Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Danau Lido sudah pasti tak asing bagi warga sekitar Bogor-Sukabumi. Destinasi wisata dengan lokasi strategis di pinggir jalan nasional itu, jika dilihat dari atas, seperti mangkok di kaki Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak. Lokasi ini menyajikan hamparan pemandangan sejuk, cocok untuk mereka yang hendak sejenak melepas penat.
ADVERTISEMENT
Danau seluas lebih dari 20 hektare yang berada di kawasan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu telah menjadi ikon dan membawa kebanggaan tersendiri bagi warga sekitarnya. Danau itu, sejak terbentuk tahun 1898 pada era pedudukan Belanda, menjadi sumber penghidupan bagi penduduk setempat.
Namun semua itu hanya berlangsung hingga tahun 1990-an. Setelahnya, akibat pembangunan keramba-keramba ikan dan hotel, air Danau Lido mulai tercemar sehingga tak memungkinkan lagi digunakan sebagai sumber mata air.
Jika hanya soal penurunan kualitas dan kejernihan air, pamor Danau Lido tak bakal turun. Ia tetap menjadi salah satu tempat yang asyik dikunjungi bagi para pelancong yang singgah di Bogor.
Namun persoalan lebih buruk dari itu, sebab air danau tak sekadar tak jernih lagi, melainkan berubah warna menjadi keruh dan cokelat pekat.
ADVERTISEMENT
Mereka di barisan depan yang terdampak dari perubahan warna Danau Lido adalah para pelaku usaha kecil di sekitar danau. Salah satunya Sobarna, pengusaha rakit di Danau Lido.
Sobarna menjalankan usaha sewa rakit turun-temurun dari kakek dan ayahnya. Dompetnya kini menipis signifikan sejak Danau Lido berubah keruh.
“Perubahan warna danau sekitar tiga minggu lalu, dari proyek jalan tol. Lumpur dari proyek penggalian tanah (jalan tol) terbawa ke danau lewat sungai di sekitar proyek. Beberapa sungai muaranya di danau ini,” tutur Sobarna kepada kumparan (kumparan.com), Rabu (19/4).
Ia menjelaskan, lumpur dari sungai-sungai di sekitar danau memang sudah ada sejak dulu, namun tak memengaruhi warna danau. Baru sejak proyek pembangunan Jalan Tol Bocimi (Bogor-Ciawi-Sukabumi) dimulai, lumpur mengalir makin banyak ke danau.
ADVERTISEMENT
Lumpur itu berasal dari hasil galian proyek tol, juga erosi tanah di sekitar proyek. Akibatnya, wisatawan enggan berkunjung lagi, memangkas isi dompet Sobarna dan rekan-rekannya sesama pengusaha sewa rakit.
“Banyak pengunjung yang enggak jadi berkunjung ke danau. Bahkan sebelum sampai di pinggir danau, mereka sudah balik lagi. Ada juga yang sudah naik rakit, malah minta balik lagi soalnya warna airnya enggak jernih,” tutur Sobarna.
Sebelum air danau jadi cokelat dan pengunjung masih antusias menikmati keindahan Danau Lido, dalam seminggu Sobarna minimal bisa mendapatkan tiga kali sewa perahu rakit. Sekali sewa dihargai Rp 350 ribu.
“Bisanya dulu satu minggu tiga kali narik. Kalau sekarang, narik satu kali saja bisa nunggu sampai satu minggu. Malah kadang-kadang 10 hari baru bisa narik. Penghasilan dulu waktu masih ramai bisa sampai Rp 700 seminggu, kadang lebih. Sekarang seminggu cuma Rp 350 itu. Belum lagi kami (pengusaha sewa rakit) harus bayar tiket ke pengelola Lido, karena kami bermitra sama Lido,” kata Sobarna.
ADVERTISEMENT
Jasa perahu yang ditawarkan Sobarna terbilang cukup memuaskan. Pengunjung diberi kesempatan leluasa untuk berkeliling danau dari ujung ke ujung selama satu jam lebih. Sobarna bahkan kerap melebihkan waktu sewa bagi para pengujung yang masih sibuk berfoto di tengah danau tanpa menambah biaya sewa.
Namun satu bulan belakangan, Sobarna mengeluhkan berkurangnya omzet karena para pengujung enggan mengitari danau yang keruh.
Sobarna hanya satu dari sekian pengusaha sewa perahu rakit di Danau Lido. Mereka, yang telah sekian lama menggantungkan hidup pada danau itu, belum mendapat solusi pasca-air danau berubah.
Bukan cuma air danau yang berubah, tapi juga sungai.
Tanah di lokasi penggalian proyek jalan tol tergerus air, dan mengalir ke sungai-sungai di bawahnya sehingga air sungai berubah cokelat kental penuh lumpur.
ADVERTISEMENT
Sungai itu melintasi beberapa hektare sawah, sehingga lahan persawahan tersebut terendam air berlumpur makin tinggi. Alhasil sawah tersebut tak bisa lagi diolah petani karena air sungai yang kental berlumpur tak dapat digunakan untuk mengairi sawah.
Subhan, salah seorang warga setempat mengatakan, persawahan seluas kurang lebih empat hektare itu tidak bisa lagi digarap oleh para petani.
“Sudah beberapa bulan tanah ini ditinggalkan petani, sudah tidak bisa lagi ditanami sawah. Air sungai sudah kotor, naik sampai permukaan sawah,” kata Subhan.
Ia dan petani-petani lain tak bisa melakukan apa-apa kendati selama ini menggantungkan hidup dari hasil menggarap sawah. Sebab, tanah yang mereka garap milik MNC Land yang telah membeli area tersebut sejak tahun 2000-an.
ADVERTISEMENT
“Selama ini kami menggarap tanah milik orang lain. Kalau sudah mau dipakai, kami semua harus pergi,” ujar Subhan.
Rusaknya sawah menyebabkan terhentinya mata pencaharian mereka sebagai petani, dan kini banyak warga beralih profesi menjadi buruh bangunan akan berkebun. Ada pula yang masih menganggur layaknya Subhan yang sekadar kuli serabutan dengan pendapatan amat tak menentu.
Jika sedang tak bekerja, Subhan memilih untuk memancing ikan di sungai yang sudah berubah warna menjadi cokelat dan tercemar solar dari alat berat proyek jalan tol.
Demikianlah sekelumit kisah dari kaki Gunung Salak. Mereka, warga kecil, hanya bisa pasrah menerima nasib.
Senin (24/4), kumparan menghubungi kantor pusat MNC Land untuk bertanya tentang pencemaran di Danau Lido itu. Corporate Secretary MNC Land yang tak mau disebutkan namanya mengatakan, informasi terkait Lido akan dijawab langsung oleh jajaran direksi.
ADVERTISEMENT
Namun hingga berita ini dinaikkan, sang Corporate Secretary mengatakan direksi MNC Land sedang berada di Amerika Serikat dan belum dapat ditanyai.