalinya.
Diponegoro tiba di Batavia tiga hari kemudian. Berdasarkan keterangan Javasche Courant, sambutan warga di Batavia tidak kalah ramai seperti di Semarang. Kerumunan warga Eropa yang ingin melihat Diponegoro, menyewa kapal-kapal kecil atau berkumpul di dermaga.
ADVERTISEMENT
“Manusia yang malang! Air mukanya berubah. Ia berhenti sebentar setelah turun dari kapal. Sesampainya di kereta kuda ia juga tampak mencari kesempatan. Tetapi jelas tidak ada kesempatan untuk kabur,” kata Frank Davidson, pemuda Skotlandia yang melihat kedatangan Diponegoro (Peter Carey: 2014).
Sepucuk Surat untuk Anak dan sang Bunda
Tanggal 8 April 1830, untuk pertama kalinya Diponegoro ditahan di Stadhuis atau Balai Kota. Dia tak dipenjara di ruang tahanan bawah tanah yang mengerikan.
Namun, Diponegoro, istri, dan anaknya ditahan selama tiga pekan di dua ruangan berlangit-langit rendah pada lantai atas. Ruangan yang biasanya dijadikan tempat tinggal para sipir.
Di sanalah Diponegoro mengungkapkan keluh kesahnya. Dia merasa adanya kemungkinan hidupnya tak lama lagi. Ditawan sekaligus sakit membuat Diponegoro begitu menderita.
ADVERTISEMENT
Di kamar itu jugalah, dia menulis sepucuk surat untuk putra-putranya serta ibunya Raden MangkorowatiI. Juga tentang kegelisahan karena bakal segera meninggalkan Pulau Jawa.
“Jadi ini semacam renungan. Sewaktu dia meninggalkan Pulau Jawa. Apakah ia merasa rindu atau ikhlas. Dia menjadi sastrawan dalam zikir,” ungkap Peter Carey kepada kumparan, Senin (1/4).
Berikut perikan surat Pangeran Diponegoro yang telah diterjemahkan dari Bahasa Jawa Kuno.
Salam dan doa untuk anakku, Pangeran Diponegoro II dan juga untuk adik-adiknya Basah Mertonegoro dan Basah Gadakusuma serta semua adik-adik kalian, janganlah merasa cemas dengan diri saya karena saya cukup senang dalam menjalankan hidup saya. Janganlah abai tugas dalam mengasuh saudara-saudaramu.
Janganlah cemas karena saya telah menitipkan kalian kepada gubernurmen. Lagi pula saya percaya penuh kepada pamanmu, Kapen Roeps. Dan saya memerintahkan kamu Diponegoro, Basah Mertonegoro dan Basah Gadakusuma, jika kamu merasa kesulitan barang sedikitpun, sebaiknya kamu minta saran kepada pamanmu itu.
Petikan Surat Diponegoro untuk Ibuny
ADVERTISEMENT
Dengan segala sembah sujud kepada ibu, saya menyampaikan kepadamu bahwa nasib baik telah menyertai dalam seluruh perjalanan saya , tidak berbeda dengan di Magelang. Adapun alasan mengapa saya memberitahukan hal ini adalah agar ibu tidak sampai cemas memikirkan saya karena saya merasa sangat puas. Saya memercayakan semua cucu-cucu ibu ke tangan ibu. Terlebih lagi saya sendiri merasa betapa besar kesalahan saya terhadap ibu, lahir batin.
Semoga ibu mengampuni saya. Demikian juga halnya terhadap Yang Mulia, ayahanda saya, banyak juga kesalahan saya. Dengan demikian bila ada kesempatan, cucu-cucu ibunda harus menyampaikan kepada Yang Mulia ayahanda. Permohonan untuk minta pengampunan untuk kesalahan saya.
“Surat-surat ini ditulis sendiri dengan tangan Diponegoro. Lewat ingatannya,” kata Peter Carey.
Kini, kamar tahanan Pangeran Diponegoro yang syarat sejarah itu telah menjadi salah satu objek wisata di kawasan Kota Tua Jakarta. Peter Carey berharap, hal ini bisa menjadi inspirasi bagi penerus Indonesia tentang perjuangan seorang pahlawan.
ADVERTISEMENT
“Bisa menjadi tempat untuk melihat sejarah, merenung, membuat inspirasi,” tuturnya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun berharap warga Jakarta bisa menjadikan kamar Diponegoro sebagai alternatif wisata.
“Dengan diresmikannya kamar Diponegoro sebagai museum yang terbuka untuk publik, saya ingin mengajak kepada masyarakat di Indonesia khususnya di Jakarta untuk mendatangi tempat ini,” ujar Anies.