Teror dan Kriminalisasi di Tengah Pandemi

7 Juni 2020 19:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Maulana Saputra/kumparan
Pelantang bersuara kritis tak mendapat tempat aman saat pandemi COVID-19. Mereka diusik, diintimidasi, hingga diancam kriminalisasi.
Suara majelis hakim PTUN Jakarta sering kali tak terdengar ketika membacakan putusan perkara pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat pada persidangan yang disiarkan melalui aplikasi Zoom pada Rabu lalu (3/6). Suara itu timbul tenggelam, tertutup oleh suara perbincangan obrolan beberapa akun peserta Zoom.
Salah seorang penggugat, Ketua AJI Indonesia Abdul Manan, menengarai peserta sidang virtual yang berisik itu itu memakai berbagai akun aneh. Beberapa di antaranya juga memakai foto porno sebagai profil.
“Ada distorsi ketika siaran Zoom sidang. Ada yang memakai gambar tidak senonoh dan postur aneh. Mereka tidak senang dengan gugatan kami,” ucap Manan pada diskusi tentang putusan PTUN itu, Kamis (4/6).
Tak hanya Manan yang merasakan kehadiran gangguan itu. Staf Divisi Pembelaan HAM KontraS, Tiorita Pretty, mengingat hal yang sama. Jelas bahwa orang yang mengikuti sidang tak dapat mendengar jelas suara hakim. Gangguan itu bikin kabur suara.
Ilustrasi. Foto: Shutterstock
Sidang PTUN Jakarta memenangkan para penggugat, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet), atas kebijakan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat oleh pemerintah pada Agustus 2019 lalu. Hakim menganggap tindakan pemerintah salah karena tidak memiliki dasar hukum.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan hanya berdasar siaran pers Kementerian Komunikasi dan Informatika bernomor 155/HM/KOMINFO/08/2019 pada pada tanggal 21 Agustus dan Siaran Pers Nomor 159/HM/KOMINFO/08/2019 pada 23 Agustus.
Alasan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat adalah kondisi darurat. Namun jika kedaruratan menjadi alasan, seharusnya presiden menetapkan kondisi darurat lebih dulu, barulah pemblokiran dilaksanakan. Manan menilai putusan majelis hakim PTUN itu mungkin menjadi alasan gangguan muncul.
“Mereka tidak senang dengan gugatan kami,” ucap dia.
Suara berisik dalam persidangan daring itu baru sepenggal kisah gangguan terhadap kelompok yang selama ini bersikap kritis terhadap pemerintah. Gangguan lain terhadap kelompok kritis di tengah masa pandemi banyak terjadi.
Poster diskusi CLS FH UGM saat belum berganti judul. Foto: Dok. Istimewa
Misal saja gelar diskusi “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang digelar Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang rencananya digelar Jumat (29/5) lalu. Diskusi itu terpaksa batal karena ada ancaman yang ditujukan kepada panitia dan akademisi pemateri diskusi.
Ancaman ini menyasar pihak-pihak yang tercantum dalam poster undangan diskusi sejak Kamis (28/5). Presiden CLS FH UGM, Aditya Halimawan, mengungkap pembatalan dilakukan setelah pembicara dan penyelenggara sepakat bahwa kondisi dan situasi tak kondusif. Bahkan media sosial yang dimiliki pribadi oleh penyelenggara juga ikut diretas.
Bentuk ancaman pun beragam, mulai dari penggedoran pintu rumah, pengiriman ojek online fiktif, hingga pembunuhan.
Seriusnya ancaman inilah yang membuat penyelenggara dan pemateri mengurungkan gelar diskusi. Padahal CLS FH UGM merancang acara diskusi itu sebagai ajang bincang akademis rutin yang biasa mereka gelar.
Guru Besar Hukum Tata Negara UII Yogyakarta, Prof. Ni'matul Huda, melapor ke Polda DIY. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Guru Besar UII yang menjadi pemateri, Ni’matul Huda, telah melaporkan ancaman ini ke kepolisian. Ia juga melaporkan Dosen Fakultas Teknik UGM, Bagas Pujilaksono Widyakanigara, karena dianggap mencemarkan nama baik melalui media sosial.
“Hari ini saya membuat laporan terkait dengan tuduhan bahwa saya akan menggerakkan makar kemudian penghinaan karena kami disebut sampah, bermulut besar, kemudian pengancaman melalui WhatsApp,” ujar Nimatul usai membuat laporan di Polda DIY, Selasa (2/6).
Seriusnya ancaman juga pernah dialami oleh wartawan Detikcom setelah menulis berita rencana Presiden Joko Widodo membuka mal di tengah pandemi COVID-19 pada Selasa (26/5). Informasi yang ditulis oleh jurnalis itu berdasar pernyataan Kasubag Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi.
Namun, pernyataan itu kemudian diralat oleh Kabag Humas Pemkot Bekasi yang menyebutkan kehadiran Jokowi adalah untuk meninjau sarana publik dalam persiapan new normal. Klarifikasi pemberitaan telah dilakukan Detikcom.
Rilis AJI Jakarta mencatat ancaman terhadap jurnalis terkait tetap dilakukan di media sosial, telepon pribadi, hingga pesanan fiktif ojek online. Penyebarluasan informasi dengan tujuan persekusi juga dilakukan melalui media online.
“Salah satu akun yang menyebarkan adalah Salman Faris. Dia mengunggah beberapa screenshot jejak digital penulis untuk mencari-cari kesalahannya, meskipun isinya tak terkait berita yang dipersoalkan,” tulis rilis AJI tersebut.
Ravio Patra. Foto: Facebook/Ravio Patra
Ancaman terhadap pengkritik pemerintah juga tercatat dalam kasus dugaan peretasan terhadap aktivis Ravio Patra. Ia menduga telepon genggamnya telah diretas dan dimanfaatkan oleh pihak tak dikenal untuk mengirimkan pesan-pesan provokatif. Ravio sendiri sempat dijemput paksa oleh polisi untuk diperiksa.
Kepolisian menyebut ada pesan melalui nomor WhatsApp Ravio yang berisi hasutan dan ajakan berbuat onar. Namun setelah menjalani pemeriksaan, Ravio dibebaskan dengan status sebagai saksi.
Meski begitu, kasus tak berhenti. Salah satu kuasa hukum Ravio yang tergabung dalam Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus, Era Purnama Sari, menyebut Ravio melaporkan dua kasus sekaligus. Pertama, soal kasus peretasannya; dan kedua, soal penyebaran berita provokatif. Ia berharap Kkepolisian cepat tanggap dalam menyelesaikan kasus ini.
Concern kami, si peretas ini harus diusut—siapa yang melakukan, karena ini kasus pertama yang menggunakan pola seperti ini. Biasanya kan peretasan karena faktor ekonomi, nah ini kasus peretasan berujung pada kriminalisasi,” jelas Era kepada kumparan.
Direktur YLBHI Asfinawati menyebut kasus Ravio menjurus pada kriminalisasi. Menurutnya, hal seperti ini harus segera dituntaskan oleh kepolisian untuk menemukan pelaku sehingga tidak memunculkan berbagai asumsi, termasuk untuk meluruskan dugaan bawah aparat terlibat dalam upaya tersebut.
Asfinawati kemudian menyebutkan ada beberapa modus serupa lain, misalnya yang dialami jurnalis senior Farid Gaban. Farid yang kini tinggal di Temanggung mengkritik kerja sama Kementerian Koperasi dan UMKM dengan satu perusahaan e-commerce. Seharusnya, tulisnya, kementerian pimpinan Teten Masduki itu membuka e-commerce sendiri.
Kritik itu membuat Farid dilaporkan ke kepolisian oleh Ketua Umum Perhimpunan Cyber Indonesia, Muannas Alaidid. Muannas menganggap ada frasa provokatif dalam tulisan Farid yang berpotensi sebagai fitnah.
“Ada kalimat ‘rakyat bantu rakyat, penguasa bantu pengusaha’—bagi saya itu provokatif,” ucap dia.
Farid sendiri tak mau menanggapi tudingan yang menyebut tulisan kritiknya itu sekadar provokasi. “Biarin saja,” kata dia.
Ketua Umum YLBHI Asfinawati. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Asfinawati beranggapan bahwa polisi seharusnya menyegerakan penuntasan kasus ini. Untuk kasus Farid, misalnya, polisi harus cepat memastikan apakah memang ada unsur pidana di dalamnya. Jika tidak, maka laporan tidak perlu ditindaklanjuti.
Paling tidak, aparat penegak hukum mestinya dapat menjadi ujung tombak untuk memberikan kejelasan atas berbagai gangguan, ancaman, ataupun upaya kriminalisasi yang marak terjadi di tengah pandemi.
Akademisi Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto, menyatakan bahwa gangguan, teror, hingga kriminalisasi adalah ancaman terhadap demokrasi. Aparat sudah sewajarnya memberi kejelasan sehingga tidak memunculkan asumsi maupun rasa tak aman.
Selain itu, infrastruktur politik lain seperti media, parpol, tokoh politik, dan kelompok penekan harus memberikan sikap untuk mengeliminir perilaku yang mengancam kebebasan demokrasi semacam itu.
“Demokrasi itu akan ada paradoks, maka butuh peran. Dalam konteks ini, kasus itu harus jadi prioritas penegak hukum. Jangan sampai terjadi pleonasme—kemubaziran simbol—akibart distrust,” ucap dia.
Sementara Kadiv Humas Polri Irjen Pol. Argo Yuwono yang dihubungi kumparan untuk mengetahui sejauh mana tindakan polisi dalam menyelesaikan kasus kriminalisasi dan teror ini, belum memberikan jawaban hingga berita ini diturunkan.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.