Terpuruknya Argentina Akibat COVID-19: 100 Ribu Kematian; Kemiskinan Merajalela

15 Juli 2021 5:18 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Penggali kubur membuka kuburan baru untuk jenazah pasien corona di pemakaman San Vicente, Cordoba, Argentina, Selasa (14/4). Foto: REUTERS / Sebastian Salguero
zoom-in-whitePerbesar
Penggali kubur membuka kuburan baru untuk jenazah pasien corona di pemakaman San Vicente, Cordoba, Argentina, Selasa (14/4). Foto: REUTERS / Sebastian Salguero
ADVERTISEMENT
Seorang warga bernama Sandra del Valle Pereyra mendatangi Pemakaman San Vicente di kota Cordoba, Argentina. Perempuan 50 tahun itu mengunjungi makam kedua orang tuanya yang meninggal akibat COVID-19.
ADVERTISEMENT
Valle Pareyra mengingat COVID-19 sebagai penyakit yang mengerikan karena telah merebut nyawa orang tuanya.
"Saya ditinggalkan sendirian. Pertama ibu saya meninggal dan kemudian ayah saya. Saya tidak tahu apa yang harus saya rasakan lagi tentang penyakit mengerikan ini," kata Valle Pereyra dikutip dari Reuters, Kamis (15/7).
Argentina menjadi salah satu negara yang terdampak parah pandemi COVID-19. Bagaimana tidak, jumlah kasus positif kini mencapai 4,7 juta sedangkan kematian telah menembus 100.000 pada hari Rabu (14/7) waktu setempat.
Kasus harian COVID-19 sebenarnya sudah mulai menurun usai lonjakan bulan lalu. Okupansi bed ICU juga sudah turun meski masih di atas 60 persen secara nasional.
"Setiap kehidupan yang telah pergi adalah penyesalan besar bagi saya," kata Presiden Alberto Fernandez dalam pidatonya pekan lalu.
ADVERTISEMENT
"Saya jamin kami tidak akan berhenti di bulan-bulan ini untuk memvaksinasi setiap pria dan wanita Argentina," lanjutnya.
Petugas kesehatan membawa pasien terinfeksi virus corona di unit perawatan intensif Rumah Sakit di Buenos Aires, Argentina. Foto: Agustin Marcarian/REUTERS
Argentina merupakan negara berpenduduk sekitar 45 juta orang dan telah memvaksinasi 25,7 juta. Tetapi, baru sekitar 5 juta orang yang sudah menerima dua dosis vaksin.
Dalam vaksinasi COVID-19, Argentina menggunakan vaksin Sputnik V Rusia, AstraZeneca dan Sinopharm China. Diharapkan setelah vaksinasi pandemi COVID-19 dapat dikendalikan.
Namun, akibat munculnya varian Delta yang lebih menular kembali memicu lonjakan kasus COVID-19 di Argentina. Bahkan di negara-negara seperti Israel dengan tingkat vaksinasi yang tinggi.
Suasana di daerah kumuh Villa 31, selama wabah penyakit coronavirus (COVID-19), di Buenos Aires, Argentina. Foto: REUTERS/Agustin Marcarian
Tangisan Masyarakat Argentina
Pandemi COVID-19 tak hanya menghantam kesehatan masyarakat, tapi juga ekonomi warga Argentina. Tak jarang sesama kerabat menelepon dan menangis karena tak punya uang untuk melakukan pemakaman yang layak bagi keluarganya.
ADVERTISEMENT
COVID-19 memperparah krisis ekonomi di Argentina yang sebagian besar terjebak akibat resesi 2018 dengan inflasi yang merajalela, kontrol modal yang ketat dan mata uang peso yang melemah.
"Bukan hanya pandemi yang menenggelamkan kita di negara ini. Ada juga krisis ekonomi yang sangat besar," kata Gastón Rusichi, 34, dari tim pemadam kebakaran di Cordoba yang bertanggung jawab memindahkan jenazah COVID-19 selama pandemi.
"Banyak kerabat memanggil kami menangis, bukan hanya karena kematian, tetapi karena mereka tidak punya uang untuk dapat memberikan penguburan sebagai orang yang layak," lanjutnya.
Ezequiel González, seorang pekerja berusia 35 tahun di pinggiran Kota Buenos Aires Tigre, menyebut sulit untuk melihat negaranya berhasil menghentikan pandemi COVID-19. Apalagi harus menyeimbangkan pembatasan sambil memerangi kemiskinan.
ADVERTISEMENT
"Kami semua harus mengunci diri sepenuhnya dan itu sangat sulit. Anda harus turun ke jalan untuk mendapatkan uang agar bisa makan dan bertahan hidup," katanya.
Sedangkan penduduk lainnya bernama Lautaro Fabian Gomez, menyayangkan sikap segelintir orang yang masih pergi ke tempat ramai tanpa mengenakan masker wajah. Menurutnya itu menghambat perbaikan.
"Itu membuat saya sangat marah dan tidak berdaya," kata Gomez.
“Bagi saya, jika kita bertindak seperti ini maka kita akan memiliki virus corona di sini hingga 2050,” tutup pria berusia 20 tahun itu.