Teori Konspirasi Merebak usai Microsoft Down

20 Juli 2024 10:31 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perempuan berprofesi sebagai software developer. Foto: dok.Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan berprofesi sebagai software developer. Foto: dok.Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setelah layanan dan aplikasi Microsoft mendadak down pada Jumat (19/7) WIB, teori konspirasi pun bermunculan. Dari ketakutan akan "Perang Dunia III" hingga narasi palsu yang mengaitkan elite global dengan serangan siber menyebar cepat di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Gangguan IT global itu dipicu oleh kesalahan pembaruan perangkat lunak pada program antivirus yang beroperasi di Microsoft Windows.
Maskapai penerbangan, bank, saluran TV, hingga rumah sakit di Amerika Serikat dan sejumlah negara lainnya ikut terdampak. Hal ini menjadi salah satu kekacauan terbesar di bidang IT dalam beberapa tahun terakhir.
Platform media sosial, kanal yang rentan terhadap penyebaran misinformasi, menjadi tempat berkembangnya teori-teori akibat fenomena tersebut.
Di X, banyak postingan tanpa bukti yang menyebarkan narasi apokaliptik, mengeklaim dunia sedang diserang oleh kekuatan jahat.
"Saya pernah membaca bahwa ww3 (Perang Dunia III) sebagian besar merupakan perang cyber," tulis seorang pengguna di X, seperti dikutip dari AFP.
Ada juga teori yang mengaitkan kejadian ini dengan Forum Ekonomi Dunia (WEF) yang sering menjadi sasaran penganut teori konspirasi.
ADVERTISEMENT
Mereka mengeklaim WEF merencanakan serangan siber global, memperkuat klaim tersebut dengan video lama WEF yang memperingatkan tentang potensi "serangan siber dengan karakteristik mirip Covid".

Kebangkitan Teori Konspirasi

Ilustrasi media sosial. Foto: Shutterstock
Menurut Wakil Presiden Perusahaan Keamanan Disinformasi Cyabra, Rafi Mendelsohn, meningkatnya teori konspirasi setelah peristiwa besar seperti ini menunjukkan kekacauan dalam ekosistem informasi.
"Platform media sosial, forum, dan aplikasi perpesanan memfasilitasi penyebaran konten secara cepat, memungkinkan teori mendapatkan daya tarik dengan cepat dan menjangkau khalayak global," katanya kepada AFP.
Ia menambahkan, platform teknologi kini sering menjadi lahan subur bagi penyebaran informasi palsu, terutama di tengah peristiwa besar. Berkurangnya moderasi konten dan akun-akun penyedia misinformasi semakin memperparah situasi.

Kepercayaan terhadap Informasi

Ilustrasi Microsoft. Foto: rafapress/Shutterstock
Direktur Eksekutif Lab Disinformasi Global di Universitas Texas di Austin, Michael W. Mosser, menyoroti masalah kepercayaan masyarakat terhadap informasi.
ADVERTISEMENT
"Kepercayaan terhadap sumber informasi tepercaya telah menurun, sehingga masyarakat lebih mudah percaya pada teori konspirasi yang 'pasti benar' dibandingkan informasi faktual," jelasnya, seperti dikutip dari AFP.
Krisis IT yang bermula di AS ini menghentikan berbagai fasilitas penyokong kebutuhan sehari-hari dan mengguncang pasar saham AS.
Gangguan disebabkan oleh bug dalam pembaruan program antivirus dari grup keamanan siber Amerika, CrowdStrike.
Meskipun CEO CrowdStrike, George Kurtz, menyatakan bahwa masalah ini sedang diatasi, teori konspirasi tetap menyebar dengan cepat.
"Mengatasi misinformasi dengan bantahan faktual sangat sulit, karena permasalahannya sangat teknis," kata Mosser.
"Menjelaskan bahwa kesalahan terjadi pada file sistem yang tidak dikonfigurasi dengan benar mungkin akurat, namun tidak akan dipercaya oleh mereka yang cenderung melihat motif jahat di balik kegagalan," tambahnya.
ADVERTISEMENT