Terawan Hanya Datang Sekali ke IDI, Diminta Riset Pembanding Cuci Otak

5 April 2022 13:33 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Menteri Kesehatan Prof. Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad (K) saat prosesi Pengukuhan Guru Besar di Aula Merah Putih, Universitas Pertahanan, Sentul, Rabu (12/1/2022). Foto: Yulius Satria Wijaya/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Menteri Kesehatan Prof. Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad (K) saat prosesi Pengukuhan Guru Besar di Aula Merah Putih, Universitas Pertahanan, Sentul, Rabu (12/1/2022). Foto: Yulius Satria Wijaya/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Dosen Universitas Airlangga, Dr dr Windhu Purnomo, memberikan saran terkait polemik menyangkut Dr dr Terawan Agus Putranto (TAP).
ADVERTISEMENT
Menurut dia, eks Menkes itu cukup membuatkan riset pembanding di dalam laporan ilmiahnya untuk menanggapi kontroversi ‘cuci otak’ atau metode Digital Subtraction Angiography (DSA) yang dimodifikasinya menjadi Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF).
Saran ini disampaikan Windhu terkait polemik rekomendasi pemberhentian permanen Terawan dari IDI yang dilansir Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) untuk dilaksanakan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI).
Windhu mengatakan, Terawan sudah dipanggil berkali-kali untuk menjelaskan metode DSA-nya secara ilmiah sejak 2013. Terawan memakai metode itu untuk mengobati pasien stroke.
“Sudah dipanggil terus-menerus beberapa kalilah, minimal enam kali sudah dipanggil dr TAP itu, hanya sekalilah {datang} sekitar tahun 2015. Dan itu beliau diminta membuat riset untuk pembanding,” ungkap Windhu, Selasa (5/4).
Epidemiolog Unair Windhu Purnomo. Foto: Dok: Pribadi
Kelompok pembanding yang dimaksudkan merupakan Randomized Controlled Trial (RCT). Dikutip dari Medicine.Net, RCT merupakan eksperimen kuantitatif, komparatif, terkontrol, peneliti mempelajari dua atau lebih intervensi dalam serangkaian individu yang menerimanya secara acak. RCT adalah salah satu alat paling sederhana dan paling kuat dalam penelitian klinis.
ADVERTISEMENT
Dalam disertasi IAHF yang digarap oleh dr Terawan mengenai metode ‘cuci otak’ nya, penelitian tersebut tidak melakukan control group pembanding sehingga dinyatakan bahwa DSA itu belum bisa dipakai untuk terapi.
“Belum membuktikan bahwa terapinya dia atau DSA itu belum bisa dipakai untuk terapi, karena di dalam disertasinya tidak ada control group, tidak ada pembanding, ya, jadi itu namanya bukan RCT,” tutur Windhu.
Windhu berpendapat bahwa permintaan untuk melakukan perbandingan merupakan hal yang simpel, namun tidak kunjung dipenuhi oleh dr Terawan.
“Dilaporkan ke jurnal internal sendiri, tidak usah jurnal bereputasi internasional, hanya melaporkan dalam bentuk laporan ilmiah di jurnalnya RSPAD sendiri, sudah simpel mudah gitu, itu enggak dilakukan,” ungkapnya.
Suasana RS Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (29/3/2022). RSPAD adalah tempat bekerja Terawan. Foto: Farusma Okta Verdian/kumparan
Hal ini membingungkan mengapa hal tersebut tidak dipenuhi. Windhu mempertanyakan apakah ada side effect dalam metode yang dilakukan sehingga tidak dapat dilaporkan.
ADVERTISEMENT
“Jadi yang menjadi kebingungan itu kenapa, kok, tidak mau dibandingkan, ada apa di balik itu, jangan-jangan tak ada perbedaan atau mungkin lebih buruk, mungkin, ya. Atau side effect, baik itu jangka pendek maupun jangka panjang, itu yang harus dibandingkan," jelas Windhu.
"Jadi dua hal pokoknya, kemanjuran dan keamanan. Keamanan itu baik jangka pendek maupun jangka panjang. Jadi tinggal tambah itu saja,” tuturnya.
Berbekal disertasi IAFH, Terawan meraih gelar doktor dari Universitas Hasanuddin. Namun, metode cuci otak untuk pengidap stroke itu tetap dipermasalahkan oleh MKEK, badan otonom IDI yang bertugas menegakkan keluhuran profesi dokter.