Presiden Jokowi menyerahkan bansos di Kepulauan Aru

Tebar Bansos Jelang Pilpres: Demi Kebutuhan Rakyat atau Kepentingan Elektoral?

5 Februari 2024 19:46 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Di hadapan para menterinya, Presiden Jokowi meminta agar mereka meneruskan program bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat. Instruksi itu ia sampaikan dalam rapat kabinet paripurna pada 9 Januari 2024.
Jokowi mengawali arahannya dengan mengangkat isu perubahan geopolitik global yang penuh ketidakpastian, dan menyambungnya dengan keharusan Indonesia untuk bersiap jelang Pemilu 2024 dan Hari Raya Idul Fitri. Oleh sebab itu, para menteri diminta mewaspadai perubahan iklim yang bisa mengganggu produksi pangan, dan mengkalkulasi stok pangan secara jeli.
“Mengenai bantuan sosial, perlu saya ingatkan agar diteruskan dan dipantau supaya tepat sasaran, baik yang berupa bansos pangan, PKH (Program Keluarga Harapan), atau BLT (Bantuan Langsung Tunai),” perintah Jokowi di Istana Negara.
Jokowi pada pembagian BLT El Nino di Kantor Pos Malang, 14 Desember 2023. Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden
Sepekan sesudahnya, 14 Januari, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto membagi-bagikan bansos kepada 100 warga di Desa Kuta, Lombok Tengah, NTB. Di hadapan warga, ia berkata bahwa bansos itu turun atas arahan Presiden Jokowi sehingga warga perlu berterima kasih kepadanya.
“Bapak Presiden dalam sidang kabinet kemarin meminta agar BLT El Nino untuk dilanjutkan sampai bulan Juni. Terima kasih enggak, Bu, sama Bapak Presiden? Tolong Ibu bicara ‘Terima kasih Pak Jokowi.’ Tolong direkam. Bisa?” ujar Airlangga.
Para penerima bansos di Desa Kuta itu pun berbarengan berucap, “Terima kasih Pak Jokowi.”
Airlangga pada Temu Wicara Bersama Masyarakat Yogya Penerima Bantuan BLT El Nino di Kantor Pos Cabang Utama Yogyakarta, 24 Desember 2023. Foto: Kemenko Perekonomian
Airlangga yang juga Ketua Umum Golkar—salah satu partai utama pengusung Prabowo-Gibran—menjelaskan bahwa bansos tersebut adalah kelanjutan dari bantuan pangan 10 kg beras yang sudah digelontorkan September-Desember 2023 guna menyiasati kekeringan panjang imbas fenomena alam El Nino. Kini, bantuan tersebut direncanakan diturunkan sampai Juni 2024 untuk 22 juta keluarga penerima manfaat (KPM).
Selain itu, Airlangga mengatakan bahwa Jokowi memerintahkan pembagian BLT Rp 200 ribu per bulan. Akhir Januari, usai High Level Meeting Tim Pengendali Inflasi Pusat, Airlangga dan Menteri Keuangan Sri Mulyani merilis bansos tersebut dengan nama BLT Mitigasi Risiko Pangan. BLT ini akan turun tiga bulan sekaligus sebesar Rp 600 ribu pada Februari 2024.
“Kalau untuk tiga bulan itu—Januari, Februari, Maret—anggarannya Rp 11,25 triliun, diturunkan untuk 18 juta KPM (keluarga),” kata Sri Mulyani di Kemenko Perekonomian, Senin (29/1).
Jokowi bagikan BLT di Pasar Baru Subang. Foto: Kris/Biro Pers Sekretariat Presiden
Instruksi perpanjangan bansos oleh Jokowi menyeruak usai beberapa pekan sebelumnya disoal tim kampanye 01 dan 03. Menurut kedua kubu tersebut, guyuran bansos mesti ditunda karena rentan dipolitisasi jelang pilpres. Belakangan, mereka meralat usulan penundaan bansos, namun mewanti-wanti agar bansos tidak dimanfaatkan untuk kepentingan paslon tertentu.
Sekjen PDIP sekaligus Sekretaris Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Hasto Kristiyanto, terang-terangan menuding bahwa bansos digunakan untuk kepentingan elektoral paslon 02, Prabowo-Gibran. Terlebih, Gibran adalah putra sulung Jokowi.
Meski Jokowi tidak pernah secara verbal menyatakan dukungan untuk Prabowo dan anaknya di Pilpres 2024, banyak orang menilai sinyal keberpihakan sang Presiden kepada mereka tak lagi disembunyikan.
“Ketika bansos sudah dipolitisasi untuk kepentingan paslon 02, bahkan ada bansos juga yang masuk ke kantong-kantong partai paslon 02, ini menunjukkan pelanggaran serius,” kata Hasto di Jakarta, Sabtu (3/2).
Tudingan Hasto itu dibantah Istana. Sehari sebelumnya, Jokowi berujar, “Bantuan pangan sudah dari September 2023. Jangan pikir bansos hanya keputusan kami sendiri. Dalam mekanisme kenegaraan dan pemerintahan tidak seperti itu.”
Jokowi menyapa warga saat meninjau penyaluran bantuan pangan beras di Serang, Banten, 8 Januari 2024. Foto: Asep Fathulrahman/ANTARA

Apakah Bansos Sesuai Kebutuhan?

Presiden Jokowi bukan cuma sekali-dua kali turun gunung bagi-bagi bansos langsung kepada masyarakat. Dihimpun dari publikasi resmi Sekretariat Negara, dari medio Desember 2023 sampai awal Februari 2024, setidaknya sudah 17 kali Jokowi ikut bagi-bagi bansos di daerah.
Pada 4-6 Desember 2023, Jokowi membagikan bansos 10 kg beras ke Labuan Bajo dan Kupang; 13-14 Desember bagikan BLT El Nino dan beras di Pekalongan dan Malang; pada 21 Desember di Penajam Paser Utara; 27-28 Desember di Banyuwangi dan Talaud; 2-3 Januari 2024 di Cilacap, Banyumas, dan Tegal; 8 Januari di Serang; 20, 22, 23 Januari di Sleman, Grobogan, dan Temanggung; 30 Januari-1 Februari di Bantul, Klaten, dan Sukoharjo.
Dengan demikian, untuk bagi-bagikan berbagai bansos itu, Jokowi sudah keliling Jawa, Nusa Tenggara, sampai Kalimantan.
Jokowi membagikan bansos kepada masyarakat di Pasar Langgur, Maluku Tenggara, 15 September 2022. Foto: Dok. Biro Pers Sekretariat Presiden
Lantas, apakah bansos-bansos tersebut tepat sasaran dan tepat guna? Bagaimana dengan bansos 10 kg beras yang menyasar 22 juta keluarga selama enam bulan? Total ada 1,32 juta ton cadangan beras pemerintah (CBP) yang mesti digelontorkan demi bansos teranyar itu.
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori berpendapat, logika membagi-bagikan bansos pangan ke masyarakat adalah untuk menekan harga beras yang tinggi. Beredarnya beras bansos diharapkan mengurangi permintaan akan beras di tengah masyarakat. Dengan begitu, sesuai hukum pasar, jika permintaan berkurang, maka harga beras pun akan turun.
Tahun 2023, pemerintah menggunakan strategi serupa dengan membagikan bansos 10 kg beras selama tujuh bulan (Januari-Maret dan September-Desember) kepada 21,35 juta keluarga. Dengan rata-rata konsumsi sekitar 2,6 juta ton per bulan, maka beras bansos setidaknya mengurangi 213.000 ton (8,2%) permintaan beras bulanan.
“Pada Juni 2023, terlihat harga stabil. Nah, Juli-Agustus karena enggak ada bansos, harga beras naik lagi. Pemerintah lalu tambah [bansos beras] September-Desember. Walau bantuan itu plus operasi pasar, tidak bisa menurunkan harga, tapi paling tidak menahan kenaikan harga,” jelas Khudori.
Meski demikian, menurut Khudori, ada dua hal yang perlu dikritisi dari bansos bantuan pangan beras.
Pertama, jaring pengaman sosial reguler (seperti Bantuan Pangan Non Tunai, Bantuan Sosial Tunai, Program Keluarga Harapan, Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, dan lain-lain) sudah banyak, sehingga Khudori mempertanyakan efektivitas bansos ad hoc yang dilanjutkan di 2024.
“Padahal ada PKH, sasarannya 10 juta rumah tangga, lalu BPNT/program sembako sasarannya sekitar 20 juta rumah tangga. Penerimanya itu-itu saja, warga yang masuk kelompok desil 1 dan 2 atau kelompok miskin terbawah, kira-kira 20-25% populasi Indonesia,” terangnya.
Kedua, sasaran BLT El Nino dan BLT Mitigasi Risiko Pangan 2024 tak pernah dibuka. Jadi, siapa mereka? Apakah merupakan penerima yang sama—atau tidak—dengan sasaran bansos lain yang selama ini telah bergulir lebih dulu?
Stiker Keluarga Miskin di salah satu rumah Keluarga Penerima Manfaat (KPM) bantuan sosial di Indramayu. Foto: Dedhez Anggara/Antara
Pemerintah perlu transparan soal warga yang menjadi sasaran tiap bansos: apakah sama atau tidak? Kalau sama, maka ada potensi tumpang tindih yang berujung pada tidak efektifnya sebagian bantuan yang digelontorkan.
Selama ini, kucuran bansos reguler yang dibawahi Kementerian Sosial menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kemensos. Namun pada dua bansos teranyar, menurut Airlangga, menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan DTKS Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Kemenko PMK.
Secara spesifik, Badan Pangan Nasional menyebut sasaran penyaluran bansos 10 kg beras berasal dari data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) Kemenko PMK, tepatnya berjumlah 22.044.077 keluarga. Jumlah itu, jika melihat dashboard P3KE, merupakan penggabungan jumlah keluarga miskin di desil 1 (6.878.649), desil 2 (7.474.796), dan desil 3 (7.650.632). Sementara desil 4 (kategori rentan miskin) tidak termasuk.
“Sudah ada data Susenas dan DTKS dari TNP2K Kemenko PMK. Jadi datanya sudah dipadupadankan,” ujar Airlangga. Menurutnya, penerima BLT Mitigasi Pangan (18,8 juta keluarga) berbeda dengan penerima bantuan beras (22 juta keluarga).
Menteri Sosial Tri Rismaharini di Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Papua Selatan, 1 Juni 2023. Ia konon tidak dilibatkan dalam proses distribusi bansos-bansos teranyar. Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA

El Nino Jadi Biang Keladi?

Sejak Oktober 2023, Badan Pusat Statistik mewanti-wanti adanya defisit beras nasional di Indonesia. Biang keroknya ialah fenomena alam El Nino yang membuat produksi beras nasional per bulannya turun secara gradual hingga akhir tahun.
Pada saat itu, BPS mengutip BMKG dan badan klimatologi dunia yang memprediksi El Nino moderat bakal bertahan hingga April 2024. Inilah yang menjadi justifikasi pemerintah untuk menggelontorkan bansos tambahan dan mengimpor beras demi menambah cadangan beras nasional.
Pada 2023, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menugaskan Bulog mengimpor 3,5 juta ton beras. Setengah juta ton di antaranya tak terealisasi, sehingga total impor beras hanya 3 juta ton.
Kemudian, menyiasati defisit beras prakiraan BPS pada Januari dan Februari 2024 sebesar 2,83 juta ton, Jokowi memerintahkan Bapanas untuk menugasi Bulog mengimpor 2 juta ton beras plus tambahan sisa kuota 500 ribu ton yang tak terealisasi di 2023.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Prof. Dwi Andreas Santosa menyatakan, kebijakan impor beras itu serampangan. Musababnya, keputusan impor didasarkan pada proyeksi penurunan produksi 2023 akibat El Nino yang jumlahnya hanya 650 ribu ton beras.
Dwi mengatakan, jumlah impor beras pemerintah dan swasta pada 2023—yang totalnya mencapai 3,06 juta ton—adalah berlebihan karena proyeksi penurunan produksi beras relatif kecil.
Belum lagi, menurut BPS, jumlah impor itu (2,53 juta ton pada Januari-November 2023) merupakan rekor impor beras tertinggi selama lima tahun terakhir. Bahkan berdasarkan data Prof. Dwi, rekor itu adalah yang tertinggi dalam 25 tahun terakhir!
Oleh sebab itu, tegas Prof. Dwi, justifikasi pemerintah untuk mengimpor beras karena El Nino jadi kurang tepat. Apalagi pada akhir 2023, BMKG memproyeksikan kondisi alam yang lebih baik: Januari-Maret 2024, El Nino di fase lemah; Maret-Mei, El Nino lemah hingga netral; dan Juni diprediksi netral (normal).
Prediksi El Nino 2024 oleh BMKG dan badan klimatologi dunia pada Desember 2023. Foto: Dok. BMKG
Soal prediksi defisit beras, menurut Prof. Dwi, ada kesalahan komunikasi di tubuh pemerintah yang tidak menjelaskan bahwa produksi beras di satu bulan akan minus jika dikurangi jumlah konsumsi bulanan (±2,5-2,6 juta ton).
Tanpa komunikasi yang jelas, masyarakat bisa panik lantaran menganggap stok beras kurang atau langka. Padahal, bisa jadi produksi beras akan surplus atau berlebih pada bulan-bulan tertentu saat musim panen raya. Dengan begitu, cadangan beras saat panen raya bisa menutupi defisit beras pada bulan lainnya.
“Kalau tahun lalu, defisitnya sejak Juli, terus sampai Januari-Februari. Kadang tergantung musim, Februari bisa surplus, lalu surplus besar di Maret-April. Kalau sekarang, bergeser [karena El Nino]. Nanti mulai surplus Maret, puncak produksinya saat panen raya bulan April,” papar Prof. Dwi.
Berdasarkan proyeksi BPS pada Oktober 2023, estimasi produksi beras tahun 2023 justru mengalami surplus. Meski tak seperti tahun sebelumnya yang surplus lebih dari 1,34 juta ton, tetapi cadangan beras hasil produksi petani diperkirakan masih berkelebihan 280.000 ton dari kebutuhan konsumsi nasional.
Estimasi surplus/defisit produksi beras 2023. Foto: Youtube/BPS Oktober 2023
Jadi, menurut Prof. Dwi, Komunikasi pemerintah yang menyebut adanya defisit beras itulah yang jadi biang kerok harga beras tinggi, sebab ucapan itu menciptakan kekhawatiran di tengah masyarakat. Indikasinya berdasarkan survei Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI).
“Harga gabah kering panen di tingkat usaha tani tertinggi pada September 2023 di level Rp 7.240 per kg. Setelah itu trennya menurun terus sampai Desember 2023 di angka Rp 7.064 per kg. Tapi Januari 2024 melonjak lagi—terendah Rp 7.200 per kg, bahkan di Jatim sudah mencapai Rp 7.850 per kg,” ujar Prof. Dwi yang juga Ketua AB2TI.

Bansos Kontradiktif dengan Situasi Ekonomi?

Selain kritik soal alasan teknis dan klimatologis terkait bansos jelang pemilu, sejumlah pihak juga menyoroti alasan ekonomi di baliknya. Khudori, misalnya, mengamati adanya lonjakan tinggi bansos yang diguyur pemerintah mendekati musim pemilu.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengamati kentalnya muatan politis ketimbang ekonomis dari penggelontoran bansos awal 2024 ini.
“Itu kelihatan sekali. Di Indonesia, pada 2014 , 2019 (selalu pada tahun pemilu), ada lonjakan bansos. Biasanya semakin besar anggaran bansos, efektivitasnya ke penurunan kemiskinan justru lebih kecil, karena dimainkan soal siapa yang berhak mendapatkan bansos,” ujar Bhima.
Pada 2023, anggaran perlindungan sosial pemerintah, termasuk dari nonkementerian/lembaga, berjumlah Rp 476 triliun. Pada 2024, pagu APBN naik sekitar 20 triliun menjadi Rp 496,8 triliun—lebih tinggi dari masa pandemi COVID-19 tahun 2020 dan 2021 per se.
Kemenkeu menyebut anggaran bansos yang kini digelontorkan ada di APBN 2024 yang sudah disusun sejak akhir 2023. Namun, Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu mengakui jika ada perubahan anggaran untuk merespons kondisi global. Politik anggaran ini disebut shock absorber (penahan guncangan).
“Kami akan carikan [anggaran], dan APBN-nya bisa fleksibel. Itu tentu bagian dari strategi kami untuk mengelola APBN,” kata Kepala BKF Febrio Kacaribu.
Namun, menurut Bhima, utak-atik anggaran untuk digeser ke bansos justru memunculkan dugaan ketidaksiapan anggaran sejak pembahasan Rancangan APBN. Belum lagi ditambah masalah yang jadi konsekuensi jika anggaran pos lain dialihkan ke bansos.
“Kalau anggaran belanja rutin seperti gaji pegawai, susah dong digeser,” kata Bhima.
Menurut Bhima, peningkatan anggaran perlindungan sosial justru mencerminkan kontradiksi ekonomi. Di satu sisi, pemerintah mengatakan pertumbuhan ekonomi baik di atas 5% plus ada kenaikan gaji ASN dan TNI/Polri. Di sisi lain, anggaran justru harus diutak-atik plus mengucurkan bansos.
Utak-atik anggaran ini tercermin dalam automatic adjustment anggaran K/L di surat Menteri Keuangan Nomor S-1082/MK.02/2023. Kebijakan ini membuat setiap kementerian/lembaga mesti menyisihkan minimal 5% anggarannya—yang jika ditotal berjumlah Rp 50,14 triliun. Anggaran ini dikunci untuk direalokasi ke bansos.
“Itulah jadi kekhawatiran. [Ada indikasi] bansos tidak berlandaskan situasi riil di lapangan, tapi berdasarkan kebutuhan strategi kampanye [paslon tertentu],” tutup Bhima.
Jokowi bagi-bagi bansos di Kepulauan Aru, Maluku, 15 September 2022. Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten