Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Perkara penguntitan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Febrie Adriansyah oleh anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri rampung tanpa klarifikasi maupun penjelasan dari para pihak terkait. Kejaksaan Agung dan Polri kompak tutup mulut, menyebut keriuhan yang sempat terjadi antarpersonel mereka sudah dibereskan dan hubungan dua instansi penegak hukum itu baik-baik saja.
Namun, lima sumber kumparan, dua di antaranya di lingkup Polri dan Istana, menyebut bahwa penguntitan tersebut diduga terkait persoalan tambang. Saat ini Tim Jampidsus tengah menangani dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah yang merugikan negara Rp 300 triliun.
Dugaan tersebut, menurut beberapa anggota Komisi III DPR—sebagai mitra kerja Kejagung dan Polri—bisa jadi benar. Pensiunan perwira tinggi Polri Irjen (Purn) Ansyaad Mbai pun mengamini hal itu. Ia mengamati ada perebutan pengaruh pengelolaan tambang antarpejabat.
“Ada tauke baru yang muncul sebagai penguasa dari pengelolaan sumber daya alam ini,” kata Ansyaad dalam sebuah dialog.
Lebih lanjut, menurut sejumlah sumber, ada pihak yang terusik dengan penanganan kasus tambang di Kejagung, sebab hal itu membuat pihak tertentu yang selama ini diuntungkan dapat tergusur dan tergantikan oleh pihak lain. Inilah yang tadi disebut “perebutan pengaruh pengelolaan tambang”.
Sesungguhnya kelindan aparat dan tambang bukan persoalan baru, baik di tambang batu bara, emas, sampai timah. Bukan rahasia pula bahwa oknum polisi kerap dituding jadi beking pertambangan ilegal .
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pun sejak lama menyoroti dugaan keterlibatan aparat dalam pertambangan ilegal yang tersebar di berbagai daerah, dari Bangka Belitung, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, sampai Papua. Modusnya macam-macam; bisa memuluskan perizinan, menjadi beking, sampai aktif ikut menambang.
Desember 2023, mendekati Pemilu 2024, JATAM merilis soal pembiaran tambang ilegal di berbagai wilayah. Jumlahnya bukan cuma puluhan, tapi dua ribuan.
“Data dari Kementerian ESDM, ada 2.700 tambang ilegal di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 2.600 lokasi merupakan tambang mineral dan 96 adalah tambang batu bara,” kata pengacara publik JATAM, Muh. Jamil.
Pembiaran itu, menurut JATAM, jelas karena ulah aparat sendiri yang bukannya menegakkan hukum, malah ikut jadi pemain.
“Penegakan hukum yang jalan di tempat dipicu oleh tindakan aparat penegak hukum yang justru menjadi salah satu pemain penting di balik tambang ilegal,” kata Jamil.
Menimbun Emas
Jejak aparat dalam galian tambang misalnya ditemukan pada 2022 di Kalimantan Utara, kala Polda Kaltara mengungkap pertambangan emas ilegal di Desa Sekatak Buji, Kabupaten Bulungan. Tambang itu dimiliki oleh Briptu Hasbudi, personel Polairud Polres Tarakan.
Selain memiliki tambang emas, Hasbudi juga punya bisnis baju bekas dan daging selundupan. Kasus terbongkar saat Polda Kaltara memergoki penyelundupan 17 kontainer baju bekas milik Hasbudi.
Dalam pengembangan kasus, Polda menyita 12 speedboat milik Hasbudi. Selusin speedboat itu dicat abu-abu sehingga mirip speedboat Polri. Tujuannya untuk mengelabui rekan-rekan polisinya saat Hasbudi menyelundupkan baju bekas.
Dari baju bekas dan speedboat, polisi bergerak menyita lebih banyak barang bukti, termasuk yang terkait operasi tambang emas ilegal seperti 3 ekskavator. Dalam menjalankan tambang ilegalnya, Hasbudi bekerja sama dengan para tersangka lain yang berperan sebagai koordinator, mandor, penjaga bak, dan sopir truk.
Meski jumlah emas yang ditimbun Hasbudi tak bisa dipastikan, namun berdasarkan informasi yang dihimpun, diperkirakan tambang emas miliknya menghasilkan 2–3 kg emas per bulan. Artinya, menurut perhitungan tahun 2022, Hasbudi bisa meraup Rp 2 miliar per bulan.
Menggali Batu Bara
Berburu duit juga dilakukan oknum aparat di pertambangan batu bara ilegal, salah satunya di Kalimantan Timur. Kasus ini terungkap di tengah geger perkara pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat oleh Ferdy Sambo.
Ketika itu muncul video pengakuan Aiptu Ismail Bolong, anggota Satintelkam Polresta Samarinda, yang menyebut pernah memberikan uang Rp 6 milliar kepada seorang jenderal di Mabes Polri. Video itu muncul di publik awal November 2022.
Dalam video tersebut, Ismail berkata bahwa tambang batu bara di Santan Ulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, itu berjalan sejak Juli 2020 sampai November 2021.
“Keuntungan yang saya peroleh dari pengepulan dan penjualan batu bara sekitar Rp 5 milliar sampai Rp 10 milliar setiap bulannya,” kata Ismail.
Ismail menyatakan, usahanya lancar karena dapat beking dari jenderal Polri—yang namanya tak ia sebutkan. Di kemudian hari diketahui bahwa Ferdy Sambo yang kala itu menjabat Kadiv Propam pernah menerbitkan laporan hasil penyelidikan pada 7 April 2022.
Rupanya saat itu Sambo tengah memeriksa anggota polisi aktif. Dalam laporan itu, terdapat beberapa nama perwira menengah terkait Ismail Bolong. Riuh perkara itu membuat Mahfud MD, yang kala itu Menko Polhukam, turut berkomentar.
“Bulan Juni dia (Ismail Bolong) minta pensiun dini, dan dinyatakan pensiun per 1 Juli 2022. Aneh ya,” kata Mahfud, 22 November 2022.
Pada akhirnya, Ismail akhirnya menyerahkan diri ke Bareskrim Polri pada 6 Desember 2022. Kuasa hukumnya, Johanes Tobing, menyatakan kliennya tak pernah memberikan duit ke Kabareskrim.
Dua hari kemudian, 8 Desember, Polri menyampaikan hasil pemeriksaan terhadap Ismail. Disebutkan bahwa Ismail berperan mengatur kegiatan pertambangan ilegal di lingkungan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) milik PT Santan Batubara.
Mengeruk Timah
Tambang timah sudah tentu tak lepas dari incaran oknum aparat. Keterlibatan para jenderal dalam pertambangan timah di Bangka Belitung pernah ditulis oleh Majalah Tempo pada 2014.
Ketika itu, menurut Ketua Tim Panja Timah DPRD Bangka Belitung Eka Mulia Putra, negara berpotensi rugi Rp 4,17 triliun. Dalam tambang timah ilegal itu, ada oknum jenderal yang disebut-sebut melindungi para penyelundup.
Agustus 2014, Ketua Umum Asosiasi Eksportir Timah Indonesia saat itu, Jabin Sufianto, menyebut 50% perusahaan di Bangka dapat bantuan dana untuk beli pasir timah yang ditambang ilegal. Timah ilegal juga sampai ke Singapura.
Eks petinggi Polri menyebut, praktik itu lancar karena ada beking aparat. Beking-membeking ini bukan cuma pada pertambangan skala besar, tapi juga kecil.
Kasus terbaru dugaan korupsi tata niaga timah yang kini ditangani Kejaksaan Agung dan menjerat 22 tersangka sampai saat ini, menjadi tanda bahwa kelindan oknum aparat dan pengelolaan tambang adalah dua hal yang sulit dipisahkan.