Terseret Kasus Suap Vonis Ekspor CPO, Hakim yang Sidangkan Tom Lembong Diganti

14 April 2025 12:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ali Muhtarom, salah satu hakim saat digiring ke mobil tahanan Kejagung.  Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ali Muhtarom, salah satu hakim saat digiring ke mobil tahanan Kejagung. Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
ADVERTISEMENT
Hakim Ali Muhtarom menjadi 1 dari 3 hakim yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung terkait dugaan suap vonis lepas perkara korupsi persetujuan ekspor crude palm oil (CPO).
ADVERTISEMENT
Ali merupakan salah satu anggota majelis hakim yang menyidangkan perkara mantan Mendag, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong. Karena Ali terseret kasus suap, susunan majelis hakim yang mengadili Tom pun diganti.
"Menimbang bahwa oleh karena hakim anggota atas nama Ali Muhtarom, S.H., M.H., sedang berhalangan tetap dan tidak dapat bersidang lagi, maka untuk mengadili perkara tersebut perlu ditujuk hakim anggota untuk menggantikan," kata Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika membacakan penetapan susunan majelis, Senin (14/4).
Dennie mengatakan, hal ini dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 26 UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor dan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Berikut susunan majelis hakim baru yang mengadili Tom Lembong:
ADVERTISEMENT

Kasus Suap Vonis Lepas Ekspor CPO

Ali dijerat sebagai tersangka bersama Djuyamto dan Agam Syarif Baharudin. Mereka merupakan majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas terhadap terdakwa korporasi di kasus korupsi ekspor CPO.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menyebut ketiga hakim tersebut diduga turut menerima suap dalam pengaturan vonis perkara korupsi persetujuan ekspor CPO tersebut.
Perkara tersebut bermula saat pengacara tersangka korporasi Ariyanto—yang juga dijerat sebagai tersangka dalam kasus vonis lepas itu—melakukan kesepakatan dengan panitera muda perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan. Saat penanganan kasus ini, Wahyu merupakan panitera di PN Jakarta Pusat.
Kesepakatan tersebut yakni untuk mengurus perkara korupsi korporasi persetujuan ekspor CPO tersebut dengan permintaan agar perkara tersebut diputus ontslag van alle rechtavervolging (lepas dari segala tuntutan hukum). Ariyanto disebut menyiapkan uang sebesar Rp 20 miliar.
ADVERTISEMENT
Kesepakatan itu kemudian disampaikan kepada Muhammad Arif Nuryanta. Saat penanganan kasus ini, Arif masih menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Qohar menyebut, Arif menyetujui permintaan tersebut. Namun, ia meminta agar uang Rp 20 miliar tersebut dilipatgandakan menjadi 3 kali lipat, sehingga total uang yang mesti disiapkan adalah Rp 60 miliar.
Permintaan tersebut kemudian diteruskan kembali kepada Ariyanto dan langsung disetujui oleh Ariyanto.
"Kemudian, setelah disampaikan, beberapa waktu kemudian Ariyanto Bakri menyerahkan uang Rp 60 miliar dalam bentuk mata uang dolar Amerika Serikat kepada Wahyu Gunawan," ucap Qohar.
Uang tersebut kemudian diserahkan kepada Arif. Saat itu, kata Qohar, Wahyu juga mendapat fee sebesar USD 50 ribu sebagai jasa penghubung.
Setelah penerimaan uang itu, Arif kemudian menunjuk tiga orang hakim yang akan mengadili perkara korupsi persetujuan ekspor CPO tersebut.
ADVERTISEMENT
Susunannya terdiri dari Djuyamto selaku Ketua Majelis Hakim, dan Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom selaku hakim anggota.
Setelah surat penetapan sidang diterbitkan, Arif kemudian memanggil Djuyamto dan Agam Syarif. Saat itu, Arif memberikan uang dengan pecahan mata uang dolar Amerika Serikat, yang bila dirupiahkan setara Rp 4,5 miliar.
Qohar mengungkapkan, uang tersebut diberikan sebagai uang untuk baca berkas perkara. Saat itu, lanjutnya, Arif menyampaikan kepada keduanya agar perkara tersebut diatensi. Uang itu kemudian dibagi-bagi oleh Agam Syarif bersama Djuyamto dan Ali Muhtarom.
Tak sampai di situ, sekitar bulan September atau Oktober 2024, Arif kembali menyerahkan uang dalam bentuk dolar Amerika Serikat yang bila dirupiahkan senilai Rp 18 miliar kepada Djuyamto.
ADVERTISEMENT
Oleh Djuyamto, uang tersebut kemudian dibagi tiga dengan porsi pembagian sebagai berikut:
Namun, rincian tersebut bila ditotal maka jumlahnya Rp 15,5 miliar. Masih ada Rp 2,5 miliar belum diketahui ke mana.
Akibat perbuatannya, ketiga hakim tersebut disangkakan melanggar Pasal 12 c juncto Pasal 12B juncto Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.