Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Ingatan akan tragedi jatuhnya pesawat Lion Air PK LKP nomor JT 610 di perairan Karawang, 26 Oktober 2018, tentu masih amat melekat. Pesawat Boeing yang diterbangkan Pilot Bhavye Suneja dan kopilotnya, Harvino, jatuh di ketinggian 3.000 kaki.
ADVERTISEMENT
Dari Bandara Soekarno-Hatta, pesawat itu harusnya bertolak ke Bandara Depati Amir, Pangkalpinang. Nahas, pukul 06.32 WIB, pesawat dinyatakan hilang kontak dan jatuh, menewaskan 189 penumpang dan awak.
Setahun berlalu, penyebab jatuhnya pesawat masih belum bisa dipastikan. Saat itu, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) masih menginvestigasi CVR Black Box yang ditemukan Basarnas di dasar laut.
Kini, penyebab pasti kecelakaan perlahan terungkap. Kepala Sub Komite Investigasi Keselamatan Penerbangan KNKT, Kapten Nurcahyo Utomo, mengatakan, terdapat kerusakan pada bagian Manuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) pesawat.
Minimnya informasi yang seharusnya disampaikan Boeing ini membuat pilot kesulitan mengatasi kerusakan MCAS di dalam pesawat. Ini menyebabkan awak panik dan salah mengambil langkah.
"Pertama, saat desain dan sertifikasi dibuat berbagai asumsi terkait reaksi pilot terhadap kerusakan MCAS, asumsi ini sudah dibuat berdasarkan ketentuan berlaku, namun demikian ada beberapa hal yang tidak sesuai jadi asumsinya pilot akan bereaksi dengan memberikan trim yang cukup, tetapi ternyata itu tidak terjadi," kata Nurcahyo saat konferensi pers di Kantor KNKT, Gambir, Jakarta, Jumat (25/10).
ADVERTISEMENT
Menurutnya, Pihak Boeing hanya mengandalkan satu sistem sensor MCAS pada pesawat. Bila sensor rusak, tidak ada sistem lain yang mem-back up. "Sehingga menyulitkan ketika MCAS aktif mereka tidak bisa mengenali sistem ini apa, karena tidak mengenali MCAS ini apa," tambah dia.
Atas human error ini, KNKT memberikan tiga rekomendasi kepada Lion Air dan enam rekomendasi untuk Boeing. Meski tak menyebutkannya secara rinci ke publik, namun, Nurcahyo menuturkan, rekomendasi untuk Lion Air berkaitan dengan pengelolaan manajemen permasalahan. Sementara untuk pihak Boeing terkait asesmen atau pengecekan desain baru.
"(Sementara untuk) Dirjen Perhubungan Udara terkait pengawasan bahwa prosedur yang dimiliki operator pesawat udara, dan bengkel perawatan pesawat perlu ditingkatkan pengawasannya supaya bisa terimplementasi dengan baik," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Menanggapi ini, Corporate Communications Strategic of Lion Air Group, Danang Mandala Prihantoro, mengatakan, temuan KNKT itu akan dikaji agar peristiwa serupa tak terulang.
"Penting bagi kami untuk menentukan akar dari penyebab dan faktor pendukung dari kecelakaan itu untuk segera melakukan perbaikan, untuk memastikan kecelakaan tidak terjadi lagi," kata Danang.
Hasil laporan ini juga mendapat apresiasi dari Boeing. Presiden dan CEO Boeing, Dennis Muilenburg, menghargai fakta-fakta yang ditemukan lembaga tersebut.
Dennis memastikan Boeing akan mengikuti rekomendasi keselamatan KNKT untuk meningkatkan keselamatan pesawat 737 MAX.
"Para engineer kami tengah bekerja bersama Federal Aviation Administration (FAA) Amerika Serikat dan para regulator lainnya dari seluruh dunia untuk mengembangkan pembaruan perangkat lunak dan perubahan lainnya, dengan mempertimbangkan informasi dari hasil investigasi KNKT," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Berikut 9 faktor lengkap yang berkontribusi dalam jatuhnya lion air:
1. Asumsi terkait reaksi pilot yang dibuat pada saat proses desain dan sertifikasi pesawat Boeing 737-8 (MAX), meskipun sesuai dengan referensi yang ada ternyata tidak tepat.
2. Mengacu asumsi yang telah dibuat atas reaksi pilot dan kurang lengkapnya kajian terkait efek-efek yang dapat terjadi di cockpit, sensor tunggal yang diandalkan untuk MCAS dianggap cukup dan memenuhi ketentuan sertifikasi.
3. Desain MCAS yang mengandalkan satu sensor rentan terhadap kesalahan.
4. Pilot mengalami kesulitan melakukan respon yang tepat terhadap pergerakan MCAS yang tidak seharusnya karena tidak ada petunjuk dalam buku panduan dan pelatihan.
5. Indikator AOA DISAGREE tidak tersedia di pesawat Boeing 737-8 (MAX) PK-LQP, berakibat informasi ini tidak muncul pada saat penerbangan dengan penunjukan sudut AOA yang berbeda antara kiri dan kanan, sehingga perbedaan ini tidak dapat dicatatkan oleh pilot dan teknisi tidak dapat mengidentifikasi kerusakan AOA sensor.
ADVERTISEMENT
6. AOA sensor pengganti mengalami kesalahan kalibrasi yang tidak terdeteksi pada saat perbaikan sebelumnya.
7. Investigasi tidak dapat menentukan pengujian AOA sensor setelah terpasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan dilakukan dengan benar, sehingga kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi.
8. Informasi mengenai stick shaker dan penggunaan prosedur non-normal Runaway Stabilizer pada penerbangan sebelumnya tidak tercatat pada buku catatan penerbangan dan perawatan pesawat mengakibatkan baik pilot maupun teknisi tidak dapat mengambil tindakan yang tepat.
9. Beberapa peringatan, berulangnya aktivasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC tidak terkelola dengan efektif. Hal ini diakibatkan oleh situasi-kondisi yang sulit dan kemampuan mengendalikan pesawat, pelaksanaan prosedur non-normal, dan komunikasi antar pilot, berdampak pada ketidakefektifan koordinasi antar pilot dan pengelolaan beban kerja. Kondisi ini telah teridentifikasi pada saat pelatihan dan muncul kembali pada penerbangan ini.
ADVERTISEMENT