Terpilihnya Halimah dan Perjuangan Politik Minoritas Melayu Singapura

13 September 2017 18:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Singapura yang baru, Halimah Yacob. (Foto: REUTERS/Edgar Su)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Singapura yang baru, Halimah Yacob. (Foto: REUTERS/Edgar Su)
ADVERTISEMENT
Singapura memiliki nama lain "China di Semenanjung Malaya" karena mayoritas penduduknya adalah Tionghoa. Mayoritas ini tidak hanya soal jumlah, tapi juga menduduki posisi penting dalam struktur politik dan sektor ekonomi di negeri Singa.
ADVERTISEMENT
Sejak kemerdekaan Singapura pada 9 Agustus 1965, etnis China telah menduduki tiga per empat penduduk. Kini, populasi China tetap mendominasi hingga 74,3 persen dari total populasi. Menyusul Melayu sebanyak 13,4 persen, India 9,1 persen, dan ras lainnya menyusul di belakang dengan angka 3,2 persen.
Namun, keberadaan berbagai ras sejatinya bukan menjadi masalah bagi penghuni Pulau Temasek ini. Hanya saja, sejarah peradaban Singapura berubah di era penjajahan yang tidak lepas dari pengkotak-kotakan ras. Dalam catatan Professor Syed Hussein Alatas dari University of Singapore berjudul The Lazy Native yang terbit tahun 1977, pemerintah kolonial Inggris menetapkan stereotip-stereotip berdasarkan ras di Singapura, seperti China, India, dan Melayu.
India digambarkan sebagai budak nan bejat, Melayu dicitrakan malas dan lamban. China memiliki citra licik dan pembohong. Stigma yang tertanam di masing-masing wajah ras yang mendiami Singapura akhirnya timbul menjadi bibit kebencian satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Kelompok Melayu bukan berarti tidak mengucurkan keringat dalam pembentukan identitas Singapura. Sejak era kolonial, kelompok Melayu telah melakukan konsolidasi internal yang bahkan mengambil jarak dengan Melayu di Semenanjung Malaya.
Sebuah organisasi bernama Singapore Malay Union didirikan tahun 1926 guna menampung aspirasi kelompok Melayu yang tinggal di wilayah administrasi Singapura. Yusof Ishak yang menjadi presiden pertama Singapura, pernah menjabat sebagai ketua sayap pemuda di organisasi ini. Dari tangannya juga lahir sebuah koran bernama Utusan Melayu.
Yusof Ishak, Presiden Singapura pertama. (Foto: www.istana.gov.sg)
zoom-in-whitePerbesar
Yusof Ishak, Presiden Singapura pertama. (Foto: www.istana.gov.sg)
Usaha kemerdekaan Singapura awalnya merupakan upaya kolektif antar ras. Kemerdekaan Singapura didorong oleh Peoples Action Party (PAP) yang digawangi oleh Lee Kuan Yew. Di dalamnya terdapat beberapa tokoh multi ras seperti jurnalis keturunan India, S Rajaratnam, dan tokoh Melayu Abdul Samad Ismail.
ADVERTISEMENT
PAP telah berusaha bernegosiasi dengan Inggris sejak tahun 50-an. Pemerintah Singapura yang independen akhirnya berdiri lewat Pemilu tahun 1959.
Singapura kemudian bergabung dengan federasi Malaysia pada 1963. Keputusan ini justru memicu konflik antara Lee dengan Malaysia. Ketegangan dengan pemerintah Malaysia yang didominasi oleh partai Melayu UMNO ternyata ikut menjadi biang pergesekan di dalam Singapura terutama dengan ras Melayu.
Ketegangan antara Melayu dengan etnis China mendidih menjelang kemerdekaan Singapura. Menjelang kampanye Pemilu Malaysia 1964, Lee Kuan Yew dan PAP yang saat itu masih menjadi peserta berujar bahwa UMNO Malaysia ingin mewujudkan Malaysianya Melayu. PAP menawarkan bahwa nantinya Singapura akan menjadi negara multirasial.
Namun sayang, pesan itu diterima berbeda dan menimbulkan pergesekan dengan kelompok Melayu dengan menganggap PAP sama-sama ingin mewujudkan Singapura yang didominasi etnis China. Dalam kurun 1964-1965, kelompok Melayu dan China beberapa kali terlibat kekerasan.
Lee Kuan Yew. (Foto: Reuters/Tim Chong)
zoom-in-whitePerbesar
Lee Kuan Yew. (Foto: Reuters/Tim Chong)
Namun Lee cukup sadar bahwa setiap ras harus disatukan. Ketika Singapura melepaskan diri dari Malaysia dan merdeka, Yusof Ishak yang sebelumnya memegang posisi sebagai Public Service Commission of Singapore diangkat menjadi Presiden pertama Singapura.
ADVERTISEMENT
Namun catatan politik Singapura setelah kepemimpinan Yusof Ishak tidak pernah lagi melibatkan kelompok Melayu. Kebijakan Lee Kuan Yew di dunia pendidikan ternyata mendorong diskriminasi terhadap kelompok etnis lainnya. Pada tahun 1970, pemerintah Singapura menggagas Asianisasi di sekolah dengan mewajibkan pengajaran konfucianisme dan bahasa Mandarin.
Hal ini menjadi bentuk dominasi kultural yang lama-lama tampak nyata ketimpangannya. Pada 1979, pemerintah meluncurkan Special Assisted Plan, guna membanjiri sekolah China dengan dana yang banyak. Mulai tahun 1966 hingga 2015, 93,2 persen penerima beasiswa Presiden adalah anak muda keturunan China. Fasilitas pendidikan Singapura seakan dicurahkan untuk warga keturunan China.
Hal ini berpengaruh ke dunia politik. Partisipasi politik Melayu tidak semenggairahkan semangat yang dimiliki oleh orang-orang China. Hingga akhirnya PAP sebagai partai penguasa harus menerbitkan peraturan khusus pada tahun 1989 guna meningkatkan partisipasi etnis non-China.
ADVERTISEMENT
Capaian luar biasa etnis Melayu di dunia politik baru hadir tahun 2015. Terpilihnya Massagos Zulkifli dan Yacoob Abdullah sebagai menteri di kabinet Lee Hsien Long merupakan catatan sejarah di mana kabinet Singapura pertama kalinya diisi dua orang dari Melayu.
Lee Hsien Long yang notabene adalah putra dari pendiri Singapura Lee Kuan Yew berujar bahwa sudah saatnya politik di Singapura dijalankan oleh sistem meritrokrasi. “Ini merupakan contoh kemajuan yang telah dicapai oleh komunitas Melayu,” ucap Lee.
Setiap pejabat harus dipilih berdasarkan prestasi, bukan dilihat dari latar belakang ras. Prinsip ini kemudian ikut mengubah konstitusi pemilihan presiden Singapura berdasarkan ras. “Setelah menunggu 46 tahun, akhirnya tiba gilirannya (ras Melayu) setelah presiden Encik Yusof Ishak,” ujar Lee Hsien Long pada 8 November 2016. Lee Hsien Long saat itu merujuk pada pemilihan presiden yang telah berlangsung pada September 2017.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini akhirnya mencapai catatan politik Singapura. Halimah Yacob terpilih menjadi presiden Singapura dari etnis Melayu pertama setelah 46 tahun, sekaligus presiden perempuan pertama Negeri Singa.