Tak Hanya di Kediri, Mitos Presiden Lengser Juga Ada di Kudus

17 Februari 2020 17:02 WIB
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Foto: REUTERS/Soe Zeya Tun/File Photo
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Foto: REUTERS/Soe Zeya Tun/File Photo
ADVERTISEMENT
Menteri Seskab Pramono Anung melarang Presiden Jokowi berkunjung ke Kediri, Jawa Timur. Pramono khawatir Jokowi akan kehilangan jabatannya bila datang ke kabupaten tersebut.
ADVERTISEMENT
Kendati begitu, Kediri bukanlah satu-satunya tempat yang punya mitos tak sedap bagi penguasa. Di Kudus, Jawa Tengah, ada mitos yang bernada serupa. Bahwa penguasa akan kehilangan jabatannya bila datang ke Masjid Menara Kudus. Masjid itu merupakan peninggalan Sunan Kudus dan telah berdiri sejak tahun 1549.
Masyarakat setempat percaya bahwa Sunan Kudus telah memasang Rajah Kalacakra di gerbang atau pintu masuk masjid. Konon, rajah itu mampu menghilangkan kekuatan seseorang. Tak terkecuali bagi presiden yang akan segera kehilangan kekuasaannya jika melewati rajah itu.
Lantas, apa itu sebenarnya Rajah Kalacakra?
Semua bermula dari kisah Raden Patah yang mempunyai tiga orang anak. Yakni, Sekar Tanjung, Raden Kikin, dan Pangeran Trenggana. Saat Raden Patah wafat, Kerajaan Demak dipimpin Pati Unus. Ia merupakan istri dari Sekar Tanjung. Kisah ini berasal dari Babad Tanah Jawi.
Warga mengunjungi Masjid Menara Kudus, di desa Kauman, Kudus, Jawa Tengah, Rabu (8/5/2019). Foto: ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho
Menurut makalah berjudul ‘Arya Penangsang Gugur: Antara Hak dan Pulung Keraton Demak Bintara’ yang ditulis Ahmad Nurhamid dari Sastra Jawa UNNES, kepemimpinan Pati Unus tak bertahan lama. Pati Unus hanya mampu menjadi raja selama tiga tahun. Selepas itu, perebutan kekuasaan pun terjadi.
ADVERTISEMENT
Seharusnya yang menjadi raja adalah Raden Kikin. Namun Pangeran Trenggana rupanya berambisi menjadi raja. Ia lalu bersekutu dengan anaknya, Sunan Prawata, untuk membunuh Raden Kikin. Hasilnya, Pangeran Trenggana pun berhasil melenyapkan kakaknya itu dan menjadi Raja Demak.
Anak semata wayang Raden Kikin, Arya Penangsang, tahu akan pembunuhan tersebut. Murid kesayangan Sunan Kudus itu lalu berambisi untuk membunuh Pangeran Trenggana dan Sunan Prawata. Ia merasa dialah yang berhak menduduki takhta Demak.
Masjid Menara Kudus. Foto: Shutter Stock
Pada suatu hari, Pangeran Trenggana memberikan takhta kerajaan ke menantunya, Mas Karebet alias Jaka Tingkir. Pusat kerajaan pun dipindahkan ke Pajang. Sejak saat itu pula, nama kerajaan diubah jadi Kasultanan Pajang.
Sunan Kudus yang membela Arya Penangsang lalu menyusun rencana. Jaka Tingkir dan Arya Penangsang diundang ke rumah Sunan Kudus. Di sana, Sunan Kudus dan Arya Penangsang rupanya sudah menyusun rencana sebelumnya. Bahwa Jaka Tingkir harus duduk di kursi yang telah diberi rajah kalacakra. Ini adalah mantra yang dapat mencelakai orang yang dituju.
ADVERTISEMENT
Celakanya, kursi itu justru diduduki oleh Arya Penangsang. Ia lupa dengan pesan gurunya. Akibatnya, Arya Penangsang mesti puasa selama 40 hari untuk menghilangkan kesialan.
Masjid Menara Kudus. Foto: Shutter Stock
Jaka Tingkir tahu bahwa Arya Penangsang yang sakti mandraguna itu tengah dirundung kesialan. Maka, ia memerintahkan pasukannya yang dipimpin Dhanang Sutawijaya untuk menyerang Arya Penangsang.
Dalam pertempuran itu, Arya Penangsang gugur setelah ususnya terburai dan ubun-ubunnya diisap oleh Dhanang Sutawijaya.
Usai peristiwa berdarah itu, Sunan Kudus diyakini meletakkan Rajah Kalacakra di Masjid Menara Kudus. Hingga saat ini, rajah tersebut diletakkan di gerbang pintu masjid. Mengingatkan orang agar berhati-hati terhadap kekuasaan.
Dalam sejarahnya, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) disebut-sebut pernah datang ke Kudus. Ia datang untuk mengunjungi kawannya, KH Sya’roni Ahmadi.
ADVERTISEMENT
Usai dari Kudus, Gus Dur dilengserkan melalui Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001. Gus Dur kemudian digantikan wakilnya, Megawati Soekarnoputri.
Tak sedikit orang-orang yang mempercayai dan mengaitkan lengsernya Gus Dur dengan kedatangan ke Kudus.
Guru Besar Arkeologi UI, Prof Aris Munandar, pun menanggapi mitos negatif yang melarang pejabat ke sebuah tempat. Dalam kasus mitos serupa di Kediri, misalnya, ia menyebut itu merupakan kearifan lokal yang berkembang di daerah tersebut.
"Sejauh yang saya pelajari tak ada mitos itu. (Mungkin) diciptakan saja belakangan," kata Agus saat dihubungi kumparan, Senin (17/2).