Tan Malaka, Berjuang dan Mati oleh Bangsa Sendiri

2 Juni 2018 13:34 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tan Malaka (ilustrasi). (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tan Malaka (ilustrasi). (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
ADVERTISEMENT
2 Juni, 121 tahun yang lalu, Tan Malaka, salah satu pahlawan Indonesia dilahirkan. Tan Malaka lahir di Nagari Pandam Gadang, Sumatera Barat 2 Juni 1897.
ADVERTISEMENT
Ia terlahir dengan nama Sutan Ibrahim. Nama Tan Malaka pada Sutan Ibrahim kecil diperoleh dari gelar semi bangsawan yang ia dapatkan dari garis turunan ibunya.
Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka begitu nama lengkapnya. Tan kecil tumbuh di lingkungan yang religius. Terlahir dari keluarga yang berada, membuat Tan muda bisa mengenyam pendidikan dengan baik. Saat usia 21 tahun, ia masuk di sekolah guru negara (Inlandsche Kweekschool Voor Onderwijzers) di kota kelahirannya.
Setelah itu, pada Oktober 1913, saat memasuki usianya yang ke 26, Tan meninggalkan desanya menuju Belanda untuk belajar di Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah).
Saat di Belanda inilah yang kemudian disebut-sebut menjadi faktor yang mengubah kehidupan dan cara berpikir Tan di kemudian hari.
Tan di Comintern, ketiga dari kiri atas (Foto: Wikipedia)
zoom-in-whitePerbesar
Tan di Comintern, ketiga dari kiri atas (Foto: Wikipedia)
Pada 1919, Tan kembali ke Indonesia setelah berhasil menamatkan pendidikannya di Belanda. Pascakembalinya Tan ke Indonesia, ia menjadi salah satu motor perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan Belanda.
ADVERTISEMENT
Ia menjadi guru bahasa Melayu untuk anak-anak petani di perkebunan teh di Deli, Sumatera Utara. Melihat kenyataan bahwa saudara sebangsanya masih terjajah dan tertindas, mengetuk hati seorang Tan.
Saat itu, semangat perlawannya ditunjukan dengan banyak cara, mulai dari membuat pamflet perlawanan, menulis di harian Sumatera Pos, hingga menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat).
Perlawanan-perlawanannya itu kemudian menyeretnya ke pengasingan di Belanda pada 1922. Ia diasingkan ke Belanda setelah dituduh terlibat berbagai aksi buruh.
Setelah berada 20 tahun di pengasingan, ia baru dapat kembali ke Indonesia, atau tepatnya pada 1942. Ia kembali, bersamaan dengan datangnya Jepang ke Indonesia. Sama seperti sebelumnya, ia tak tinggal diam ketika melihat bangsanya di bawah kaki penjajahan.
ADVERTISEMENT
Setelah banyak cara Tan tempuh untuk berjuang, ia malah mati di tangan bangsanya sendiri. Ia mati ditembak pasukan Batalyon Sikatan Divisi Brawijaya di Gunung Wilis, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949.
Tan menyongsong ajal bukan sebagai pahlawan --meski 14 tahun setelah kematiannya, ia ditetapkan Presiden Sukarno sebagai pahlawan nasional.
Tan Malaka, menurut sejarawan Belanda Harry A. Poeze yang meneliti sosok Tan. Semasa hidup, Tan diburu aparat kolonial karena mendukung kemerdekaan Indonesia. Namun ia malah mati oleh bangsa sendiri.
“Ia ditembak mati begitu saja, atau ditembak setelah divonis oleh pengadilan semu,” tulis Poeze dalam karyanya, Memuliakan, Mengutuk dan Mengangkat Kembali Pahlawan Nasional: Kasus Tan Malaka.
Tan Malaka Muda (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Tan Malaka Muda (Foto: Istimewa)
Menurut Poeze, perintah eksekusi mati atas Tan datang dari Letnan Dua Soekotjo, yang ia sebut sebagai “Orang sangat kanan yang menganggap Tan Malaka harus dihabisi.”
ADVERTISEMENT
Hal itu menjadi masuk akal, sebab, di hari-hari sebelum tentara mengeksekusinya, Tan yang merupakan pelopor sayap kiri Indonesia kembali membuat gerakan.
Tan bergerak di bawah Persatuan Perjuangan dari Maret 1946 sampai September 1948. Hal itu yang membuatnya dijebloskan ke penjara selama 2,5 tahun tanpa pernah diadili.
Sekeluar dari penjara September 1948, Tan mencoba mengumpulkan kembali pendukungnya, hingga pada awal Oktober 1948 menggagas pembentukan Partai Murba yang berasaskan nilai-nilai “antifasisme, antiimperialisme dan antikapitalisme”.
Partai Murba akhirnya resmi berdiri sebulan kemudian, 7 November 1948, di Yogyakarta. Pada bulan yang sama, peristiwa besar meletus. Di bawah seruan tokoh Komunis Indonesia, Musso dan sejumlah kelompok kiri, Musso berencana menguasai wilayah strategis seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Namun, bisa dikatakan pemberontakan itu berakhir dengan sia-sia. Sebab, dengan cepat TNI menumpasnya pada akhir November 1948.
Sisa-sisa pemberontak yang ada di Kediri kemudian dikumpulkan Tan Malaka. Ia membentuk pasukan Gerilya Pembela Proklamasi, yang berujung pada ditembak matinya dia di Kediri pada 21 Februari 1949 --tanpa banyak orang tahu.
Tugu Peringatan Tan Malaka (Foto: Prasetia Fauzani/Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Tugu Peringatan Tan Malaka (Foto: Prasetia Fauzani/Antara)
Kuburan Tan bahkan ditemukan dan diketahui publik jauh setelah ia mati, ketika Poeze pada 2014 --setelah melalui rangkaian penyelidikan-- memastikan bahwa makam Tan berada di sebuah desa di kaki gunung yang masuk wilayah Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Tan tak benar-benar mati, sama seperti keyakinannya. Jiwanya tetap hidup.
Tan, dalam bukunya, Madilog, mengemukakan keyakinannya bahwa jiwa adalah “Barang terpisah dari jasmani.” Hal ini terbukti pada Selasa, 21 Februari 2017, tepat 68 tahun kematian Tan Malaka, 100-an masyarakat Minang menjenguk jasadnya. Mereka datang demi menuntaskan janji untuk menjemput Ibrahim Tan Malaka guna dikebumikan di tanah kelahirannya.
ADVERTISEMENT
Selamat ulang tahun, Tan!