Tandu Jenderal Sudirman dan Semangat Prajurit Era Kemerdekaan

10 Desember 2017 11:28 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Alutsista TNI di museum Satria Mandala (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Alutsista TNI di museum Satria Mandala (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
ADVERTISEMENT
Salah satu daya tarik Museum Pusat Sejarah TNI Satria Mandala adalah tandu dan beragam benda kenangan lain dari Panglima Besar Sudirman. Panglima angkatan bersenjata pertama di Indonesia ini harus melanjutkan perjuangan, dengan satu paru-paru, dan mengakibatkan dirinya harus bergerilya di atas tandu.
ADVERTISEMENT
kumparan (kumparan.com) menyempatkan mengintip seperti apa tandu yang menghantar Indonesia kepada kedaulatan yang paripurna tersebut. Tandu tersebut menjadi hal yang ikonik dari kisah gerilya Sudirman.
Sebuah sarana yang jauh dari kata keperkasaan militer, namun menjadi simbol kemerdekaan dan perjuangan sebuah negara. Tandu Sudirman memang hanya terbuat dari bambu. Dua buah bambu memanjang ke depan, dan tempat duduk Sudirman sendiri hanya terbuat dari anyaman bambu.
Alutsista TNI di museum Satria Mandala (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Alutsista TNI di museum Satria Mandala (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
Jenderal Sudirman sebenarnya telah dianjurkan untuk tetap berada di Yogyakarta saat agresi militer ke-2 Belanda tahun 1948 dimulai. Kala itu, Lapangan Udara Maguwo telah dikuasai oleh Belanda. Presiden Soekarno kala itu menahan Sudirman untuk terus berada di Yogyakarta dengan alasan kesehatan.
Namun jawaban yang diberikan oleh Sudirman sendiri mencerminkan sikap ksatria sejati. "Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah," ujar Sudirman di hadapan bapak negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Alutsista TNI di museum Satria Mandala (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Alutsista TNI di museum Satria Mandala (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
Akhirnya Sudirman harus bergerak di atas tandu, sembari mengordinasi prajuritnya melewati lembah dan ngarai. Tandu Sudirman digotong oleh para prajurit secara bergantian. Kegigihan Sudirman semakin mengobarkan semangat prajuritnya untuk terus berjuang melawan Belanda.
Rute gerilya Sudirman memanjang sejauh 100 kilometer, berawal dari Yogyakarta dan berakhir di Ponorogo, Jawa Timur. Belakangan, rute gerilya tersebut menjadi rute wajib bagi para taruna Akademi Militer Indonesia dalam pendidikannya.
Pilihan Sudirman untuk bergerilya merupakan sebuah keputusan tepat. Jenderal AH Nasution, dalam bukunya berjudul 'Pokok-Pokok Gerilya', perang Gerilya berarti sebuah perang untuk memeras darah musuh, menghancurkan moral dengan cara perusakan infrastruktur, moril, dan perekonomian musuh. Kala itu Belanda memang jauh lebih kuat daripada TNI yang masih seumur jagung, tanpa pengalaman dan mengandalkan alutsista yang minim.
ADVERTISEMENT
Maka bayangkan saja bagaiamana rasanya menjadi Sudirman kala itu. Anda harus bertempur dengan satu paru-paru, di atas tandu, dan melewati wilayah yang sangat rawan baik dalam segi kontur maupun sergapan serdadu Belanda yang lebih kuat.
Atas contoh dan semangatnya, Sudirman berhasil memaksa Belanda angkat kaki dari ibu kota RI di Yogyakarta pada 11 Maret 1949. Gencatan senjata dilakukan dengan serangkaian perjuangan, dan akhirnya Sang Panglima Besar pun mangkat pada 29 Januari 1950 di Magelang, Jawa Tengah, usai menuntaskan gerilyanya.