Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Susuk Jadi Obat Kegelisahan Masyarakat Urban
2 Agustus 2018 10:56 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah persaingan semua ingin menang, semua ingin menjadi yang utama, yang dikenal, atau yang dihargai. Namun, tak semua bisa mencapai titik impian itu saat kemampuan diri tidak mumpuni.
ADVERTISEMENT
Bantuan-bantuan mulai dihadirkan, salah satunya adalah bantuan makhluk gaib. Cara-caranya pun beragam. Ada yang “dipakai” kekuatannya dengan wujud guna-guna, pelet, dipanggil dengan mantra-mantra, atau yang disisipkan dalam tubuh berbentuk susuk .
Menurut budayawan Universitas Indonesia, Prapto Yuwono, praktik pemakaian susuk dimulai ketika manusia berada pada era animisme dinamisme.
Sementara, di era modern ini susuk berkaitan dengan suatu kepercayaan masyarakat. Mereka yakin kapan pun itu, ada hubungan dunia manusia dengan dunia gaib atau supernatural.
“Nah karena hubungan itu seringkali manusia minta bantuan minta tolong pada dunia supernatural itu,” kata Prapto kepada kumparan, Rabu (1/8).
Bantuan makhluk gaib itu dimasukkan ke dalam sebuah benda seperti emas, jarum, bunga, dan media lainnya oleh seorang dukun. Dengan mantra-mantra yang dirapal, susuk “ditanam” dalam tubuh seseorang.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya tidak merugikan orang lain, penyanyi suaranya ingin lebih bagus, kalau pejabat-pejabat berwibawa pidato lancar, kalau orang melihat itu menjadi sosok yang benar-benar dipercaya dan betul-betul bisa memberikan amanah,” sebut Prapto.
Susuk erat dengan budaya
Aroma tradisional dan Jawa erat kaitannya dengan susuk. Siapa saja yang memakai susuk berarti dia tradisional, berarti Kejawen. Ya begitulah pandangan yang berkembang di masyarakat Indonesia. Namun, sebagai budayawan, Prapto justru menemukan fakta yang berbeda.
“Saya sebagai ahli kebudayaan Jawa, sebetulnya membaca literatur itu kata susuk itu sulit didapatkan. Karena memang yang paling ada pelet, guna-guna, santet. Itu saya baca primbon lho ya. Artinya betul-betul akademis, sumbernya ada. Tapi susuk ini kalau saya baca lebih banyak ada pada masyarakat apa Jawa Barat, masyarakat Sunda,” tutur Prapto.
Menurut Prapto, praktik pemakaian susuk banyak terjadi di dataran Jawa Barat. Meski begitu, masyarakat Jawa juga ada yang memakai susuk. Bahkan, di luar Jawa praktik ini pun dilaksanakan oleh sebagian orang.
ADVERTISEMENT
Pemakaian susuk berkembang dalam tatanan masyarakat urban atau modern. Tatanan masyarakat yang demikian adalah refleksi dari geliat persaingan-persaingan individual yang kian hari kian ketat.
“Dunia-dunia (gaib) lain itu dihadirkan ketika orang lain kepepet atau merasa harus menang, apa pun kan harus dilakukan. Misalnya dalam Pilkada saja banyak pejabat yang menyepi yang bertapa, minta dukun,” ungkap Prapto.
Dijadikannya susuk sebagai pilihan, nyatanya adalah jalan baru yang dihadirkan oleh dukun. Jalan baru ini dipercaya mampu mewujudkan keinginan si pemakai, meski pada dasarnya tak selalu berhasil.
“Dan kalau dibandingkan dengan istilah pelet, guna-guna dan lain-lain, susuk ini yang paling akhir, karena apa, dia berkaitan dengan masyarakat barangkali masyarakat urban menurut saya,” ujar Prapto.
Soal kekuatan gaib yang terdapat dalam susuk, Prapto menyebut, semua tergantung dari keinginan apa yang ingin didapatkan si pemakai, apakah si pemakai ingin terlihat cantik, berwibawa, beraura atau ragam keinginan lainnya. Dukun nantinya tinggal menyesuaikan, makhluk halus mana yang ingin dimasukkan dalam media susuk.
ADVERTISEMENT
“Ini sebetulnya tindakan kolaborasi dukun dengan makhluk lain,” kata Prapto.
Kekuatan gaib ini menurut Prapto senang bila ditempatkan dalam tempat yang spesial, semisal emas. Emas adalah media yang berupa logam mulia dan tidak berkarat. Bertahun-tahun emas terpendam dalam perut Bumi sehingga disebut punya nilai lebih tersendiri. Meski begitu, wujud media dalam susuk bisa benda lainnya di luar emas.
Lepas dari uraian di atas, susuk nyatanya masih dicari kala manusia sudah bertuhan. Pemakaiannya pun menuai pro dan kontra. Bagi Prapto, semua kembali lagi ke individu masing-masing.
“Buat saya itu adalah masalah pribadi ya yang memasang susuk, yang memasang susuk itu untuk apalah tujuannya itu. Kita mau mandang dari mana sekarang. Demi keuntungan dia ya silakan saja, tapi dalam konteks agama itu dipertanyakan,” tutup Prapto.
ADVERTISEMENT
--------------------------------------------------------------
Simak ulasan selengkapnya dalam konten spesial kumparan dengan topik Susuk Pejabat.