Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Tukiyat (51), seorang penjaga hutan Wanagama , Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta, tak menyangka anak semata-wayangnya, Sawitri (26), akan segera menyelesaikan studi doktornya di Universitas Tsubuka, Jepang.
Sawitri merupakan mahasiswa S3 Prodi Biosphere Resource Science and Technology dengan menekuni kajian genetika hutan.
Tukiyat mengisahkan sebelum pergi ke Jepang, banyak hal yang harus dilalulinya. Salah satunya adalah membiayai S2 anaknya itu di Magister Ilmu Kehutanan Fakultas Universitas Gadjah Mada (UGM ) dengan biaya sendiri.
ADVERTISEMENT
Tukiyat mengaku harus berjibaku membiayai kuliah S2 anaknya karena pada saat itu, tak mendapat beasiswa. Berbeda ketika Sawitri kuliah S1 di Fakultas Kehutanan UGM Prodi Silvikultur melalui jalur SNMPTN mendapat beasiswa Bidikmisi.
"Setelah itu S2. Itu tidak dapat beasiswa. Itu saya ragat sendiri. S2 UGM ya megap-megap juga," ujar Tukiyat, saat didatangi ke rumahnya, di tengah hutan Wanagama, Jumat (19/6).
Namun karena melihat tekad anaknya yang bulat, Tukiyat banting tulang membiayai kuliah S2 anaknya itu. Beruntung, Sawitri, mengenyam pendidikan S2 hanya 1 tahun 3 bulan.
Setelah lulus S2, Prof. Dr. Ir. Mohammad Na`iem, salah satu pembimbing tesis, mendorong Sawitri lanjut S3 ke Jepang. Pada saat itu, Tukiyat mengaku sama sekali tidak sanggup bila harus menguliahkan anaknya ke Jepang dengan biaya sendiri.
"Saya sebagai orang tua jelas enggak mampu. S2 pun enggak sanggup sebenarnya. Tapi dengan dorongan dosen-dosen, akhirnya diterima di Jepang dan beasiswa dari Universitas Tsubuka Jepang, itu tahun 2017," ujar dia.
Tukiyat bercerita kepada kumparan bagaimana perjalanan seorang pekerja penjaga hutan. Bertahan hidup dengan gaji pas-pasan, hingga mendidik keras buah hati tercinta.
ADVERTISEMENT
"Awal mula tugas di Wanagama tahun 1987. Awal mulanya kan saya punya kakak ipar yang bertugas di Wanagama, namanya pak Kasan. Kakak ipar bilang sama almarhum Profesor Oemi Hani’in Suseno (Kehutanan UGM), terus saya ditawari untuk kerja di Wanagama," cerita Tukiyat.
Tahun 1987 itu, Tukiyat mendapat upah Rp 14 ribu per bulan ditambah 10 kg beras. Pada tahun 1990-an, setelah ia menikah upahnya naik menjadi Rp 27.500, ditambah 20 kg beras per bulan. Di tahun itulah dia mulai menghuni perumahan di dalam hutan Wanagama.
Seiring waktu berjalan, upah Tukiyat naik pada tahun 2000-an sekitar Rp 200 ribu, hingga naik lagi menjadi Rp 400 ribu. Hingga akhirnya pada tahun 2007, Tukiyat diangkat menjadi CPNS dan resmi menyandang status PNS pada tahun 2008.
ADVERTISEMENT
"Ketika diangkat CPNS gaji sudah standar," ujarnya. Tukiyat enggan menyebutkan secara pasti nominal gajinya.
Dengan kondisi itu, ia mendidik Sawitri dengan keras. Sopan santun, kemandirian, dan hidup sederhana menjadi ajaran yang ditanamkan Tukiyat kepada anaknya.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona )
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.