Surya Paloh: Tak Ada Angin Tak Ada Hujan Tiba-tiba Tom Lembong, Kita Terkejut

1 November 2024 16:08 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketum Partai NasDem Surya Paloh berjalan keluar kendaraan saat tiba  di Istana Negara, Jakarta, Jumat (1/11/2024).  Foto: Luthfi Humam/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketum Partai NasDem Surya Paloh berjalan keluar kendaraan saat tiba di Istana Negara, Jakarta, Jumat (1/11/2024). Foto: Luthfi Humam/kumparan
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh angkat bicara soal ditetapkannya Mantan Menteri Perdagangan RI, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Ia mengaku kaget mendengar hal tersebut.
ADVERTISEMENT
“Enggak ada angin enggak ada hujan tiba-tiba ada Tom Lembong, kita juga terkejut itu,” kata Paloh di Istana Negara Jakarta, Jumat (1/11).
Paloh prihatin atas kasus yang menimpa Co-Captain dari pasangan AMIN (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) saat Pilpres lalu. Dia menilai, kasusnya Tom Lembong ini diungkap saat waktunya sudah berselang lama.
Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Thomas Lembong berjalan dengan mengenakan rompi usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula oleh Kejaksaan Agung di Jakarta, Selasa (29/10/2024). Foto: Dok. Kejagung
Ia lantas membeberkan beberapa kasus yang menurutnya perlu diapresiasi karena lebih baru dan aktual. Contohnya seperti kasus suap terhadap tiga hakim kasus Ronald Tannur dan juga kasus ditemukannya uang hampir 1 triliun di rumah eks pejabat Mahkamah Agung Zarof Ricar.
“Saya pikir begitu banyak masalah yang harus kita selesaikan, prioritas utama tentu kita harapkan kasus-kasus yang cukup aktual yang memang perlu kita apresiasi,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Paloh berharap tidak ada unsur politis dibalik kasus Tom Lembong tersebut.
“Mudah-mudahan tidak ada (politisasi), kalau ada ya apes aja,” tutup dia.

Kasus Impor Gula yang Menyeret Tom Lembong

Petugas Kejaksaan memasangkan borgol dengan mengenakan rompi tahanan kepada Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Thomas Lembong usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula oleh Kejaksaan Agung di Jakarta, Selasa (29/10/2024). Foto: Dok. Kejagung
Dalam kasus ini, Kejagung juga menetapkan tersangka lainnya yang dijerat bersama Tom Lembong. Ia adalah Charles Sitorus selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI 2015–2016.
Adapun dalam kasusnya, pada 2015, berdasarkan rapat koordinasi antar kementerian, telah disimpulkan Indonesia surplus gula sehingga tidak perlu atau tidak butuh impor gula.
Namun, pada tahun yang sama, Thomas Lembong selaku menteri diduga justru mengizinkan persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton kepada perusahaan PT AP. Kemudian gula kristal mentah itu diolah menjadi gula kristal putih.
Padahal, yang boleh mengimpor gula kristal putih adalah BUMN, bukan perusahaan swasta. Izin itu dikeluarkan tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pada 28 Desember 2015, dilakukan rapat koordinasi di Kementerian Bidang Perekonomian yang dihadiri kementerian di bawah Kemenko Perekonomian. Salah satu yang dibahas yakni Indonesia pada 2016 kekurangan gula kristal sebanyak 200 ribu ton dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional.
Pada November-Desember 2015, Charles Sitorus selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, memerintahkan staf senior manager bahan pokok PT PPI atas nama P untuk melakukan pertemuan dengan 8 perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula.
Perusahaan gula swasta yang dimaksud yakni PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI.
Kemudian, 8 perusahaan swasta yang mengelola gula kristal mentah jadi gula kristal putih itu sebenarnya izin industri mereka hanyalah produsen gula kristal rafinasi yang diperuntukkan untuk industri makanan minuman dan farmasi.
ADVERTISEMENT
Lalu, setelah 8 perusahaan itu mengimpor gula mentah dan diolah menjadi gula kristal putih, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut tetapi sebenarnya gula itu dijual oleh perusahaan swasta ke pasaran. Harga jualnya Rp 16 ribu, jauh lebih tinggi dari HET saat itu yakni Rp 13 ribu.
Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.