Taliban di KPK, Ditujukan Bagi Pegawai yang Justru Berintegritas?

12 Oktober 2021 11:34 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penyidik senior KPK Novel Baswedan (kanan) bersama pegawai yang tidak lolos TWK menanggalkan identitas pekerjaannya saat hari terakhir bekerja di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (30/9/2021). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Penyidik senior KPK Novel Baswedan (kanan) bersama pegawai yang tidak lolos TWK menanggalkan identitas pekerjaannya saat hari terakhir bekerja di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (30/9/2021). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, KPK sempat diterpa isu soal adanya pegawai dengan label Taliban. Para pegawai itu diisukan terafiliasi dengan golongan tertentu.
ADVERTISEMENT
Isu itu datang seiring dengan embusan revisi UU KPK yang belakangan terlaksana pada 2019. Akibat revisi itu, ada perubahan di KPK. Salah satunya ialah soal status pegawai KPK menjadi ASN.
Imbasnya, KPK kemudian menggelar Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai alih status pegawai menjadi ASN. Tes disebut untuk menguji kesetiaan pegawai kepada Pancasila, UUD RI Tahun 1945, dan Pemerintahan yang sah. Padahal sebelumnya disepakati itu cukup dengan surat pernyataan.
Hasil dari TWK ialah ada 75 pegawai KPK tidak lulus. Sebagian ada yang bersedia dibina melalui diklat. Menyisakan 57 pegawai yang dipecat pada 30 September lalu. Mereka ialah pegawai yang disebut tidak bisa dan tidak mau dibina.
Beberapa waktu lalu, eks Direktur KPK Giri Suprapdiono mengungkapkan adanya beberapa klaster pegawai yang tidak lulus TWK. Mulai dari mereka yang pernah terlibat pemeriksaan etik Firli Bahuri pada 2018 hingga para pengurus Wadah Pegawai KPK yang sempat aktif menyuarakan penolakan pimpinan bermasalah dan revisi UU KPK.
ADVERTISEMENT
"Wadah Pegawai KPK kena gak? Habis, Pak," ujar Giri dalam diskusi "KPK dan Perlawanan Balik Koruptor, yang ditayangkan kanal YouTube PKSTV.

Komnas HAM Ungkap Label Taliban di KPK

Perwakilan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK berfoto bersama usai audiensi dengan Komisioner Komnas HAM di Jakarta, Senin (24/5). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
Pelaksanaan TWK dinilai banyak masalah di dalamnya. Hal itu kemudian ditegaskan dari temuan Komnas HAM dan Ombudsman. Komnas HAM bahkan menilai ada 11 pelanggaran hak asasi manusia dalam pelaksanaan tes itu.
Komnas HAM pun meyakini TWK merupakan alat untuk menyingkirkan pegawai tertentu. Yakni, pegawai yang sebelumnya mendapat label Taliban. Menurut Komnas HAM, label atau stigma tersebut merupakan isu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
"Pelabelan atau stigmatisasi Taliban terhadap Pegawai KPK yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, baik faktual maupun hukum, adalah bentuk pelanggaran HAM," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dalam konferensi pers, Senin (16/8).
ADVERTISEMENT
Kendati demikian isu Taliban ini diduga sengaja disebarkan pihak tertentu. Namun Komnas HAM tidak mengungkapkan siapa.
Label Taliban ini dilekatkan pada pegawai KPK yang justru berkinerja dengan baik dalam pemberantasan korupsi.
"Pelabelan Taliban di dalam internal KPK sengaja dikembangkan dan dilekatkan kepada pegawai KPK dengan latar belakang tertentu sebagai bagian dari identitas maupun praktik keagamaan tertentu. Nyatanya, stigma atau label tersebut sangat erat kaitannya dengan aktivitas kerja profesional pegawai KPK," kata Anam.
"Tidak hanya itu, label ini juga melekat pada pegawai KPK yang tidak bisa dikendalikan. Padahal, karakter kelembagaan KPK atau internal KPK merujuk pada kode etik lembaga justru memberikan ruang untuk bersikap kritis dalam melakukan kontrol internal maupun kerja-kerja penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi," sambungnya.
ADVERTISEMENT

Mereka yang Tidak Bisa Dibeli Integritasnya?

Penyidik senior KPK Novel Baswedan menanggalkan identitas pekerjaannya saat hari terakhir bekerja di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (30/9/2021). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
Setelah sempat meredup, istilah Taliban di KPK sempat kembali muncul. Yakni dalam persidangan kasus suap pengurusan perkara di KPK.
Kasus itu melibatkan AKP Stepanus Robin Pattuju. Perwira polisi itu dipekerjakan di KPK. Namun, ia diduga menerima suap dengan berjanji bisa mengamankan kasus di KPK.
Total, ia diduga menerima Rp 11,5 miliar karena mengamankan 5 perkara di KPK. Termasuk dari Azis Syamsuddin serta dari eks Wali Kota Tanjungbalai, Syahrial. Dalam sidang Robin yang menghadirkan Syahrial sebagai saksi, istilah Taliban itu kembali disinggung.
Syahrial menyuap Robin agar terhindar dari kasus jual beli jabatan di Tanjungbalai. Ia pun meminta Robin mengamankannya.
Menurut Syahrial, Robin menyebut bahwa kasus suap jual beli jabatan di Tanjungbalai ditangani oleh Tim Taliban. Robin mengatakan kepada Syahrial bahwa tim tersebut 'sulit'.
ADVERTISEMENT
"Pernah disampaikan yang tangani kasus saya dibilang Taliban. Ya, sulit masuknya, orang-orang Taliban," kata Syahrial saat bersaksi melalui konferensi video dari Rumah Tahanan Kelas I Medan, dikutip dari Antara, Senin (11/10).
Tidak dijelaskan arti 'sulit' yang dimaksud Robin. Tak ada penjelasan pula siapa Taliban yang dimaksud.
Namun diduga mereka yang dimaksud Taliban ini mereka yang memiliki komitmen penuh dalam pemberantasan korupsi. Jadi tidak akan mempan disuap.
Namun, mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, pernah buka suara terkait awal terbongkarnya praktik suap di dalam KPK yang melibatkan Robin. Perkara ini awalnya ditangani beberapa satgas yang melibatkan beberapa nama, yakni Yudi Purnomo, Novel Baswedan, Ambarita Damanik, hingga Rizka Anungnata. Penggeledahan di rumah dinas Wali Kota Tanjungbalai yang mengungkap adanya praktik itu.
ADVERTISEMENT
Mulanya memang kasus Tanjungbalai ditangani oleh tiga satgas yakni Satgas Novel Baswedan, Ambarita Damanik dan Rizka Anungnata. Belakangan, semenjak kasus tersebut membuka keterlibatan Robin, satgas Novel dan Ambarita diganti, menyisakan satgas Rizka Anungnata dan tambahan satgas baru.
Rizka membenarkan soal adanya pergantian satgas tersebut. Namun dia mengaku tak mengetahui alasan penggantian sejumlah satgas tersebut, sebab saat peristiwa penggantian terjadi, satgasnya tengah berada di Tanjungbalai.
Novel Baswedan pun menilai KPK seakan enggan mengungkap kasus bak kotak Pandora itu. Sebab, belakangan timnya kemudian dilarang menangani kasus itu.
Kini, ketiga kasatgas itu pun dipecat Firli Bahuri karena tak lulus TWK. Yakni Novel Baswedan, Ambarita Damanik dan Rizka Anungnata.
Terkait istilah Taliban yang muncul dari sidang, mantan juru bicara KPK Febri Diansyah meyakini bahwa orang-orang yang diberi label itu ialah mereka yang lurus dalam bekerja.
ADVERTISEMENT
"Terlihat justru orang-orang bermasalah yang mau ngatur-ngatur perkara, terganggu sehingga menggunakan istilah Taliban untuk cap penyidik-penyidik yang kerja lurus dan enggak bisa diotak-atik," kata Febri dari akun Twitter pribadinya.
Hal yang sama juga diungkapkan mantan penyelidik KPK Aulia Posteria. Ia meyakini orang-orang yang diberi label Taliban justru penyidik yang berintegritas.
"Istilah Taliban yang dipropagandakan ala operasi intelijen via buzzeRp, sengaja terus digaungkan untuk menghancurkan karakter pegawai-pegawai KPK yang memegang teguh integritas dan enggak bisa dikondisikan untuk berbuat curang," kata Aulia dari akun Twitter pribadinya.
"Robin yang korup aja mengakui bahwa dia sulit untuk mengkondisikan," sambungnya.
Namun kini, para penyidik yang membongkar praktik suap di dalam KPK itu dipecat oleh Firli Bahuri. Alasannya, mereka tidak lulus TWK.
ADVERTISEMENT
"Jadi istilah 'Taliban KPK' itu sebenarnya bukanlah merujuk pada pemahaman agama, tetapi melainkan cara pembusukan terhadap orang-orang yang bekerja benar dan menjaga integritasnya," pungkasnya.