Terjerat Kasus Perbankan, Eks Pegawai Bank Permata Merasa Dikriminalisasi

22 Juli 2020 16:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Mantan Client Relationship Head Bank Permata, Ardi Sedaka, terjerat kasus dugaan tindak pidana perbankan. Saat ini kasusnya tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
Ardi dijerat bersama 7 orang lainnya lantaran dinilai tidak teliti dalam pemberian pinjaman Bank Permata. Diduga ini terkait pemberian pinjaman kepada PT Megah Jaya Prima Lestari (MJPL) yang juga berbuntut pidana.
Bank Permata Foto: Wikimedia Commons
Melalui tim kuasa hukumnya, Ardi Sedaka keberatan dengan kasus yang menjeratnya. Tim kuasa hukum Ardi Sedaka menyebut ada sejumlah kejanggalan dalam pengusutan kasus kliennya, mulai dari pelaporan hingga persidangan.
"Banyak kejanggalan pada berkas perkara penyidikan yang terungkap di persidangan dan cacat formil dari Surat Dakwaan," kata salah satu pengacara Ardi, Didit Wijayanto Wijaya, dalam keterangannya, Rabu (22/7).

Persidangan

Ia menjelaskan, dalam persidangan, Ardi didakwa melakukan pelanggaran kebijakan atau aturan Internal Bank Permata yakni 'Trade Checking' serta juga karena tak ada Surat permohonan Kredit yang diajukan debitur.
ADVERTISEMENT
Pengacara menilai hal ini janggal. Sebab, ketentuan tersebut hanya merupakan aturan internal Bank Permata berdasarkan SK Direksi Bank Permata dan kapanpun bisa diganti secara internal.
"Bukan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi bank, sesuai dengan unsur terakhir dari Pasal 49 Ayat 2b dimaksud. Ketentuan mengenai “trade checking” tersebut tidak diatur dalam Peraturan Bank Indonesia atau Peraturan OJK manapun," kata Didit.
Menurut pengacara, Ardi didakwa dengan Pasal 49 Ayat 2b UU Perbankan. Bunyinya, 'Anggota dewan komisaris atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundangundangan lainnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit lima miliar rupiah dan paling banyak 100 miliar rupiah'.
ADVERTISEMENT
Pengacara menyebut, dalam persidangan sudah dihadirkan 14 saksi yang justru tidak tahu perbuatan pidana apa yang dilakukan oleh Ardi Sedaka. Menurut pengacara, saksi malah mengetahui adanya dugaan pemalsuan yang dilakukan oleh MJPL ketika melakukan pembobolan Bank Permata pada 2013 silam.
"Ini jelas merupakan suatu kejanggalan karena keterangan saksi merupakan alat bukti utama dalam hukum acara pidana (pembuktian)," kata Didit.
Ilustrasi Persidangan. Foto: Getty Images
Dalam dakwaan, pengacara juga menyoroti pencantuman soal Peraturan Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Pekreditan Bank Bagi Bank Umum (Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR tahun 1995).
Menurut kuasa hukum Ardi Sedaka, aturan itu sudah daluarsa. Sebab telah digantikan oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/POJK.03/2017 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank bagi Bank Umum.
ADVERTISEMENT
Ia menilai dakwaan terhadap Ardi Sedaka terlalu dipaksakan serta keliru.
"Dakwaan terhadap Ardi Sedaka (dan kawan-kawan) jelas sangat dipaksakan dan diterapkan dengan atau secara keliru berdasarkan pemahaman umum, bukan berdasarkan pemahaman dari pihak yang paling memahami peraturan perbankan dan penerapannya yakni OJK, dan akan menjadi preseden yang buruk bagi dunia peradilan dan sistem operasional perbankan karena menimbulkan ketakutan dalam penyaluran kredit," pungkasnya.

Pelaporan

Kuasa hukum menilai kasus ini sudah janggal sejak dari pelaporan di polisi. Menurut pengacara, saksi pelapor kasus ini adalah penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri AKP Karta. Laporan tersebut bentuknya model A yang artinya didasari atas bukti penemuan dari polisi.
Pengacara juga menyebut bahwa Karta pun menjadi penyidik dalam perkara ini. Hal itu dinilai menjadikan potensi abuse of power.
ADVERTISEMENT
Selain itu, laporan kasus ini dinilai hanya berdasarkan gelar perkara dari Direktorat Tindak Pidana Umum (Tipidum) yang menyidik perkara pembobolan Bank Permata oleh PT Megah Jaya Prima Lestari (MJPL) dengan plafon kredit senilai Rp 1,6 triliun dan menyisakan outstanding kredit sebesar kurang lebih Rp 750 miliar.
Ilustrasi uang rupiah Foto: Maciej Matlak/Shutterstock
Pengacara menyoroti bahwa dalam laporan tidak tercantum siapa Terlapor. Pengacara juga menilai pasal yang dilaporkan yakni Pasal 49 Ayat 1 dan 2 UU Perbankan serta Pasal 3, 4, dan 5 UU Pencucian Uang hanya berdasarkan asumsi atau indikasi terjadinya tindak pidana.
Padahal, kata pengacara, pasal tersebut adalah delik formil dan hanya mengupayakan perbuatan dari pejabat bank saja.
"Yang tidak ada dan tidak mungkin dilakukan pencucian uang, yang menunjukkan sudah sangat jelas laporan yang dibuat adalah dipaksakan, rekayasa, dan sangat tidak masuk akal," kata Didit.
ADVERTISEMENT

Kesaksian OJK

Pengacara Ardi Sedaka memperkuat argumen soal dugaan kejanggalan perkara ini dengan keterangan saksi bernama saksi Adief Razali dari OJK.
Menurut pengacara, Direktur Pengawasan Bank 2 Departemen Pengawasan Bank 3 OJK itu menerangkan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan tahunan terhadap Bank Permata terhadap rekening MJPL, indikasi double financing juga ada di BCA dan Bank Mandiri.
"Namun pada kedua bank tersebut tidak menjadi permasalahan hukum," kata Didit.
Ilustrasi gedung Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Foto: Anggi Dwiky Darmawan/kumparan
Pengacara juga mengutip Adief bahwa tidak ada rekomendasi dan atau audit investigatif yang dilakukan oleh OJK terhadap Bank Permata khususnya atas rekening debitur MJPL
Selain itu, Adief menjelaskan bahwa untuk penerapan Pasal 49 Ayat 2b UU Perbankan, ada tahapan yang perlu dilewati terlebih dahulu. Yakni Surat Pembinaan dan Surat Teguran. Bila hal itu tidak ditindaklanjuti dengan perbaikan, maka OJK melakukan pemeriksaan terlebih dahulu untuk menentukan siapa pejabat bank yang melakukan pelanggaran tindak pidana berdasarkan Pasal 49 Ayat 2b tersebut.
ADVERTISEMENT
Pengacara Ardi Sedaka kemudian menyinggung soal dokumen CDO (Cease and Desist Order) yang diterbitkan oleh OJK selaku pengawas perbankan. Selain itu, disinggung pula SKB (Surat Kesepakatan Bersama) antara OJK dan Polri bahwa penyidikan atas pelanggaran tindak pidana perbankan yang terjadi di suatu bank adalah kewenangan dari OJK kecuali tertangkap tangan atau berdasarkan pengembangan dari kasus lainnya.
Ilustrasi hukum Foto: Pixabay
Pengacara menilai kasus yang menjerat Ardi Sedaka dkk justru akan menimbulkan efek negatif.
"Akan terjadi ketakutan dan paranoia dari para bankir untuk memberikan persetujuan kredit sebagai akibat akan direkayasa kriminalisasi oleh debitur nakal yang telah membobol bank atau oleh oknum penegak hukum, dan akan terjadi moral hazard karena tidak adanya iktikad baik terhadap atau adanya pemberian informasi yang menyesatkan kepada lembaga perbankan," kata Didit.
ADVERTISEMENT