Teka-teki Pengadaan Gas Air Mata Polri: Dugaan ‘Arisan’-Kelebihan Bayar Rp 48 M

10 Juli 2023 5:13 WIB
·
waktu baca 6 menit
Polisi menembakkan gas air mata ke arah mahasiswa saat unjuk rasa mengenang kematian dua mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (26/9/2022).  Foto: Jojon/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Polisi menembakkan gas air mata ke arah mahasiswa saat unjuk rasa mengenang kematian dua mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (26/9/2022). Foto: Jojon/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan adanya dugaan kelebihan bayar oleh Polri terkait pembelian Pepper Projectile Launcher untuk gas air mata. Nilainya untuk satu kontrak mencapai puluhan miliar rupiah.
ADVERTISEMENT
Peneliti ICW, Wana Alamsyah mengatakan, dugaan tersebut ditemukan dari data Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP) dan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Polri. Pada tahun 2022, polisi melakukan kontrak pembelian launcher tersebut sebanyak 187 unit dengan nilai kontrak Rp 49,86 miliar.
Pemenang kontrak tersebut adalah PT TMDC. Artinya, untuk satu unit launcher, Polri mengalokasikan anggaran hingga Rp 266,6 juta. ICW menemukan keganjilan terkait pengadaan tersebut.
Setelah dicek ke perusahaan penyedia, mereka memang menyediakan alat bernama Byrne Le Launcher-Pepper. Launcher itu yang diduga dibeli oleh Polri dengan harga Rp 266,6 juta.
Wana Alamsyah, peneliti ICW di diskusi terkait RUU KPK di kantor ICW, Jakarta, Jumat (20/9/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
"Kami asumsikan ketika PT TMDC ini menang, artinya dia akan menyediakan barang tersebut kepada Kepolisian," kata Wana dalam konferensi pers, Minggu (9/7).
ADVERTISEMENT
ICW kemudian mengecek ke laman resmi Byrna. Ditemukan untuk launcher yang sama, harganya hanya USD 479,99 atau Rp 6.924.710 untuk satu unitnya. Perhitungan tersebut dengan kurs Rp 14.426 24 per USD 1, pada bulan Februari 2022.
Sehingga, terjadi gap yang cukup besar antara barang yang ditawarkan PT TMDC dengan harga resmi yang dikeluarkan oleh produsen.
"PT TMDC itu menawarkan harga yang sangat besar yaitu Rp 266,6 juta, sedangkan ketika kami coba crosscheck ke produsennya, itu hanya Rp 6 juta," kata Wana.
ICW kemudian menghitung harga wajar yang seharusnya dibeli dari satu launcher. Harga tersebut yakni mulai harga pokok barang, ongkos kirim 10 persen, biaya administrasi 5 persen, dan keuntungan 10 persen.
ADVERTISEMENT
Sehingga, lanjut Wana, harusnya harga wajar dari satu launcher adalah sekitar Rp 8,1 juta saja.
Dengan demikian, jika dikalikan jumlah pengadaan sebesar 187 unit, seharusnya Polri hanya mengeluarkan uang Rp 1.618.650.993 untuk seluruh unit tersebut. Kontras dengan anggaran yang dikeluarkan untuk pembelian, sebesar Rp 49 miliar lebih.
Sehingga, kata Wana, diduga terdapat kelebihan pembayaran pengadaan 187 unit launcher senilai Rp 48.241.799.007 terkait satu pengadaan tersebut.

Polisi Beli 868 Ribu Amunisi Serta 17 Drone Gas Air Mata

Polisi menembakan gas air mata untuk membubarkan massa saat unjuk rasa menolak Omnibus Law Undang Undang (UU) Cipta Kerja di Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (8/10). Foto: Mohammad Ayudha/ANTARA FOTO
Peneliti ICW Wana Alamsyah mengatakan, pengelolaan anggaran polisi untuk pengadaan sekitar 35 persen dari total anggaran yang dimiliki. Termasuk di dalamnya untuk pengadaan pelontar dan gas air mata. Data tersebut sejak 2015 hingga 2023.
ADVERTISEMENT
ICW kemudian membeberkan data, bahwa sejak 2013 hingga 2022, terjadi peningkatan pembelian pelontar maupun amunisi gas air mata oleh Polri. Tahun 2017 menjadi tahun tertinggi pembelian gas air mata oleh Polri.
"Pada tahun 2013 sampai 2016, pembeliannya itu satu, dua, tiga, seperti itu. Tapi pada tahun 2017 peningkatannya cenderung besar, 2 sampai 5 kali lipat peningkatannya," kata Wana dalam konferensi pers, Minggu (9/7).
Nilai kontrak pengadaan gas air mata dan pelontar pada 2017 mencapai Rp 557 miliar. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, angkanya bahkan tidak sampai menyentuh Rp 100 miliar. Setelah tahun 2017, angka kontrak pengadaan rata-rata di atas Rp 100 miliar.
Berikut datanya:
Data dalam konpers ICW terkait pengadaan pelontar dan gas air mata oleh Polri. Foto: Youtube ICW
"Publik tidak dapat mengetahui alasan di balik pembelian peralatan gas air mata karena dokumen rencana kerja tahunan Polri pun tidak terbuka," kata Wana.
ADVERTISEMENT
ICW mengatakan, sepanjang 2013 hingga 2022 itu, Polisi membeli sejumlah peralatan terkait gas air mata. Mulai dari amunisi, pelontar, set pelontar dan amunisi, serta drone. Bahkan, untuk amunisi saja, polisi mengeluarkan anggaran hingga Rp 1,1 triliun. Sementara pada 2020 dan 2021, Polisi mulai membeli drone untuk pelontar gas air mata. Jumlahnya mencapai 17 buah.
"Perlengkapan yang paling banyak dibeli oleh kepolisian adalah amunisi gas air mata dengan total lebih dari 868 ribu peluru gas air mata," kata Wana.
"Selain itu tim peneliti pun juga mencatat ada sekitar 36 ribu pelontar gas air mata yang dibeli dengan nilai kontrak Rp 657 miliar," sambungnya.
Data dalam konpers ICW terkait pengadaan pelontar dan gas air mata oleh Polri. Foto: Youtube ICW

Ada Dugaan Arisan Pemenang Tender Pengadaan Gas Air Mata di Polri

Sejumlah tender pengadaan gas air mata di Polri diduga bermasalah. Trend Asia yang bekerja sama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan temuan terkait hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Peneliti Trend Asia, Zakki Amali, mengatakan timnya menemukan dua perusahaan yang diduga 'arisan' tender pengadaan gas air mata tersebut. Dua perusahaan itu adalah PT WSP dan PT DSGP.
Temuan tersebut didapatkan usai menelusuri keterlibatan dua perusahaan itu dalam sejumlah paket pengadaan di Polri sejak 2015 hingga 2018.
Dalam penelusuran tersebut, setidaknya ada enam paket tender yang menjadi 'arisan' dua perusahaan itu. Paket tersebut yakni:
ICW paparkan data terkait adanya dugaan arisan pengadaan gas air mata. Foto: Youtube/ICW
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dalam temuannya, Zakki mengungkapkan bahwa nilai penawaran dari dua perusahaan itu hanya memiliki selisih yang tipis. Keduanya saling bergantian memenangkan tender.
"Dalam konteks ini memang mereka ini mengajukan harga yang kalau kita lihat di sini enggak jauh-jauh amat ya, rata-rata antara Rp 30 jutaan sampai Rp 100 juta, dan itu margin tender yang sangat tipis sekali," kata Zakki dalam konferensi pers di kanal YouTube ICW, Minggu (9/7).
"Sehingga memang penyelenggara tender memilih perusahaan yang mengajukan tender lebih murah meskipun di sini, perbedaan sangat sedikit," sambung dia.
Selongsong gas air mata yang ditembakkan polisi saat aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law, di Kawasan Monas, Jakarta, Selasa (13/10). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Contohnya, untuk tender pengadaan amunisi 37/38 mm automatic infinite revolver antiriot gas gun program APBN-P TA 2015, PT WSP mengajukan harga Rp 27.798.956.100. Sementara PT DSGP Rp 27.837.902.800. Selisihnya sangat tipis, dan tender dimenangkan oleh PT WSP.
ADVERTISEMENT
Kemudian contoh lainnya dalam pengadaan senjata portable multi launcher dan automatic infinite revolver anti riot gas gun, PT WSP mengajukan angka Rp 71.931.065.000. Sementara PT DSGP sebesar Rp 71.796.350.000. Perbedaannya kembali tipis dan kali ini dimenangkan oleh PT DSGP.
"Kita lihat bahwa yang menang dan kalah itu seolah bergantian. Sehingga memang ini menjadi suatu pola, suatu pattern pengadaan ini menunjukkan dugaan terjadinya persaingan usaha semu atau arisan," kata dia.
"Ini kuat sekali aromanya terjadinya persekongkolan secara horizontal," sambungnya.

Polri Belum Menanggapi

Hingga saat ini belum ada tanggapan dari Polri terkait temuan ICW tersebut. kumparan telah menghubungi Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan dan Asisten Kapolri Bidang Logistik (Aslog) Irjen Pol Argo Yuwono, namun belum direspons.
ADVERTISEMENT