Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Tentang Samsu Rizal Panggabean, Negosiator Abu Sayyaf dan Dosen Kami
8 September 2017 13:35 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB

ADVERTISEMENT
Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada diliburkan sehari, kamis (7/9). Segala kegiatan perkuliahan di jurusan itu ditiadakan. Demi memberikan penghormatan terakhir bagi sosok dosen nan hangat: Samsu Rizal Panggabean.
ADVERTISEMENT
Almarhum--yang wafat pada usia 56 tahun kemarin karena sakit jantung--dikenal sebagai pakar resolusi konflik. Kiprahnya tak perlu diragukan lagi.

Pak Rizal. Demikian saya, yang lulusan HI UGM, biasa menyapanya. Kami tak akan mungkin bisa melupakan sosoknya.
Kesederhanaan adalah kenangan yang terekam dalam kepala para mahasiswa HI UGM tentang figur Pak Rizal. Di tengah kampus UGM yang parkiran mobilnya cepat sekali penuh, Pak Rizal kerap datang menggunakan kendaraan roda dua.
Vespa jadi andalan Pak Rizal untuk membawa tubuhnya yang gemuk berangkat ke kampus.
Pak Rizal menjadi impresi pertama bagi setiap mahasiswa baru di HI UGM, almamater saya. Kelas pembuka bagi mahasiswa baru dimulai dengan kelas Diplomasi yang diampu Pak Rizal--yang muncul di ruangan dengan gaya khasnya.
ADVERTISEMENT
Berperawakan garang, dengan kemeja kancing terbuka dipadu kaos, penampilan Pak Rizal makin sempurna dengan kalung rantai yang mengitari lehernya. Seram?
Ah, wajah garang itu langsung berubah lucu kala ia mulai berbicara. Ia seperti memperkuat pepatah “Jangan menilai orang dari sampulnya/penampilan fisik luarnya.”
Sosok Pak Rizal lekat dengan canda dan tawa. Senyum hampir tak pernah hilang dari wajahnya, menebar keceriaan pada orang-orang di sekitarnya, di penjuru kampus.
Tahun demi tahun berinteraksi dengannya di kampus, kami (saya dan kawan-kawan mahasiswa lain) mengenal Pak Rizal sebagai dosen dengan minat pada studi konflik.

Setiap dosen punya citra masing-masing, dan kami mengenal Pak Rizal sebagai pendidik yang sesungguhnya. Di balik wajah cengengesannya, ia pendidik dan negosiator tulen. Seorang begawan yang menjauh dari menara gading.
ADVERTISEMENT
Berkonsultasi dan berbincang dengannya bukan perkara sulit. Ia bahkan dapat dijangkau lewat obrolan bersama secangkir kopi di lorong kampus.
Koleganya di kampus, M. Najib Azka, menyebut Rizal sebagai akademisi yang cakap dengan latar belakang cukup unik.
“Dia punya background agama, lalu mendalami studi konflik,” kata Najib saat berbincang dengan saya pagi ini, Jumat (8/9), mengenang seorang Rizal--yang entah bagaimana, bagi saya, dapat menenangkan jiwa.
Rizal punya bekal lengkap dalam ilmu sosial lewat kuliahnya di Jurusan HI UGM. Pada saat bersamaan, ia yang juga lulusan Pondok Pesantren Modern Gontor itu melanjutkan studi keagamaan dengan berkuliah rangkap di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Alih-alih kepalanya jadi sesak karena diisi terlalu banyak pemikiran, kedua jalur pendidikan itu mampu membentuk Rizal menjadi figur akademisi berkarakter.
ADVERTISEMENT
Rizal memilih fokus pada Studi Perdamaian dan Transformasi Konflik yang saat itu masih jarang didalami di Indonesia. Studi resolusi konflik itu kemudian membawa pada keputusannya untuk mengambil studi master di George Mason University, Amerika Serikat, tahun 1994 sampai 1996.
Rizal aktif dalam kajian agama, pun melaju mantap di bidang studi perdamaian. Pada awal Reformasi, ia ikut menulis buku putih pendirian Partai Amanat Nasional bentukan Amien Rais. Namun meski berada dalam tim yang merumuskan tonggak berdirinya PAN, langkah Rizal di dunia politik praktis tak berlanjut.
Ia memilih jalannya sendiri--terus menjadi akademisi yang dekat dengan rakyat. Noktah hitam konflik horizontal yang menggores Indonesia menjadi ladang amalnya. Di sela pekerjaan akademik, ia juga melakukan advokasi di lapangan dalam konflik Aceh, Ambon, Poso, hingga Papua.
ADVERTISEMENT
“Dia memberi kontribusi dalam pengembangan diskursus keilmuan maupun kerja-kerja advokasi konkret. Tak hanya bergiat dalam riset, ia juga mengupayakan perubahan kebijakan dan pemberdayaan masyarakat di daerah-daerah pasca-konflik,” kata Najib.

Salah satu karya Rizal yang paling fenomenal adalah Yayasan Sukma, sekolah bantuan untuk anak-anak korban tsunami yang menjadi payung kegiatan pendidikan di Aceh pasca-bencana.
Saat tsunami memporakporandakan Aceh pada tahun 2004, Rizal datang dengan ide sekolah darurat. Gagasannya lantas dijalankan oleh Ahmad Baedowi--yang kemudian menjadi Direktur Pendidikan Yayasan Sukma--dan beberapa koleganya.
Dana yang terkumpul dari saluran bantuan kemanusiaan Metro TV jadi modal. Sekolah itu berdiri hingga kini.
Ketika konflik kekerasan pecah di satu daerah, Rizal memang giat turun langsung. Ia bekerja mewujudkan perdamaian dengan tekun. Di Poso, ia membangun program pemberdayaan mantan kombatan. Di Ambon, ia menorehkan kisah-kisah sukses rekonsiliasi sebagai pembelajaran untuk daerah lain.

Rizal kembali turun berkeringat ketika 10 warga Indonesia diculik kelompok pemberontak Abu Sayyaf di Filipina. Ia dan kawannya, Baedowi, melakukan pendekatan ulet ke Abu Sayyaf, salah satu organisasi teror yang bengis di dunia.
ADVERTISEMENT
Rizal dan Baedowi menyusun strategi detail dengan memanfaatkan jaringan akademisi dan masyarakat sipil. Bakpia, peci Aceh, dan kerupuk menjadi kunci jerih payahnya dalam melakukan negosiasi guna membebaskan para WNI itu dari penggalan Abu Sayyaf pertengahan tahun lalu.
Tapi, bahkan dengan semua kesibukan itu, ia tak pernah melupakan profesinya sebagai seorang pengajar. Mata kuliahnya, Konflik Analisis dan Tranformasi, Strategi, Negosiasi dan Resolusi Konflik, menjadi primadona mahasiswa.
Gaya mengajar serta kurikulum yang menyenangkan menjadi alasan para mahasiswa berebut kursi di kelas Pak Rizal. Mereka, kami, mengikuti perkuliahannya dengan antusias.
Sungguh, dengan segala pencapaiannya itu, Pak Rizal tak tampak seperti seorang resi tua yang pongah akan kesaktiannya. Ia tetap rakyat biasa, dengan kemeja dan kaus yang membuat gayanya tak ubahnya seperti para mahasiswanya.
ADVERTISEMENT
Goenawan Mohamad menyebutnya sebagai orang yang “Tak tebersit ambisi untuk popularitas, kekuasaan, dan harta.”
Ucapan GM--sapaan Goenawan Mohamad--itu diamini Najib. “Kita kehilangan pemikir yang punya dedikasi kuat. Dia jelas bukan ilmuwan yang punya orientasi kekuasaan.”
Kehilangan. Itulah yang kami rasakan ketika mendengar Pak Rizal meninggal di Yogyakarta.
Saya yang sedang sibuk dengan pekerjaan saya di Jakarta, langsung tercenung. Kesedihan mendalam merambat di hati.
Usai sudah perjalanan seorang akademisi, negosiator, dan aktivis perdamaian yang pada hari-hari saya menimba ilmu di Yogya, mampu menjadi suar penyejuk jiwa.
Kepergiannya sudah pasti menjadi kehilangan besar bagi UGM. Dan Pak Rizal layak memperoleh penghormatan setinggi-tingginya.
Sebab seperti kata Goenawan Mohamad, Rizal adalah “pemikir, akademikus, aktivis, yang membuat pemikiran agama tak beku.”
ADVERTISEMENT
Di kala sesama umat beragama bertikai, ia sibuk merancang cara untuk mendamaikannya.
Kini, telah tuntas seluruh tugasmu, Pak Rizal yang baik.
Selamat beristirahat, selamat jalan.