Tarik Rem Darurat: Hindarkan Indonesia dari Tragedi Kemanusiaan

26 Juni 2021 13:47 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 14:11 WIB
Petugas berjalan di area pemakaman jenazah dengan protokol COVID-19 di TPU Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, Senin (21/6/2021). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas berjalan di area pemakaman jenazah dengan protokol COVID-19 di TPU Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, Senin (21/6/2021). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu terakhir ini, media sosial hingga grup percakapan dalam aplikasi WhatsApp, baik WAG (WhatsApp Group) kantor serta keluarga, didominasi berita duka terkait COVID-19. Satu per satu teman, kolega, saudara jauh, saudara dekat, bahkan keluarga inti terpapar COVID-19 hingga berpulang.
ADVERTISEMENT
Enam belas bulan berlalu sejak pandemi dimulai di Indonesia, para nakes masih berjibaku. Banyak di antara mereka pun gugur.
Kelelahan pun dialami dokter, perawat, bahkan hingga sopir ambulans dan penggali kubur. Di lapangan, tidak hanya nakes yang berjuang, para camat, para lurah, para relawan pemulasaraan, para relawan petugas ambulans, hingga ibu-ibu PKK bersinergi membantu sesama melawan COVID-19. Para relawan ini tidak memiliki SK, tidak juga memperoleh SPPD dalam setiap kegiatannya.
Di Bantul, sejumlah relawan Muhammadiyah COVID-19 Command Center (MCCC) berjibaku memulasarakan dan memakamkan jenazah pasien. Bahkan pada pukul 01.00 WIB dini hari mereka masih harus mengurus dua jenazah.
Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Kudus yang melakukan penguburan jenazah non Muslim. Foto: Dok. Muhammadiyah
Pada saat ayam berkokok dan azan Subuh berkumandang, mereka baru menyelesaikan pemakaman jenazah kedua. Sebagian di antara mereka tertidur kelelahan masih dengan APD dan face shield yang masih melekat.
ADVERTISEMENT
Lain hal di Yogya. Sekelompok relawan SONJO (Sambatan Jogja) menggelar rapat darurat melalui zoom membahas kelangkaan oksigen di rumah sakit. Dua hari berikutnya mereka terpaksa rapat darurat lagi membahas penurunan kemampuan lab-lab dalam melakukan tes PCR. Menariknya, tidak ada di antara mereka memegang SK sebagai Kepala Dinkes.
Cerita lain soal dua dokter memberikan bimbingan teknis gratis dimulai jam 20.00 WIB malam. Kegiatan ini diikuti elemen masyarakat dari Kudus, Pati, Rembang, Demak, Bandung Barat, dan Bangkalan. Saat kegiatan berakhir jam 22.30 WIB, kedua dokter memperoleh honor yang sangat tinggi: ucapan terima kasih dari peserta.
Pemerintah tidak sendirian dalam menanggulangi pandemi ini. Banyak relawan di berbagai pelosok, tanpa SK, tanpa digaji, tapi mereka berdedikasi mengalokasikan waktunya, mencurahkan tenaganya, mengikuti empati di hatinya bekerja demi kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Mereka-mereka ini bekerja tanpa gegap gempita. Mereka tidak punya waktu menjadi memproduksi dan menyebar hoaks. Mereka mengesampingkan perbedaan aspirasi politik dan sepakat fokus bekerja untuk kemanusiaan.
Tidak dipungkiri gelombang kedua kali ini lebih dahsyat dari gelombang pertama. Varian Delta menjadikan penyebaran COVID-19 semakin kompleks. COVID-19 telah bermutasi, mempersenjatai diri dengan kemampuan infeksi yang lebih cepat.
Ibarat perang, lawan mengubah strategi perang, adalah naif jika kita tetap menerapkan strategi yang sama namun mengharapkan hasil lebih baik. Perubahan strategi lawan harus dihadapi dengan adaptasi dan inovasi untuk mencari solusi penanggulangan pandemi.
Masyarakat menggunakan masker saat berjalan melintasi terowongan Kendal, Jakarta, Selasa (26/1). Foto: Wahyu Putro A/Antara Foto
Selama 16 bulan terakhir menghadapi pandemi, perdebatan kita di ruang-ruang terbuka terpaku pada mempertentangkan ekonomi vs kesehatan. Satu hal yang terlupakan dari diskursus tersebut adalah kita tidak membicarakan masalah kemanusiaan. Tidak dipungkiri aspek kemanusiaan menembus batas sekat-sekat ekonomi. Kemanusiaan juga menembus batas sekat-sekat sosial dan politik.
ADVERTISEMENT
India dan Nepal telah mengalami tragedi kemanusiaan akibat penularan COVID-19 yang tidak terkontrol. Sehingga, menjadi pertanyaan: masih patut kah kita mempertentangkan ekonomi dan kesehatan jika nanti kita mengalami tragedi kemanusiaan? Masih kah kita berdebat tentang dampak social pandemic dan penanganannya ketika tragedi kemanusiaan melanda Indonesia? Masih kah kita membicarakan dampak politik penanggulangan pandemic ketika tragedi kemanusiaan menyerang Indonesia? Sekarang saatnya pemerintah menarik rem darurat untuk menghindarkan Indonesia dari tragedi kemanusiaan.
Enam belas bulan COVID-19 menyerang kita, belum ada data kematian warga terjadi akibat PSBB ataupun lockdown. Inilah data imaginer yang sejak Mei 2020 didengungkan dan ternyata memang tidak pernah ada.
Namun anehnya data imaginer ini lebih menakutkan daripada angka kematian yang nyata akibat COVID-19. Bahkan data imaginer tersebut lebih ditakuti daripada apa pun dampak COVID-19 yang terus berkepanjangan maupun kondisi kesehatan banyak penyintas COVID-19 yang belum dapat pulih seperti sedia kala.
ADVERTISEMENT
Kembali muncul pertanyaan. Mengapa kita tidak membicarakan dampak COVID-19 dari sisi QUALY (quality assurance life years) yang jelas-jelas dapat dihitung? Mengapa data meningkatnya kematian yang jelas tidak dapat dipungkiri dikalahkan oleh data imaginer kematian warga akibat lockdown yang belum pernah ada?
Mengapa di negeri ini, sejak Orde Baru hingga sekarang, kita seolah membobot ekonomi lebih tinggi daripada sektor lain? Bahkan di masa pandemi sekalipun, kita sangat khawatir terhadap penurunan arus modal asing. Di masa pandemi ini, kita sangat khawatir dengan pertumbuhan ekonomi, padahal jelas-jelas perekonomian dunia menjadi autarky akibat pandemic. Adakah faktor lain yang jauh lebih penting daripada faktor ekonomi, sosial dan politik di dunia ini yang perlu kita perhatikan? Ada, yaitu aspek kemanusiaan. Ekonom mungkin dipandang sebagai kaum yang materialitis. Benarkah ekonom lebih mengedepankan indicator-indikator kinerja ekonomi dibandingkan kemanusiaan? Apakah itu realitas ataukah jangan-jangan itu mitos?
Menteri Keuangan Sri Mulyani berkunjung ke Pasar Santa, Jakarta Selatan, untuk berbelanja dan menjelaskan PPN Sembako (14/6). Foto: Instagram/@smindrawati
Di masa darurat menghadapi gelombang kedua COVID-19, fokus penanganan harusnya bukan karena pertimbangan ekonomi, sosial, ataupun politik. Namun di atas itu semua, di masa krisis dan kritis ketika COVID-19 merajalela, aspek kemanusiaan adalah prioritas utama kita bersama.
ADVERTISEMENT
Di saat krisis seperti ini, di saat ujung kapan badai ini akan berakhir belum kelihatan, tidaklah patut untuk kemudian mempermasalahkan siapa yang harus menangani pandemi ini. Kapal tidak bisa dibiarkan karam. COVID-19 akan terus digdaya jika kerumunan, ketidakpatuhan, pelumrahan, tetap berlanjut.
Pandemi adalah musuh bersama yang dapat menimpa siapa pun, di mana pun dan kapan pun. Musuh bersama tidak dapat ditangani oleh pemerintah saja, atau kalangan bisnis saja, atau masyarakat saja. Pandemi sebagai musuh bersama, adalah beban dan tanggung jawab kita bersama.
Pemerintah dengan APBN, terlalu kecil untuk mampu menanggulangi pandemi. Diperlukan sinergi semua elemen bangsa, yaitu pemerintah, dunia usaha, masyarakat, dan keluarga untuk bersinergi dan bekerja sama menanggulangi pandemic ini. Tidak ada lagi saya atau kamu, dalam kondisi genting seperti ini hanya ada satu kata: KITA.
ADVERTISEMENT