Lipsus Pendeta Cabul di Bogor

Teror Pendeta Cabul di Bogor (1)

5 September 2022 13:08 WIB
·
waktu baca 18 menit
comment
19
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tiga tahun lalu, 2019, Yoshua kaget saat RV, teman perempuannya, tiba-tiba mengatakan ingin menjadi orang bejat saja. Yoshua tak menyangka ucapan itu merupakan permulaan dari pengakuan yang mengejutkan: RV mengalami pelecehan seksual; pelakunya seorang pendeta.
RV butuh bertahun-tahun untuk sadar bahwa ia telah dilecehkan. Selama tujuh tahun ia dengan lugunya mengira pelecehan seksual itu sebagai ritual pengkudusan. Semua bermula dari kelompok doa yang ia ikuti Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Tiberias Bogor.
Gereja GPdI Tiberias Bogor. Foto: Muthia Firdaus/kumparan
Dulu, saat RV masih duduk di bangku sekolah, ia dan Yoshua tergabung dalam kelompok doa yang sama di GPdI Tiberias Bogor. Mereka ketika itu murid kelas IX SMP yang kerap mengisi waktu luang di gereja.
Kelompok doa tersebut terbentuk secara tak sengaja. Awalnya, tahun 2009, Yoshua mengajak teman-teman SMP-nya yang beragama Nasrani untuk pergi ke gereja saat kawan-kawan mereka yang beragama Islam sedang salat Jumat. Di gereja, mereka bermain gitar dan menyanyikan lagu-lagu rohani.
Mula-mula kelompok mereka hanya beranggotakan empat orang, lalu lambat laun terus bertambah hingga tiga tahun kemudian, 2012, menjadi 20 orang—4 laki-laki dan 16 perempuan. Melihat perkembangan tersebut, pihak gereja lantas memberikan pendamping rohani, yakni YB, seorang pengerja atau calon pendeta yang tengah magang pelayanan.
Kedekatan pun mulai terjalin dengan YB selaku pembimbing rohani. Menurut Yoshua, YB memosisikan diri sebagai “ayah” bagi ia dan kelompoknya, karena kebetulan kebanyakan dari mereka jarang bertemu orang tua.
Ilustrasi: Tom Robertson/Shutterstock
“Pertama-tama kami diajari doa. Itu benar, sesuai dengan ajaran agama kami,” kata Yoshua kepada kumparan di Jakarta, Selasa (30/8).
Lama-kelamaan, YB meminta dipanggil “papa” oleh jemaatnya. Ia juga memperkenalkan sebuah ritual yang disebut pengkudusan. Menurut Yoshua, YB menyebut ritual tersebut wajib dilakukan oleh para remaja yang ikut kelompok doanya sebelum mereka mulai berpacaran atau bertemu jodoh di masa depan.
Ketika itu, Yoshua berpikir ritual pengkudusan itu artinya ia dan kawan-kawannya akan didoakan oleh YB. Namun, ia tak pernah mendapatkan ritual tersebut selama mengikuti kegiatan kelompok doa.
Baru tujuh tahun kemudian, dari RV, Yoshua tahu bahwa ritual pengkudusan ternyata dilakukan YB terhadap sejumlah anggota perempuan di kelompok doa tersebut. Ritual berlangsung saat Yoshua dan teman-teman lelakinya sedang membereskan alat musik dan bangku-bangku di ruang utama gereja di lantai 2.
Di salah satu sudut ruangan dalam bangunan ini, RV dilecehkan tanpa ia sadari. Foto: Muthia Firdaus/kumparan
Kala para remaja lelaki sibuk beres-beres, RV, salah satu remaja perempuan yang dilecehkan, dipanggil YB ke sebuah sudut ruangan. Di sudut ruangan di bawah tangga itu, YB berkata kepada RV bahwa salah satu proses pengkudusan adalah berupa ciuman kudus.
“Anggap saya pacar kamu. Kita ciuman,” kata YB seperti diceritakan RV kepada Yoshua.
“Anggap saya sudah suami istri sama kamu. [Kita] ciuman lepas saja, dan ini kudus. Kamu harus hormati prosesi ini,” ujarnya lagi.
RV yang tak mengerti soal ritual pengkudusan hanya diam. YB kemudian menarik kepala RV dan menciumnya dengan paksa. RV bingung. Ia bertanya-tanya dalam hati mengapa ritual pengkudusan mesti seperti itu. Meski demikian, ia tetap mengucapkan doa, layaknya yang dilakukan dalam sebuah ritual.
“[RV] berdoa dalam hati. Sering kali kalau dia berdoa [secara lisan saat pengkudusan], pelaku marah. Makanya waktu saya dengar [cerita itu], terasa aneh. Enggak mungkin ada yang seperti itu di suatu agama,” kata Yoshua.
Yoshua sungguh terlambat mengetahui hal itu, sebab RV baru bercerita kepadanya tahun 2019. RV sebelumnya pun tak tahu bahwa prosesi pengkudusan yang ia jalani hanyalah akal-akalan YB untuk mencium dan menyentuh jemaat perempuannya.
RV baru sadar ketika ia beribadah di sebuah gereja di Bandung semasa kuliah dan berkonsultasi dengan pendeta perempuan di sana. Ia terguncang begitu paham bahwa tidak ada ritual pengkudusan cabul di ajaran Kristen mana pun.
RV syok begitu tahu ia ternyata dicabuli oleh YB. Ilustrasi: Aditia Noviansyah/kumparan

Mengadu ke Gereja

Begitu tahu bahwa ia telah dilecehkan, RV tak lantas diam. Ia bercerita kepada Yoshua, dan Yoshua meneruskan cerita tersebut ke GPdI Wilayah XIV—yang menaungi gereja-gereja GPdI di Bogor—pada 2019. Namun, Yoshua tak puas dengan tanggapan yang ia dapat
“Karena mungkin saya sendirian [yang bilang ada pelecehan], dianggapnya enggak [ada] kali,” kata Yoshua.
Pendeta Yemma Kastanya, perwakilan GPdI Tiberias Bogor, membenarkan bahwa Yoshua pada 2019 mengadu soal pelecehan seksual berkedok pengkudusan. Yemma ketika itu baru pulang dari pelayanan di luar negeri.
“Saya baru tahu [waktu itu]. Kalau dia (Yoshua) enggak curhat, saya enggak tahu ada kejadian itu di sini,” kata Yemma kepada kumparan di GPdI Tiberias Bogor, Kamis (1/9).
Menurut Yemma, YB menjadi pengerja atau calon pendeta di gerejanya selama dua tahun, yakni 2010–2012. Ketika Yoshua datang pada 2019, YB tidak lagi bekerja di sana. Masa magangnya sudah lama selesai.
GPdI Tiberias Bogor kemudian berusaha mencari tahu lebih lanjut soal dugaan pelecehan tersebut, sebab cerita itu bukan berasal dari korban maupun keluarganya, melainkan dari teman dekatnya. Kala itu, pengaduan pun hanya sampai di ke GPdI Wilayah XIV.
“Kami bingung harus ke mana. Tahun 2019 itu saya coba lapor ke organisasi gereja, tapi mungkin karena bukan saya sendiri yang mengalami, jadi enggak ditanggapi,” kata Yoshua.
Lalu, pada Oktober 2021, Yoshua ditelepon Tante S, seorang korban lainnya.
Ilustrasi: Shutterstock
S—yang kini berusia 56 tahun—bercerita bahwa ia dan anak perempuannya juga menjadi korban pencabulan oleh YB. S bergabung dengan persekutuan doa YB pada 2013, usai suaminya meninggal.
Meski S dibesarkan dalam keluarga Katolik, ia melakukan pemberkatan nikah secara Protestan, mengikuti suaminya yang merupakan jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI).
Sesudah sang suami meninggal, S terngiang pesannya: siapa pun hamba Tuhan tak boleh dihakimi dan harus dihormati. Maka, S meneruskan beribadah secara Protestan. Ia juga taat kepada YB atas nama Tuhan.
Tahun 2013 itu, YB sudah rampung sebagai pengerja di GPdI Tiberias Bogor. Pendeta baru itu lalu mendirikan persekutuan doa sendiri: GPdI Yeshua Hamashiah.
Menurut Pendeta Jefta, pendeta baru boleh membuka pelayanan sendiri setelah melalui masa praktik atau magang sebagai pengerja selama dua tahun.
“Setelah praktik disetujui, dia punya hak untuk buka tempat pelayanan, di mana pun di Indonesia. Lepas dari [masa pengerja] itu, sudah enggak bisa saya atur,” kata Jefta.
Ia menjelaskan, setiap pelayanan gereja GPdI itu otonom dan setara, sehingga satu gereja tidak bisa mengatur gereja lainnya.
Ilustrasi: Raiyani Muharramah/Shutterstock
Kepada kumparan, S mengatakan bahwa tahun 2013 saat ia mulai mengikuti persekutuan doa YB, pendeta itu belum memiliki gereja. Oleh sebab itu ibadah kerap digelar dengan berpindah-pindah tempat di sekitar Bogor, seperti di rumah jemaat atau menyewa studio. Rumah S pun pernah menjadi lokasi ibadah.
Tahun-tahun dilalui S dalam persekutuan doa itu, hingga petaka menghampirinya pada 2019—tahun yang sama ketika Yoshua mengadukan pelecehan oleh YB kepada RV ke GPdI Tiberias Bogor. Tahun itu, YB mulai meminta S untuk melakukan pengkudusan.
“Dia bilang sama saya sambil nunjuk telinga dia: ‘Tuhan bicara sama saya di telinga. Ibu harus dikuduskan tapi di bagian-bagian sensitif.’ Saya pikir, emang saya ngapain selama ini? Kata dia, ‘Pokoknya Tuhan bilang Ibu enggak kudus,’” ujar S menirukan ucapan YB saat kumparan menemuinya di Bogor.
S enggan menanggapi permintaan pengkudusan itu. Namun, pendeta YB terus-menerus memintanya melakukan pengkudusan. Kali lain, permintaan itu disertai ancaman yang membawa-bawa nama Tuhan.
“Tuhan marah sama Ibu. Ibu harus dikuduskan. Kalau Ibu enggak taat, anak-anak Ibu tak dapat pekerjaan bagus, tak dapat berkat, tak dapat jodoh. Itu karena Ibu tidak taat sama Tuhan,” kata YB dengan nada geram.
Mengancam jemaat atas nama Tuhan. Ilustrasi: VGstockstudio/Shutterstock
Sebagai ibu tunggal, S tak ingin anak-anaknya menderita karena dia. Maka, dengan berat hati ia mengiyakan permintaan YB untuk dikuduskan. Ia juga teringat pesan mendiang suaminya agar taat kepada hamba Tuhan.
Setelah mendapat persetujuan S, Pendeta YB pun mendatangi rumah S untuk melakukan ritual pengkudusan. S mengusulkan ritual dilakukan di ruang keluarga yang terbuka. Namun, YB meminta di kamar.
Begitu mereka masuk kamar, YB menutup pintu dan gorden, mengeklaim tindakannya itu merupakan perintah Tuhan.
“Akhirnya, dilepas semua [pakaian saya],” kata S. Menurutnya, YB lalu mengoleskan minyak urapan ke tubuhnya dan meraba-raba tubuhnya.
“Saat dia meraba-raba semua [bagian tubuh saya] tidak karuan, saya coba berdoa. Keluar dari mulut saya, ‘Tuhan Yesus, tolong saya. Darah Yesus…’ Terus saya sebut begitu. Dia marah,” ujar S.
YB melarang S untuk berdoa. Namun, S terus merapalkan doa-doa yang ia yakini. YB terlihat gerah dan menghentikan aksinya meraba-raba. Pun begitu, S belum curiga. Ia masih mengira ritual itu adalah bentuk ketaatan kepada Tuhan. Kejadian itu pun ia coba lupakan meski sulit.
Ilustrasi: kumparan
Kecurigaan tumbuh di benak S ketika pada akhir 2019 ia bertemu orang yang pernah dikuduskan YB dengan sentuhan-sentuhan fisik. Orang itu berkata, pengkudusan oleh YB tersebut ia alami sejak 2010.
Kian hari, S semakin tidak sreg dengan YB. Apalagi, suatu hari di depan jemaat, YB yang menuduh istrinya sendiri berselingkuh. Perilaku YB itu dianggap S tak pantas. Akhirnya, pada Agustus 2021, S keluar dari persekutuan doa YB.
Keputusan S untuk tak lagi menjadi jemaat YB di GPdI Yeshua Hamashiah membuat dua anak perempuannya penasaran. S pun berterus terang kepada mereka, bahwa ia pernah “dikuduskan” YB. Putri-putrinya ikut kaget. Terlebih, salah satu dari mereka, si bungsu, ternyata juga pernah dikuduskan YB tanpa sepengetahuan S.
Ritual yang dijalani anak bungsu S terjadi pada 2017. Ketika itu, ia diminta YB menanggalkan busana. Alhasil, ia tak mengenakan sehelai pakaian pun di hadapan sang pendeta.
Di lain waktu, YB memintanya untuk melakukan ciuman kudus, serupa dengan yang pernah ia lakukan terhadap RV. Setelahnya, YB meminta agar pengkudusan itu dirahasiakan dari orang tuanya. Ia berdalih, Tuhan ingin ritual itu hanya diketahui dia dan Tuhan.
Siapa lagi jadi korban pelecehan seksual Pendeta YB? Ilustrasi: Maulana Saputra/kumparan
Yoshua yang mendengar cerita S lantas curiga. Ia menduga korban YB bukan hanya S, anak perempuannya, dan RV. Yoshua pun menghubungi kawan-kawan perempuan yang pernah mengikuti kelompok doa YB.
Benar saja, lima orang di antara mereka pernah mengalami pelecehan seksual berkedok ritual pengkudusan. YB melakukan kontak fisik secara langsung dengan kelima jemaat perempuan itu. Sementara jemaat lainnya dilecehkan secara verbal.
Pelecehan verbal juga dialami anak sulung S. Ia—yang terus-menerus menolak dikuduskan—menerima pesan WhatsApp dari YB yang bertuliskan: “Papa horny lihat body kamu.”
Putri sulung S begitu marah membaca pesan tersebut sehingga langsung menghapusnya saat itu juga.
Yoshua, teman RV, korban pelecehan seksual oleh YB. Foto: Amrizal Papua/kumparan

Memperluas Pengaduan

Oktober 2021, S mengadukan ulah cabul YB ke istri YB. Sang istri lantas meminta maaf kepada S. Beberapa hari kemudian, istri YB mendatangi S setelah menanyai suaminya ihwal ritual pengkudusan.
Kepada istrinya, YB berkata, “Demi Tuhan Yesus, saya tidak berbuat seperti itu.”
Ucapan itu diceritakan istri YB kepada S. Sementara kumparan yang menghubungi YB dan istrinya melalui pesan singkat dan telepon, belum mendapat respons hingga kini.
Setelah mendengar bantahan YB lewat istrinya, S berkata akan melapor ke GPdI. Istri YB melarangnya dengan alasan bahwa kejadian ini adalah aib.
Berhubung masalah tak kunjung menemui titik terang, S kemudian bercerita ke salah satu pendeta perempuan di GPdI Tiberias Bogor. Pada titik ini, S mengetahui bahwa YB sempat memfitnahnya dengan berkata kepada pendeta perempuan itu bahwa S sendiri yang meminta telanjang.
Kepada rekan pendetanya itu, YB juga menyebut bahwa S memfitnahnya. S pun berang karena YB memutarbalikkan cerita. Ia lantas bertekad untuk menguak kasus pencabulan ini.
“Mereka berusaha mendamaikan saya dengan si pendeta cabul. Saya enggak mau. Saya bilang, ‘Ada proses hukum.’ Terus mereka takut GPdI dibawa-bawa. Saya jawab, ‘Sudah pasti dibawa, [lah] ini pendeta cabulnya dari mana?” ujar S.
GPdI Tiberias Bogor kaget saat mengetahui kasus dugaan pencabulan yang melibatkan YB. Foto: Agaton/kumparan
GPdI Tiberias Bogor membenarkan ada dua pengaduan yang masuk ke mereka soal Pendeta YB, yakni pada 2019 dan 2021. Pengaduan pada 2019 berasal dari teman dekat korban, sedangkan pengaduan tahun 2021 berasal dari seorang ibu yang menjadi korban.
Meski GPdI Tiberias Bogor tak menyebut secara gamblang pihak pengadu, namun konfirmasi itu sinkron dengan cerita Yoshua selaku teman dekat RV, dan S selaku korban—sekaligus ibu dari korban lain yang merupakan putrinya.
Pendeta Jefta Kastanya dari GPdI Tiberias Bogor mengatakan bahwa ibu yang menjadi korban YB kini sering mengobrol dengannya.
“Ibu itu ingin tahu respons gereja; ingin ketemu kami. Dia bukan jemaat sini. Dia ingin mengulik YB itu [sosoknya] bagaimana,” kata Jefta.
Menurut Jefta, YB pandai bersosialisasi dan karismatik. Ia memiliki pendekatan yang baik kepada para jemaat gereja. Ia juga punya bakat memimpin. Selama dua tahun menjadi pengerja di GPdI Tiberias Bogor, ia mampu mengarahkan jemaat
Itu sebabnya Jefta kaget ketika peristiwa pelecehan berkedok pengkudusan oleh YB mencuat. “Kalau tahu [dari dulu], kami proses dan keluarkan [YB].”
GPdI Tiberias Bogor tak tahu YB mencabuli jemaat perempuan di tempat mereka. Foto: Muthia/kumparan
Lantaran Jefta baru tahu peristiwa tersebut saat YB sudah di luar wewenangnya, ia menyarankan agar kasus pelecehan tersebut diadukan ke Majelis Wilayah selaku pengurus organisasi yang mengkoordinasi gereja-gereja GPdI. Gereja GPdI di Bogor berada di bawah koordinasi Majelis Wilayah XIV.
Masing-masing gereja GPdI bersifat otonom dan dikoordinir oleh pengurus yang terdiri dari Majelis Wilayah, Majelis Daerah di tingkat provinsi, Majelis Pusat di level nasional, dan Majelis Internasional.
Maka, ketika ada pengaduan masuk ke GPdI Tiberias Bogor soal YB, Pendeta Jefta menghubungi Majelis Wilayah XIV yang berada di bawah Majelis Daerah GPdI Jawa Barat.
“Saya hubungi [Majelis] Wilayah, [Majelis] Daerah langsung cabut izinnya [YB],” kata Jefta.
Status kependetaan YB dicabut pada 9 Desember 2021, setelah pengaduan dari S dan Yoshua menyebar luas ke kalangan gereja.
Jessica Simatupang, pengacara korban pelecehan seksual oleh Pendeta YB. Foto: Raihandika Priamdimas/kumparan
Menjelang Desember 2021, sekitar Oktober-November, S melalui pengacaranya, Jessica Simatupang dari Jes & Co Associates Law Firm, menghubungi seorang pendeta GPdI kenalannya yang berada di Bekasi.
Kepada pendeta di Bekasi itu melalui video conference pada 5 November 2021, Jessica menceritakan pelecehan seksual berbalut ritual pengkudusan yang dialami kliennya. Pendeta tersebut terkejut. Menurutnya, tak ada ajaran pengkudusan semacam itu.
Dalam video conference itu, Jessica mengatakan bahwa apabila tidak ada tanggapan dari gereja, maka pihaknya akan membawa kasus ke ranah hukum. Dan pada 22 November 2021, karena tak mendapat kabar apa pun dari gereja, Jessica melayangkan somasi ke beberapa pendeta yang mengetahui pengaduan ini.
Usai somasi tersebut, pendeta di Bekasi mengabari Jessica bahwa akan digelar video conference lanjutan untuk membahas pengaduan pelecehan seksual terhadap S.
Dalam forum yang kemudian berlangsung pada 26 November 2021 itu, hadir S, Jessica, sang pendeta dari Bekasi, dan beberapa pendeta dari organisasi GPdI yang dianggap berwenang. Namun, YB tak hadir di situ.
“[Pendeta] yang hadir tidak menghadirkan si terlapor. Saat itu terlalu banyak orang yang dikirim masuk ke Zoom meeting tersebut sampai akhirnya tidak kondusif. … Arahnya [mereka] enggak mau tahu. Cuci tangan saja,” kata Jessica.
Foto: Instagram/@gpditiberiasbogor

Melapor ke Polisi dan Komnas Perempuan

Karena proses dengan gereja dan organisasi gereja dianggap mentok, Desember 2021, Jessica pun melaporkan pelecehan seksual yang dialami kliennya ke Polres Bogor. Laporan itu tercatat bernomor LP/B/1893/XII/2021/SPKT/POLRES BOGOR/POLDA JAWA BARAT.
Sambil menunggu laporan diproses Kepolisian, pada bulan yang sama S juga membuat pengaduan ke Komnas Perempuan. Atas pengaduan itu, Komnas Perempuan lantas mengirimkan surat permohonan informasi ke Polres Bogor dan Gereja GPdI di Bekasi—tempat S pertama kali menyampaikan aduan resminya pada Mei 2022.
“Tapi sampai saat ini, surat klarifikasi maupun permohonan informasi itu belum dibalas oleh kedua institusi itu,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi kepada kumparan, Rabu (31/8).
Menurut Siti, kekerasan seksual yang dialami S terjadi lantaran adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban. Pelaku yang memiliki otoritas keagamaan menyalahgunakan kuasa yang ia miliki.
“Kekuasaan itu digunakan untuk mengambil keuntungan seksual dari [jemaat] yang ada di bawahnya. Sebagai pendeta, jemaah dipandang subordinat. Kita (masyarakat) juga diberikan pemahaman, jemaah harus tunduk dan taat kepada pemuka agama seperti kiai, ustaz, romo, pendeta. Apalagi ini dibungkus dengan agama, maka korban tak mampu untuk menyatakan tidak,” kata Siti.
Kini, Polres Bogor mengatakan tengah mendalami perkara YB. Namun, ada kendala dalam pengungkapan kasus tersebut.
“Tidak ada saksi dalam peristiwa itu, sementara kami butuh dua alat bukti. Korban juga menandatangani surat menolak visum. Jadi kami kesusahan,” ujar Kabag Humas Polres Bogor AKP Ita Puspita Lena.
Ilustrasi: Shutterstock
Jessica menjelaskan bahwa S menolak visum lantaran peristiwa sudah berlangsung lama. Ia juga khawatir akan teringat kembali dengan pengalaman traumatis itu. Di sisi lain, S bersedia diperiksa oleh psikiater atau psikolog mengenai peristiwa yang ia alami.
Selama beberapa waktu, para korban YB tak mendapat kabar mengenai perkembangan penanganan kasus tersebut. Saat itu, S sempat mendapat undangan pihak gereja dalam rangka penyelesaian masalah ini dari pihak gereja pada Maret 2022. Meski demikian, Jessica tak membolehkannya hadir lantaran prosesnya langsung ke korban tanpa melalui pihak pengacara.
Kemudian, pada 19 Agustus 2022, kasus ini mendadak viral setelah Yoshua mengunggahnya di Twitter.
Pada 1 September 2022, Polres Bogor kembali menindaklanjuti pelaporan pelecehan seksual oleh YB dengan memanggil korban. Pihak gereja pun membagikan surat pemberhentian secara tidak hormat terhadap YB.
Surat pemberhentian tertanggal 9 Desember 2021 itu ditandatangani oleh Ketua Majelis Daerah (MD) GPdI Jawa Barat Pdt. Ferdinand Rompas dan Sekretaris MD GPdI Jabar Pdt. Herlina Budiawan.
Informasi tentang surat ini didapat S sekitar dua pekan lalu, setelah kasus viral di medsos.
Pertanyaannya kemudian: jika pendeta YB sudah dipecat dari GPdI sejak 9 Desember 2021, kenapa baru sekarang—setelah kasus disebarluaskan di medsos—surat pemberhentian itu diinformasikan kepada korban?
Saat kumparan menghubungi Sekretaris Majelis Daerah GPdI Jabar Pendeta Herlina Budiawan, ia menyatakan persoalan pelecehan seksual oleh YB sudah selesai diproses di organisasi gereja dengan pemecatan terhadap yang bersangkutan pada 9 Desember 2021.
Tim kumparan kemudian meminta untuk dihubungkan dengan Ketua Majelis Daerah GPdI Jabar Pendeta Ferdinand Rompas. Herlina lalu menyambungkan dengan Pendeta Denny Tampi, Wakil Bendahara MD GPdI Jabar yang ditugasi untuk menangani kasus ini.
Kepada kumparan, Denny mengatakan bahwa Majelis Daerah GPdI Jawa Barat telah menerima pelaporan dari Majelis Wilayah XIV. MD GPdI Jabar lalu menghimpun informasi dan hendak menemui korban. Namun, ujarnya, pengacara korban tidak mau diajak bertemu.
“Saya bilang, ‘Kita harus ketemu.’ Masak cuma [karena] laporan si A, saya harus memberhentikan si B. Harusnya ketemu dulu, tanya dulu bagaimana kronologinya. Tapi berdasarkan laporan dari Majelis Wilayah itu, maka kami [investigasi dan] ambil tindakan memecat. Ada surat pemecatan dengan tidak hormat. Jadi sudah selesai,” kata Denny.
Kasus YB ini sepenuhnya diproses di Majelis Daerah GPdI Jawa Barat, sementara Majelis Pusat GPdI dan Persekutuan Gereja-Gereja Pentakosta Indonesia (PGPI)—organisasi yang menaungi GPdI—menyatakan tidak menerima laporan soal ini.
Surat pemberhentian tidak hormat terhadap Pendeta YB. Foto: Dok. Istimewa
Surat pemberhentian tidak hormat terhadap Pendeta YB. Foto: Dok. Istimewa
Menurut Denny, setelah investigasi dilakukan, YB akhirnya mengakui telah melakukan pelecehan seksual berkedok pengkudusan terhadap korban. Pemecatan terhadap YB sebagai pendeta di GPdI pun didasarkan atas pengakuan tersebut.
Denny mengklarifikasi bahwa tak ada ajaran pengkudusan seperti yang dilakukan YB—meminta jemaat telanjang dan meraba-raba tubuh mereka. Menurut Denny, pengkudusan yang benar adalah praktik mendoakan jemaat, seperti mendoakan saat pernikahan agar suci atau kudus.
Sementara soal YB, ujar Denny, sesudah ia dipecat, organisasi gereja tidak bisa memantaunya kecuali ada laporan.
“Kami kan enggak mungkin kontrol person sehari-hari dia ke mana. Yang penting kami sudah sesuai Anggaran Dasar Gereja; kami sudah memecatnya.”
Mengenai surat pemecatan yang tidak terinformasikan kepada korban saat diteken pada Desember 2021, Denny mengatakan hal itu karena surat tersebut hanya diedarkan di lingkup internal.
Majelis Daerah GPdI Jawa Barat menegaskan tak menutup-nutupi kasus YB, sebab surat pemecatan terhadapnya sudah sampai kepada 50 pendeta di internal organisasi.
Menurut sumber kumparan, Pendeta Ferdinand Rompas dalam sebuah pertemuan pada April 2022 menyatakan bahwa selama ini organisasi gereja memang tidak menyebarkan kabar pemecatan pendetanya. Akan tetapi, informasi akan diberikan seluruhnya jika ada yang bertanya.
Masih dalam pertemuan itu, Ferdinand mengatakan bahwa informasi pemecatan pendeta hanya diberitahukan kepada ketua-ketua majelis wilayah. Hal itu, ujarnya, bukan karena niat untuk melindungi orang berdosa, tapi karena Tuhan saja mengampuni dosa hambanya.
Ia juga menyebut bahwa tiap pemecatan pendeta selalu diiringi nasihat kepada yang bersangkutan agar ia tak berdiri di mimbar mana pun setidak-tidaknya selama dua tahun. Setelah dua tahun, ia bisa dipertimbangkan untuk direhabilitasi.
Saat kumparan menanyakan maksud ucapan Ferdinand dalam pertemuan tersebut kepada Denny, ia menanyakan urgensi pertanyaan ini. Ia juga menanyakan informasi pertemuan yang didapat kumparan, dan menyebut sumber tersebut mengada-ada. kumparan menolak untuk mengungkap sumber terkait.
“SOP-nya, dia (YB) melakukan, dan kita (gereja) memberhentikan. Itu SOP-nya. Tidak ada yang lain-lain. Jadi kalau bertanya [soal ucapan Pendeta Ferdinand] pun, itu kan bukan ranahnya,” kata Denny.
Namun, Denny membenarkan bahwa setelah dipecat, pendeta GPdI tidak boleh melakukan pelayanan, khotbah, atau memimpin doa apa pun selama dua tahun. Jika ketahuan masih melakukan praktik kependetaaan, gereja akan memberi sanksi.
“... supaya dia sadarlah, bertobatlah, kapoklah... Kayak orang dipenjara dua tahun, tapi ini enggak ada remisi,” ujarnya.
Ilustrasi: lunamarina/Shutterstock
Meski YB telah dipecat pada 9 Desember 2021, S mendapat tangkapan layar undangan persekutuan doa yang dipimpin YB dari jemaat yang masih beribadah dengannya. Dalam screenshot itu, YB mengundang jemaatnya untuk beribadah pada 19 Desember 2021 dan 13 Maret 2022 di sebuah studio di Bogor.
Artinya, setelah dipecat, YB masih melakukan praktik kependetaan. Soal ini, Denny mengatakan belum mendapat aduan. Menurutnya, jika ada jemaat mendapati pendeta yang dipecat masih melakukan pelayanan, silakan memotret pendeta itu untuk dikirimkan ke organisasi gereja untuk ditindaklanjuti.
Sementara itu, S sebagai korban mengharapkan dua hal: pertama, pemecatan terhadap Pendeta YB—yang sudah dilakukan gereja meski belum tentu dipatuhi; kedua, Pendeta YB mesti diadili, sebab perilaku bejatnya sudah berlangsung sejak 2010 dan bukan hanya S yang jadi korban.
“Tidak cukup bertobat, [karena] enggak tahu juga dia bertobat atau enggak,” kata S.

Mendesak Penyusunan SOP di Lembaga Keagamaan

Komnas Perempuan mengimbau, ketika ada dugaan kekerasan seksual di institusi keagamaan, apa pun bentuknya, pengurus organisasi perlu memercayai dulu pengaduan itu dan membuka ruang bagi korban lain untuk ikut mengadu.
“Barulah dilakukan proses administratif, kemudian penanganan kasus, maupun pemulihan untuk korban maupun jemaah,” kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi.
Secara struktural, Siti menyarankan agar institusi keagamaan mendorong tiga hal dalam penanganan kekerasan seksual.
Pertama, pembuatan prosedur operasi standar (SOP) pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban kekerasan seksual. SOP ini misalnya dibuat oleh Keuskupan Agung Jakarta dalam sebuah buku berjudul Protokol Perlindungan Anak dan Dewasa Rentan. Berikut rincian SOP tersebut:
Siti mendorong instansi keagamaan lain menyusun SOP serupa demi keamanan dan kenyamanan jemaah mereka.
“Ibu (S) itu lapor ke gereja di Bekasi karena mungkin tidak tahu ke mana harus melapor. Karena gerejanya tidak punya mekanisme pelaporan itu,” tutur Siti.
Kedua, ujarnya, institusi keagamaan perlu mempromosikan tafsir keagamaan yang ramah perempuan. Misalnya, tidak memosisikan perempuan sebagai subordinat laki-laki.
Ketiga, perlunya materi pendidikan anti-kekerasan dalam sekolah keagamaan, sebagai bagian dari pencegahan kekerasan seksual.
“Di Sekolah Minggu, di madrasah, berikan muatan itu. Jadi ada SOP, ada materi, dan ada penafsiran keagamaan yang ramah terhadap perempuan,” tutup Siti.
Lindungi iman, lindungi diri. Foto: Shutterstock
Terlepas dari keinginan para korban agar YB diadili, ia kini masih melenggang bebas. Sementara cerita dari korbannya makin beragam. Mereka tak cuma dijerat ciuman kudus, tapi juga diajak mandi bersama. Simak laporannya:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten