KONTEN SPESIAL, Polusi Udara Jakarta, Ilustrasi Pakai Masker

Tersiksa Polusi Udara Jakarta

21 Agustus 2023 17:39 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jakarta bertahan di peringkat top ten kota besar dunia dengan polusi terburuk sejagat sejak Mei 2023. Kini, tiga bulan berlalu, dan polusi terus mendera. Alhasil, masyarakat luas mulai merasakan dampaknya. Penyakit ISPA kembali banyak ditemui.
***
Raisa sudah berminggu-minggu batuk dan pilek. Padahal, biasanya penyakit enteng itu hilang cepat dengan obat pasar yang biasa ia konsumsi. Namun, tidak kali ini. Ia bahkan sampai demam cukup parah.
“Pertama kali demam itu bulan Juli. Terus disusul batuk kering yang enggak ada dahaknya. Aku kasih obat, biasanya 4–7 hari sembuh, tapi ini enggak,” ucapnya.
Raisa adalah seorang videografer yang dalam sepekan menghabiskan 3–4 hari keliling Jakarta untuk mengambil berbagai materi gambar. Maka, paparan debu dan polusi bukan hal baru baginya. Sayangnya, kali ini ia tak lagi kebal.
Saat obat warung tak mujarab, Raisa sempat mendiamkan batuk-pileknya selama beberapa hali. Awalnya, ia pikir penyakit itu disumbang oleh faktor pergantian musim. Namun, memasuki Agustus, batuk keringnya makin menjadi-jadi.
Raisa mulai curiga pada faktor polusi udara, sebab pekan-pekan awal Agustus, polusi pun kian menghebat. Ia mulai lelah meladeni batuknya yang tak kunjung hilang.
“Sekali batuk, enggak berhenti. Setiap mau ngomong, kayak mau batuk. Sampai aku kesusahan ngomong,” kata Raisa. Terlebih, dadanya kini terasa nyeri. Ia sesak napas.
Raisa akhirnya berobat ke rumah sakit dekat tempat tinggalnya di Rawamangun, Jakarta Timur, pada 10 Agustus. Dokter mengeluarkan diagnosa rhinitis kronis—peradangan pada selaput lendir hidung. Penyebabnya macam-macam, salah satunya karena benda asing masuk ke hidung. Dokter juga menduga polusi udara berkontribusi ke sakitnya Raisa.
Setumpuk obat pun didapat Raisa, mulai obat batuk, antibiotik, sampai racikan dosis tinggi. Dokter juga berpesan, Raisa harus siap-siap ronsen paru-paru kalau batuknya tak sembuh juga dalam seminggu.
Sambil batuk-batuk, Raisa geleng-geleng kepala. Seumur hidupnya, baru kali ini ia mendapat resep obat dosis tinggi.
Gedung perkantoran di Jakarta diselimuti polusi, Jumat (18/8/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Batuk pilek akut juga dialami Dita, karyawan swasta yang berkantor di kawasan Medan Merdeka, Jakarta Pusat. Saban hari, ia berkegiatan di luar ruangan. Dan saat ini ia sudah tiga minggu didera batuk-pilek.
“Biasanya kalau batuk-pilek, cukup istirahat dan banyakin minum air putih, sembuh deh, atau paling enggak mereda. Sekarang kok enggak,” ucapnya.
Pekan kedua Agustus, Dita sempat berangkat dinas ke Solo. Ketika itu, batuk-pileknya mereda signifikan. Dita pun merasakan udara yang lebih segar. Namun, ketika empat hari kemudian ia kembali ke Jakarta, penyakit kembali datang. Hidung Dita terasa nyeri saat menghirup udara ibu kota.
“Waktu itu Sandiaga bilang Presiden juga batuk-batuk. Wah, saya pikir, penyakit saya ini pasti polusi juga penyebabnya,” kata Dita kesal.
Flu. Ilustrasi: Shutter Stock
Meningkatnya kasus gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di tengah kepungan polusi udara terlihat di puskesmas maupun rumah sakit di Jakarta. Puskesmas Petojo di Jakarta Selatan dan Puskesmas Gambir di Jakarta Pusat misalnya mencatat kenaikan pasien gejala ISPA sejak bulan Juli. Namun angkanya tidak mereka sebutkan.
“[Pasien ISPA naik] karena polusi. Udara lagi jelek banget sekarang,” kata Dwitia Noviari, dokter umum di kedua puskesmas tersebut.
Begitu pula di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta Timur. Jumlah pasien bergejala ISPA pada Maret–Juli 2023 meningkat dibanding periode yang sama tahun lalu.
Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), FISR, FAPSR, Ketua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI - RSUP Persahabatan, juga Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Foto: Utomo Priyambodo/kumparan
Direktur Utama RSUP Persahabatan Agus Dwi Susanto tak menyebut rinci jumlah kenaikan pasien ISPA. Namun, berdasarkan kajian pada 2019, tingginya polutan berdampak signifikan pada kasus asma dan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK).
“Kita punya riset 2019, bahwa ketika ada peningkatan polutan, khususnya PM 10 dan ozon, itu dinilai ada hubungan dengan pasien asma dan PPOK di IGD,” ujarnya, Rabu (16/8).
Jumat (18/8), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengingatkan masyarakat bahwa polusi udara berhubungan langsung dengan masalah kesehatan paru sehingga dapat mengakibatkan asma dan kanker paru. Bahkan, polusi menyumbang 4% dari kasus kanker paru di Indonesia.
PDPI membagi penyebab gangguan kesehatan akibat polusi dalam 3 kategori: gas iritan, partikel, dan gas asfiksia.
Gas iritan diakibatkan oleh senyawa sulfir, nitrogen oksida, dan ozon; menyebabkan iritasi dan peradangan pada sistem pernapasan.
Partikel diakibatkan oleh particulate matter (pm); menyebabkan iritasi, peradangan sistemik, bersifat karsinogen/memicu kanker, hingga menimbulkan kerusakan saraf.
“Kategori iritan dan partikel bisa menyebabkan mata merah dan berair; hidung tersumbat, mampet, gatal, dan berair; gatal tenggorokan dan batuk-batuk; atau ISPA pada saluran pernapasan,” jelas Feni Fitriani Taufik, dokter spesialis paru.
Terakhir, gas asfiksia diakibatkan oleh karbon monoksida dan karbon dioksida; menyebabkan sesak napas karena kurangnya oksigen.
Anak terkena asma. Ilustrasi: Shutter Stock
Peningkatan PM 2.5 biasanya berkorelasi dengan penyakit ISPA. Feni mencontohkan, data dari Nafas—platform pemantau kualitas udara—pada Juni 2022 menunjukkan naiknya angka konsultasi telemedis di Jakarta setelah PM 2.5 naik.
Dalam 48 jam, konsultasi telemedis terkait bronkitis naik 100%; terkait asma naik 200% dalam 12 jam; terkait flu naik 400%, dan terkait rhinitis naik 200%.
Feni mengingatkan, pengobatan dan terapi ISPA dengan antibiotik dapat mengakibatkan resistensi kuman. Padahal, resistensi terhadap kuman merugikan pasien itu sendiri dalam jangka panjang, dan menyebabkan jutaan kematian di dunia.
“Maka, target penurunan PM 2.5 menjadi 5 µm/m³ (WHO 2021) pada tahun 2050 dapat mengurangi resistensi antibiotik sebesar 16,8% dan mencegah 23,4% kematian dini akibat resistensi antibiotik,” papar Feni.

Batasi Olahraga Luar Ruangan Jadi 30 Menit

Meski polusi mendera, masyarakat tetap berolahraga di kawasan Car Free Day Jalan Sudirman Jakarta, Minggu (20/8/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Tak mudah mengatasi polusi. Para dokter pernapasan pun menyarankan agar masyarakat membentengi diri mereka sendiri sebagai upaya prefentif.
“Kita harus memantau kualitas udara secara real time untuk bisa mengambil keputusan hendak beraktivitas di luar rumah atau tidak. Pasang aplikasi kualitas udara, contohnya ISPU milik KLHK,” kata Arif Santoso, Pelaksana Harian Ketua Umum PDPI.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia juga meminta masyarakat menghindari aktivitas berat di luar ruangan seperti berolahraga jika kualitas udara sedang tidak sehat (>150).
Dokter Spesialis Paru RS Pelni Erlang Samoedro memaparkan salah satu penelitian yang membandingkan plus minus berolahraga di luar ruangan saat udara berpolusi: lebih banyak manfaat atau dampak buruknya?
“Hasilnya, pada situasi itu, olahraga tidak menambah benefit kesehatan… Kerugiannya lebih besar. Jadi kalau mau olahraga di luar, penting untuk melihat waktu, lokasi, dan kadar polutan di tempat itu,” kata Erlang.
Ilustrasi bermasker di tengah polusi. Foto: Reuters/Soe Zeya Tun
PDPI juga menyarankan masker digunakan kembali di Jakarta meski pandemi telah berakhir. Dokter Feni menyarankan penggunaan masker N95 dengan tingkat filtrasi mencapai 99,4% atau masker bedah dengan filtrasi 87,3%.
Menurut Feni, pemilihan jenis masker itu telah didasarkan pada penelitian tahun 2018 terhadap 17 jenis masker yang bisa melindungi pernapasan dari abu vulkanik.
“N95 itu kebocorannya paling kecil, 9%,” tutup Feni.
Pekerja melintas di pelican crossing di kawasan perkantoran Sudirman, Jakarta, Rabu (26/4/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten