Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Sutami di Mata Keluarga: Pekerja Keras dan Murah Senyum
18 Oktober 2017 11:57 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
ADVERTISEMENT
Hampir tiap pagi Sri Haryati melihat suaminya begitu sibuk. Seringkali sarapan pun tak dihabiskan, karena Ir Sutami begitu bersemangat ketika bekerja dan bertemu dengan Bung Karno.
ADVERTISEMENT
Pakaian favoritnya kemeja putih, bukan safari. Lengannya selalu digulung, pertanda ia selalu siap bekerja, kapan pun dan di mana pun.
"Minumnya susu. Setiap hari pasti nyiapin itu. Ada mangga, singkong rebus, dan kopi juga. Setiap hari saya antar ke kamarnya di lantai 2 rumah. Tapi sering enggak habis kalau Bapak lagi buru-buru," kata Sri saat berbagi cerita dengan kumparan di kediamannya di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Tak pernah ada kecupan atau kata-kata romantis yang terlontar dari Sutami untuk Sri. Hanya senyuman yang diberikan oleh sarjana teknik lulusan Sekolah Tinggi Tekhnik Bandung (sekarang ITB) itu, tapi Sri pun tak pernah merasa kurang bahagia.
Memang bersatunya Sri dan Sutami ini murni peran orang tua keduanya. Tak ada tunangan, apalagi pacaran karena mereka dijodohkan.
ADVERTISEMENT
Maklum saja, darah Solo yang mengalir di kedua insan tersebut sangat kental. Namun seperti peribahasa Jawa 'alon-alon asal kelakon', akhirnya mereka berdua saling mencintai sampai maut yang memisahkan.
"Saya enggak menyangka bahwa akan hidup bersama dengan sosok seperti Bapak. Pintar, pekerja keras dan punya prestasi," ujar Sri yang kini berusia 78 tahun.
Sutami begitu dingin. Bahkan untuk bercerita soal apa yang dikerjakannya kepada Sri, ia jarang sekali. Hanya satu yang ingat, saat Sutami membangun Jembatan Semanggi yang kini keberadaannya begitu menolong warga ibu kota.
Saat itu tahun 1961, Sutami merupakan Direktur Utama PT Hutama Karya, sebuah perusahaan konstruksi besar di negeri ini. Usianya baru 33 tahun, namun keahliannya di bidang konstruksi, khususnya perbetonan, sudah sampai di telinga Bung Karno.
"Bung Karno minta Bapak untuk ke Jerman untuk lihat jembatan daun di sana. Setelah beberapa hari di Jerman, Bung Karno langsung merintahkan Bapak untuk bangun jembatan di Jakarta," kenang Sri.
ADVERTISEMENT
Bung Karno begitu percaya kepada Sutami, yang notabene anak baru di dunia rekonstruksi. Saat itu padahal ada Prof Dr Roosenoo Soerjohadikoesoemo, yang merupakan mantan Menteri Pekerjaan Umum dan lebih berpengalamaan.
"Pokoknya apa kata Sutami itu kata saya. Begitu kata Bung Karno," ungkap dia.
Di usia 33 tahun, Sutami menemukan sebuah teknik konstruksi yang begitu mengagumkan. Dengan ide briliannya, Sutami kemudian berhasil mengarsiteki Jembatan Semanggi yang terinspirasi daun semanggi.
Teknik yang diperkenalkan Sutami terkait dengan perbetonan. Teknik tersebut dikenal dengan istilah prestressed-concrete.
Emir Sanaf, yang semasa muda sering berdiskusi dengan Sutami sehingga sudah dianggap anak sendiri oleh Sutami, mengungkapkan, teknik ini bisa meregangkan beton.
"Beton konvensional tanpa teknik prestressed itu bentangnya cuma 25 meter, tapi kalau ada prestressed concret, ada kabel yang menegang maka menjadi 50 meter. Itu pertama kali di Indonesia, perguruan tinggi belum mengajarkan. Seorang insinyur umur 33 tahun, ini kepeloporan," kata Emir saat diwawancarai terpisah di kediamannya di Buahbatu, Bandung, Jawa Barat.
Akhirnya Jembatan Semanggi pun terbentuk. Misi agar Asian Games 1962 berjalan lancar, dan lalu lintas minim kemacetan seperti yang diperintahkan Bung Karno, pun terwujud.
ADVERTISEMENT
Dengan segala kehebatan dan prestasi yang ditorehkan, Sutami tak pernah merasa besar. Sutami tetap rendah hati dan tak pernah menuntut apa pun dari negara atas pengabdian yang diberikannya selama puluhan tahun.
Suatu hari, Sutami pernah bercerita kepada Emir tentang ketidaksukaannya terhadap pengawalan kepada dirinya saat dinas di Bandung. Sutami merasa risih karena harus menerobos kemacetan dengan cara melawan arus.
"Dia waktu ke Bandung naik kereta, ajudan bilang jemput di stasiun. Ada wali kota dan sekda jemput di stasiun. Karena pengen cepet, (Jalan) Braga waktu itu kan satu arah. Jadi karena pengen cepet, nerobos pakai sirine. Bapak sesampai di hotel bialng ke saya, ngapain sih tadi ada ngoweng ngoweng, enggak mau dia. Enggak mau, ngapain nerobos jalan, pakai sirine, melawan arah," beber dia.
Dewi Susilowati, anak kedua Sutami mengenang ayahnya sebagai sosok yang pekerja keras dan tak pernah marah. Suatu hari di Solo, saat masih SMA, Dewi pernah begitu ketakutan akan murka ayahnya.
ADVERTISEMENT
"Waktu pulang sekolah, saya diajak teman saya nonton drumband. Zaman dulu enggak ada hape. Sampe rumah ternyata saya ditungguin, saya inget pukul 5 sore dan saya enggak pernah pulang jam segitu," kisah Dewi saat diwawancarai kumparan bersama sang bunda.
"Dia enggak marah, cuma dia bilang dan dekatin aku terus bilang orang rumah khawatir. Saya sampai di rumah ketakutan, terus orang rumah nungguin saya. Tapi Bapak saya enggak pernah marah."
Baginya, Sutami adalah sosok ayah yang sempurna. Hingga ia meninggal pada November 1980, Sutami masih sempat memberikan teladan kepada seluruh keluarga dan orang terdekatnya.
"Pesannya sebelum meninggal itu jangan tinggalin salat, harus rajin belajar. Ingat yang pertama harus dipegang dalam hidup adalah agama dan yang kedua adalah pendidikan," ujar Sutami menirukan kalimat menyentuh sang ayah yang selalu diingatnya sampai sekarang.
ADVERTISEMENT