Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Tes Wawancara: Calon Dewas KPK Benny Mamoto Dicecar soal Kasus Sambo
19 September 2024 12:31 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Sebanyak 10 calon Dewas KPK menjalani seleksi wawancara bersama panitia seleksi (Pansel) KPK dan dua orang pewawancara tamu sebagai panelis, di Kemensetneg, Jakarta Pusat, Kamis (19/9).
ADVERTISEMENT
Dua orang pewawancara tamu tersebut adalah Wakil Ketua KPK 2015–2019 Laode Muhammad Syarif dan guru besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Ningrum Natasya Sirait.
Salah satu calon Dewas KPK yang mengikuti seleksi wawancara hari ini adalah Ketua Harian Kompolnas Irjen Pol (Purn.) Benny Mamoto.
Dalam wawancara tersebut, Benny sempat dicecar oleh panelis terkait kasus yang menjerat Ferdy Sambo. Kasus itu yakni pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di Duren Tiga pada Juli 2022 silam.
Kasus tersebut awalnya sempat disebut sebagai tembak menembak. Belakangan, terungkap bahwa hal tersebut merupakan skenario rekayasa untuk menutupi pembunuhan berencana. Otaknya adalah Ferdy Sambo selaku Kadiv Propam Polri.
Benny Mamoto selaku Ketua Harian Kompolnas tak terlepas dari sorotan. Sebab, ia termasuk yang menyebarkan informasi awal soal tembak menembak. Publik kemudian menilai Kompolnas membela institusi Polri.
ADVERTISEMENT
Salah satu panelis, Laode Syarif, pun mempertanyakan sikap Kompolnas saat itu dalam menangani kasus Ferdy Sambo tersebut.
"Kedua, sikap Kompolnas terhadap kasus Pak Sambo. Mengapa seperti itu saya katakan, ada pembelaan terhadap polisi," ujar Laode kepada Benny dalam wawancara di Kemensetneg, Jakarta Pusat, Kamis (19/9).
Benny pun menjelaskan bahwa Kompolnas tidak punya kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Menurut dia, informasi yang diterima Kompolnas hanya berasal dari pihak Polri.
"Kompolnas memiliki kewenangan yang sangat terbatas. Berbeda dengan Komnas HAM. Punya kewenangan penyelidikan. Sehingga apa yang diterima oleh Kompolnas adalah dari Polri, tanpa kami bisa melakukan counter penyelidikan. Jadi kalau ada Polri menyampaikan kepada kami sesuatu yang tidak benar, ada risiko kita ambil," jawab Benny.
ADVERTISEMENT
"Dalam kasus Sambo, sekian hari tidak ada berita, tidak ada statement dari Humas Polri, media mengejar ke kami. Akhirnya kami inisiatif turun," jelasnya.
Ia pun menekankan ada risiko yang mesti diambil oleh Kompolnas saat menerima informasi yang tidak benar dari Polri. Saat pihaknya turun langsung, Kompolnas sempat diajak untuk mengecek TKP pembunuhan tersebut.
"Kami dipaparkan secara detail. Bahkan kami diajak ke TKP. Ini hasil rekonstruksi. Menunjukkan bahwa terjadi tembakan. Ternyata itu semua rekayasa yang dibangun untuk meloloskan Sambo," ungkapnya.
"Berdasarkan bahan itulah kami sampaikan ke media. Risikonya ya tadi sama karena dianggap membela," lanjut dia.
Karena keterbatasan wewenangnya, sambung dia, Kompolnas harus menerima risiko dicap sebagai juru bicara Polri. Ia pun menyadari risiko tersebut.
ADVERTISEMENT
"Kemudian yang berikutnya dalam konteks rilis ke media. Sekali lagi, karena keterbatasannya wewenang kami, kami memang sering dicap juru bicara polri. Itu risiko," ucap dia.
"Karena tidak mungkin kami menyampaikan sesuatu yang di luar yang kami terima dari Polri. Bahwa nanti itu salah, malah lebih fatal," pungkasnya.