Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Pimpinan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi ) bertandang ke Desa Bojongkoneng, Hambalang, Bogor, Jawa Barat, September 2023. Mereka hendak bertemu sang sahibulbait, Prabowo Subianto .
Bertamu selama hampir tiga jam, Koordinator Ketua Majelis Pertimbangan Apdesi, Muhammad Asri Anas, berbicara masalah pelik di desa yang menurutnya penyelesaiannya memerlukan komitmen calon pemimpin bangsa.
Beragam masalah tersebut dikerucutkan menjadi 4 poin tuntutan. Pertama, perlu kenaikan dana desa dari Rp 1 miliar menjadi Rp 5 miliar per desa. Kedua, mengevaluasi pendamping desa yang kini dinilai banyak diisi pendukung parpol tertentu. Ketiga, 70% penggunaan dana desa ditentukan lewat musyawarah desa, bukan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Desa. Terakhir, pemilihan kepala desa (pilkades) melalui musyawarah.
Mereka pun meminta Prabowo mengakomodir dan berkomitmen melaksanakan empat tuntutan tersebut jika terpilih sebagai presiden. Menurut Anas, tanpa ba bi bu, Prabowo menyatakan kesanggupannya.
“Saya setuju semua itu,” ucap Anas menirukan ucapan Prabowo saat berbincang dengan kumparan, Jumat (24/11).
Tak cukup ke Prabowo, petinggi Apdesi juga menemui cawapres Prabowo, Gibran Rakabuming Raka, di Solo, awal November. Seperti Prabowo, Gibran bersedia mengakomodir empat tuntutan mereka.
Sebelum menemui Prabowo dan Gibran, Apdesi dan sejumlah organisasi perangkat desa telah menemui kedua capres lainnya, yakni Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan, dalam beberapa kali kesempatan. Namun, Apdesi memandang keduanya setengah hati menuruti keinginan Apdesi.
Oleh karena itu, Anas melalui Desa Bersatu yang membawahi 8 organisasi perangkat desa merasa hanya Prabowo-Gibran yang bersedia mengakomodir permintaan mereka.
Delapan organisasi yang tergabung dalam Desa Bersatu adalah Apdesi, Asosiasi Kepala Desa (Aksi), Persatuan Perangkat Desa Seluruh Indonesia (PPDI), Dewan Pimpinan Nasional Persatuan Perangkat Desa Seluruh Indonesia (DPN PPDI), Persatuan Rakyat Desa Seluruh Indonesia (Parade Nusantara), Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional (Abpednas), Komunitas Purnabakti Kepala Desa Seluruh Indonesia (Kompakdesi), dan Persatuan Anggota BPD Seluruh Indonesia (PABPDSI).
Desa Bersatu berencana mendeklarasikan dukungan di acara silaturahmi nasional Desa Bersatu di Indonesia Arena, Komplek Gelora Bung Karno, Jakarta, pada 19 November. Namun deklarasi tidak terlaksana karena khawatir melanggar UU Pemilu dan UU Desa.
“Kami memberikan support kepada dia [paslon capres-cawapres] yang mau berkomitmen terhadap pembangunan desa,” ujar Anas.
Bagi Anas, dukungan 8 organisasi yang anggotanya mencakup sekitar 75 ribu kepala desa serta 2,7 juta perangkat dan badan pemusyawaratan desa (BPD), bisa berpengaruh pada kontestasi Pilpres 2024.
Sebab sekalipun kades dan perangkatnya tidak boleh berkampanye karena larangan di UU Pemilu dan UU Desa, namun suara mereka akan didengar para pendukungnya. Berdasarkan data Apdesi, sekitar 70% persen kades terpilih dengan suara di atas 60% dan 25% kades terpilih dengan suara di atas 90%.
“Kalau [pemilihan] presiden, rata-rata penduduk desa itu tanya ke kepala desa: calon presiden siapa yang kita pilih? Kepala desa masih menjadi patron. Jadi kalau ada pertanyaan itu, kami menyampaikan pesan [ke kades] ‘Sampaikan bahwa kita pilih presiden yang mau peduli desa.’” jelas Anas.
Walau demikian, tak semua kades bersedia mengikuti instruksi tersebut. Kades di Lebak, Muslim dan kades di Cilacap, Rokib, menegaskan enggan diintervensi soal pilihan politik oleh Apdesi, maupun mengintervensi masyarakat.
“Jadi kades baiknya netral saja, terserah masyarakat mau ke mana,” ujar Rokib pada kumparan, Kamis (23/11)
Bagaimana sesungguhnya visi dan misi masing-masing capres-cawapres terkait desa?
Prabowo-Gibran
Sekalipun Prabowo-Gibran disebut berkomitmen terhadap permintaan organisasi desa, namun dalam visi misi yang diserahkan ke KPU, empat tuntutan yang diminta tidak dicantumkan secara detail.
Gibran mengakui belum memasukkan permintan tersebut dalam visi misinya. Ia berencana bertemu kembali dengan para kepala desa untuk menyerap seluruh aspirasi. Walau demikian, kata Gibran, visi misi yang ia serahkan ke KPU telah mencantumkan komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan desa dan perangkatnya.
“Masukan-masukan dan aspirasi dari para pimpinan ketua-ketua desa, sementara kami tampung dulu. Kalau di visi-misi kami sudah ada, Pak, membangun dari bawah, dari desa, tapi nanti akan kami detailkan lagi,” ujar Gibran saat hadir di acara Silatnas Desa Bersatu, 19 November.
Selain itu, dalam visi misinya, Prabowo-Gibran menjelaskan sejumlah rencana membangun desa. Pertama, pemerataan ekonomi dari desa dengan melanjutkan program yang sudah ada.
“Seperti Program Keluarga Harapan (PKH), dana desa, subsidi pupuk, modal kerja akses rakyat, dan kartu bantuan pangan non-tunai bagi masyarakat desa,” dikutip dari dokumen visi misi Prabowo-Gibran setebal 81 halaman.
Masih di dokumen yang sama, Prabowo-Gibran akan menjamin ketersediaan dan akses langsung pupuk, benih, dan pestisida kepada petani. Mereka juga berencana memperbaiki sistem tata kelola dan pemanfaatan dana desa secara transparan.
Prabowo-Gibran juga bakal menambah cakupan transfer dana daerah ke kelurahan dengan penambahan program dana kelurahan. Meski demikian, besaran tambahan dana desa setiap tahunnya tidak dijelaskan secara rinci, begitu pula soal penambahan program dana kelurahan.
Berikutnya, Prabowo-Gibran menjanjikan pembangunan infrastruktur desa seperti memperluas pembangunan jalur irigasi dan bendungan untuk air baku, pencegahan banjir, irigasi, serta akses air bersih untuk kelompok warga tidak mampu di desa.
“Membangun dan memperbaiki jalan daerah yang tidak mampu ditangani oleh pemerintah daerah, membangun infrastruktur digital dan teknologi secara merata di kabupaten atau kota di Indonesia,” tambahnya.
Pasangan yang diusung Koalisi Indonesia Maju ini juga berkomitmen menyediakan rumah murah bagi warga desa. Mereka ingin memastikan warga desa memiliki tempat tinggal yang layak dan terjangkau dengan target membangun atau merenovasi sebanyak 40 rumah per desa atau per kelurahan tiap tahunnya. Paslon nomor urut 2 ini menargetkan secara nasional, rumah yang direnovasi atau dibangun mencapai 3 juta di tahun kedua.
Ganjar-Mahfud MD
Pembangunan desa turut menjadi salah satu program di visi-misi Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Mereka berkomitmen membangun desa secara merata.
Pertama melalui program Desa Naik Kelas. Mereka berjanji melipatgandakan dana desa yang kini berjumlah Rp 1 miliar per desa. Melalui peningkatan dana des itu, Ganjar-Mahfud ingin memastikan 50% dari total 75 ribu desa di Indonesia bisa menjadi desa mandiri yang sejahtera.
Berikutnya, paslon nomor urut 3 ini akan melanjutkan sistem koperasi untuk pemerataan ekonomi di desa. Porsinya tercatat sebesar 40% tempat usaha bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di lingkungan infrastruktur publik.
“Mengalokasikan 50% anggaran belanja barang atau jasa pemerintah dan BUMN/D untuk koperasi dan UMKM. Meningkatkan kemitraan antara usaha besar dengan koperasi dan UMKM serta kapasitas UMKM melalui digitalisasi, termasuk akses pembiayaan dan pemasaran,” isi dokumen visi misi Ganjar-Mahfud.
Pasangan ini juga akan memperkuat daerah 3T (tertinggal, terpencil, terluar) sebagai area strategis untuk pembangunan nasional. Ganjar-Mahfud pun bertekad mengurangi kesenjangan ekonomi-sosial di daerah, khususnya di Papua. Salah satu upayanya dengan mengakui masyarakat adat atas hak ulayat sumber daya alam sebagai satu kesatuan ekosistem untuk menyejahterakan masyarakat adat.
Hak ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu, yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Anies-Muhaimin
Pasangan yang diusung Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN), juga memiliki sejumlah kebijakan dan program untuk pemerataan ekonomi di desa.
Mereka juga berkomitmen meningkatkan secara signifikan alokasi dana desa. Peningkatan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan desa dan memastikan dana tersebut dikelola oleh desa. Walau demikian, berapa tambahan dana desa setiap tahunnya tidak dijelaskan dalam visi misi AMIN.
“[Peningkatan dana desa] untuk meningkatkan kemajuan ekonomi desa, kesejahteraan masyarakat desa, dan kemandirian pangan nasional,” isi dokumen visi misi AMIN.
AMIN juga ingin meningkatkan kualitas aparatur desa dalam mengelola dana desa. Hal ini akan dilakukan melalui pemberian akses terhadap pendidikan dan pelatihan yang berkualitas, termasuk beasiswa pendidikan lanjut.
Berikutnya yaitu pendampingan profesional bagi desa, meliputi pendampingan hukum kepada kepala desa dan perangkat desa, pendampingan usaha BUMDes, dan pendampingan teknis dalam perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi pembangunan desa.
“Hal ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dana desa,” isi visi misi AMIN.
Paslon AMIN juga bertekad mengembangkan ekonomi desa berbasis potensi lokal, seperti desa pertanian terpadu, desa peternakan terpadu, desa industri, dan desa wisata. Pengembangan perekonomian desa ini akan dilakukan melalui penguatan Koperasi Unit Desa (KUD), Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan lembaga perekonomian desa lain.
“Selain itu akan merevitalisasi BUMDes menjadi unit ekonomi yang aktif dan menyejahterakan masyarakat desa melalui pendampingan usaha, pengelolaan program,” tulis program kerja di visi misi AMIN.
Dari tiga visi misi yang ada, masing-masing paslon bertekad meningkatkan dana desa yang kini jumlahnya mencapai Rp 1 miliar per desa. Dana desa yang merupakan amanat UU Desa sedianya sudah diberikan sejak 2015.
Tujuannya untuk mengurangi kemiskinan, mengatasi ketimpangan antara desa-kota, dan pembangunan infrastruktur desa. Hingga 2023, pemerintah telah menggelontorkan dana desa lebih dari Rp 538 triliun. Angkanya pun relatif meningkat dari tahun ke tahun.
Dimulai dari Rp 20,8 triliun (2015), naik menjadi Rp 46,7 triliun (2016), Rp 59,8 triliun (2017), Rp 59,8 triliun (2018), Rp 69,8 triliun (2019), Rp 71,1 triliun (2020), Rp 72 triliun (2021), Rp 67,9 triliun (2022), dan Rp 70 triliun (2023).
Menurut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), dana desa telah mampu menurunkan jumlah penduduk miskin di desa dari 17,94 juta pada 2015 menjadi 14,16 juta penduduk pada 2021.
Sementara itu capaian pembangunan infrastruktur desa pada 2015-2021 masing-masing jalan desa sepanjang 227 ribu km, embung kecil sebanyak 4.500 unit, irigasi sebanyak 71 ribu unit, jembatan sepanjang 1,3 juta meter, dan pasar desa sebanyak 10.300 unit.
Lalu, pembangunan pos pelayanan terpadu (posyandu) sebanyak 38 ribu unit, pondok bersalin desa (polindes) sebanyak 12 ribu unit, dan drainase sepanjang 38 juta meter.
Sekalipun mampu berdampak positif, tak jarang dana desa justru menjadi lahan korupsi. Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), jumlah korupsi dana desa terus meningkat sejak awal kebijakan dijalankan pada 2015.
Korupsi di level desa konsisten menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak atas kasus korupsi oleh aparat penegak hukum pada 2015-2021. Selama 7 tahun tersebut, menurut data ICW, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar.
Pakar Otonomi Daerah, Prof Djohermansyah Djohan, menyatakan ekses negatif dana desa yang menjadi celah korupsi perlu dibenahi sebelum dana desa dinaikkan. Caranya, dengan meningkatkan kemampuan kades maupun perangkatnya, perbaikan tata kelola atau manajemen, serta pengawasan yang diperketat.
Jika dana desa dinaikkan tanpa perbaikan tersebut, Djohermansyah khawatir angka korupsi bakal semakin meningkat. Apalagi, permintaan kenaikan itu diikuti dengan tuntutan perpanjangan masa jabatan kades dari 6 tahun dengan maksimal 3 periode menjadi 9 tahun untuk 2 periode.
“Perilaku koruptif itu muncul kalau orang berlama-lama dalam jabatan. Nanti merugikan masyarakat desa. Apakah itu terkait dana desa atau bantuan-bantuan dari pemerintah provinsi atau kabupaten,” kata Djohermansyah kepada kumparan, Jumat (25/11).
Menurut Djohermansyah, kenaikan dana desa juga tak bisa sembarangan seperti permintaan Desa Bersatu senilai Rp 5 miliar per desa. Sebab dengan kondisi saat ini yang baru Rp 1 miliar/desa, dana desa sudah menyedot dana APBN senilai Rp 70 triliun. Jika naik 5 kali lipat, alokasi dana desa di APBN bisa membengkak menjadi Rp 350 triliun.
“Tuntutan itu mengabaikan kemampuan keuangan negara, terlalu berlebihan. Biasanya kenaikan anggaran sekitar 20-30%, jadi kalau minta naik Rp 1,2 miliar sampai Rp 1,5 miliar mungkin masih wajar, tapi juga per melihat kemampuan keuangan negara,” ujar eks Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri itu.
Djohermansyah menilai, apabila ada capres-cawapres yang berani menjanjikan kenaikan sampai Rp 5 miliar per desa, artinya pasangan calon tersebut tidak mengerti anatomi APBN atau hanya ingin merebut hati elite desa.
“Dia sudah tahu alokasi APBN untuk apa saja? Itu kan gombalnya pasangan calon itu saja. Sama seperti di Pilkada ‘kalau menang saya akan belikan sepeda motor untuk semua kades’. Itu janji-janji gombal yang tidak berdasarkan data tentang keadaan keuangan negara,” kata Djohermansyah mengkritik.
Ia pun tak sepakat apabila 70% penggunaan dana desa ditentukan lewat musyawarah desa tanpa konsultasi dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Desa.
Menurutnya, dana desa semacam specific grant yang penggunaannya harus berdasarkan kepentingan pembangunan pemerintah pusat, seperti untuk kesehatan, pendidikan, perekonomian desa, dan infrastruktur desa.
Apabila pengelolaan dana desa dilepas sepenuhnya kepada kepala desa, bukan tidak mungkin penggunaannya dimanfaatkan untuk kepentingan politik, khususnya ketika akan ada gelaran pilkades.
Begitu pula jika penggunaan dana desa hanya mengacu pada hasil badan pemusyawaratan desa (BPD). Sebab menurut Djohermansyah, orang-orang yang berada di BPN mayoritas merupakan tim sukses kades ketika pemilihan.
“Musyawarah desa bisa direkayasa oleh kepala desa, karena BPD itu di bawah kontrol dan kendali kepala desa. Orang-orang yang jadi BPD, termasuk perangkat desa, sekretaris desa, kepala seksi, itu biasanya tim suksesnya kepala desa,” jelas Djohermansyah.
Oleh sebab itu, ia berpendapat calon presiden ke depan harus mampu mendorong kemandirian desa dan mengurangi ketergantungan desa kepada pemerintah.
“Kalau terus ditingkatkan subsidi untuk desa, itu justru mematikan gotong royong yang ada di desa. Kemandirian desa juga mati, karena desa jadi tukang minta-minta,” kata Djohermansyah.
Alih-alih setuju peningkatan dana desa, Djohermansyah justru menyarankan skema pemberian dana desa untuk dievaluasi. Djohermansyah berpendapat, dana untuk desa yang sudah mandiri seperti telah menjadi desa pariwisata atau berada di kabupaten yang makmur, seharusnya porsinya dikurangi.
Sebaliknya, desa yang berada di luar jawa serta pedalaman, dana desa yang digelontorkan harusnya lebih besar dan mendapat perhatian lebih.
“Seharusnya ukurannya adalah desa yang tertinggal, miskin, ada kekurangan pangan ekstrim itu diberi bantuan yang lebih besar dan lebih banyak. Desa pertanian diberi subsidi pupuk. Tapi kalau desa yang tumbuh berkembang, sudah menuju kemandirian, cukup difasilitasi saja,” jelasnya.
Di samping itu, Djohermansyah meminta para capres-cawapres tidak terjebak pada politik transaksional dengan elite-elite desa.
“Misalnya setuju perpanjangan masa jabatan, penambahan dana desa, nanti transaksionalnya mereka akan menawarkan dukungan dari masyarakat desa, gak boleh terjebak di situ. Sebab kalau itu terjadi, sama aja dengan membolehkan terjadi fraud dalam Pilpres,” tutup Djohermansyah.