Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sepuluh tahun berkarier di Indonesia Corruption Watch (ICW) membuat stempel pegiat antikorupsi melekat di diri Teten Masduki . “Separuh hidup saya memang di dunia gerakan,” ucapnya mengawali perbincangan hangat pada Jumat (21/2) sore itu di Kantor Kementerian Koperasi dan UMKM, Jakarta.
Di dunia gerakan, khususnya gerakan antikorupsi, prestasi Teten cukup mentereng. Selain menjadi Ketua ICW sejak tahun 1998 hingga 2008 dan membongkar kasus suap Jaksa Agung Andi M. Ghalib, ia juga dianugerahi Suardi Tasrif Award pada 1999 dan Ramon Magsaysay Award pada 2005.
Pada 2012, Teten mencoba terjun ke dunia politik dan pemerintahan dengan mencalonkan diri bersama kader PDIP, Rieke Dyah Pitaloka, dalam Pemilu Gubernur Jawa Barat 2013. Ia merasa gerakan civil society pada masa itu sudah stuck untuk membuat perubahan lebih besar.
“Agenda antikorupsi bisa efektif kalau ada orang tua yang antikorupsi di dalam pemerintahan. Tapi syaratnya itu dia harus pemegang kekuasaan tertingginya, apakah dia walikota atau gubernur dan sebagainya,” ujar Teten.
Meski kalah dalam kontestasi kepala daerah, pintu masuk Teten ke dunia pemerintahan justru makin terbuka. Kedekatannya dengan PDIP di masa pemilu membuat ia lebih dekat dengan Joko Widodo yang dikenalnya sejak penghargaan Bung Hatta Award pada 2010.
Teten pun masuk ke dalam Tim 11 yang berjasa memenangkan Jokowi di Pemilu Presiden 2014. Sejak itu ia tak pernah jauh dari lingkaran Istana. Pada 2015, ia diangkat menjadi Kepala Kantor Staf Kepresidenan menggantikan Luhut Pandjaitan. Meski dicopot pada 2018 lalu digantikan oleh Moeldoko, Teten dikabarkan mendapat penugasan khusus dari Jokowi sebelum akhirnya diangkat menjadi Menteri Koperasi dan UMKM pada Oktober 2019.
“Orang di luar menganggap ada aktivis di dalam Istana lalu semua bisa beres, nggak begitu. Kecuali kalau cuman sampai bikin konferensi pers lalu besok ada beritanya,” kata Teten menanggapi harapan publik yang begitu besar kepadanya.
Kepada jurnalis kumparan, Aryo Bhawono dan Dwi Herlambang, Teten bercerita pertarungan yang ia hadapi sendiri di dalam pemerintahan, polemik revisi UU KPK tahun lalu, hingga Omnibus Law. Berikut kutipan perbincangannya.
Sebagai mantan aktivis antikorupsi lalu kini berada di pemerintahan, seperti apa pergolakan di dalam?
Saya lama... bahkan mungkin separuh hidup saya memang di dunia gerakan. Jadi nggak mudah mengubah itu. Memang ada hal berbeda di dalam pemerintahan itu. Kalau di dunia aktivis, biasanya lebih fokus ke satu isu, apakah isu lingkungan, antikorupsi, HAM, perempuan, anak, dan sebagainya. Sementara di pemerintahan ini kan, apalagi kemarin di Istana, itu kan ya harus mempertimbangkan banyak hal. Harus komprehensif, lintas sektoral, dan gak bisa mengambil keputusan hanya dari satu sisi satu aspek karena akan ada dampak ke aspek yang lebih luas. Dengan kata lain helicopter view yang dipakainya, banyak yang harus kita urus.
Orang-orang mantan aktivis masuk di pemerintahan itu kan minoritas, sementara untuk mengambil satu kebijakan itu wah lintas sektoral. Ada partai politik, ada birokrasi, dan kekuasaan di pemerintahan itu cabangnya juga banyak. Coba bayangkan, seorang aktivis yang masih langka jumlahnya masuk ke situ (pemerintahan), kan gak mudah. Jejaringnya sangat kecil.
Jadi menurut saya, saya sering ngobrol ke temen-temen aktivis, segera masuk di seluruh sisi dan seluruh level. Karena pengalaman saya, itu gak mudah. Di pemerintahan itu juga harus bertarung gagasan, bertarung ide, bahkan harus dikontrol sampai betul-betul satu gagasan itu jalan.
Nah itu kan gak mudah kalau kita hanya 1-2 orang untuk sebuah kebijakan yang membutuhkan pendekatan yang komprehensif, melibatkan banyak kelembagaan, pemerintahan berlapis-lapis, DPR, dan lain sebagainya. Sementara kan orang di luar menganggap, ‘Wah ada aktivis (di Istana) itu semua bisa beres’. Nggak begitu, kecuali kalau hanya sampai bikin press conference, ya gampanglah, besok ada berita. Yang kita urus kan harus ada output-nya, kebijakan, dan bagaimana mengontrol kebijakan itu bisa berjalan.
Makanya kalau ada aktivis di pemerintahan, baru 1-2 ekor aja, jangan langsung ditembakin terus menerus. Jangan berpikir jangka pendek seperti itu. Sementara usaha-usaha besar korporasi, ya naruh orang di mana-mana, di partai, parlemen, dan pemerintahan. Tentu ya mereka sesuai dengan kepentingan bisnisnya.
Nah civil society kan dari dulu selalu menjaga jarak di luar (pemerintahan). Nggak apa-apa sebagai pressure group juga bisa. Tapi sebagai pressure group ya memang harus punya daya tekan, harus punya penetrasi, dan metodologi gerakannya harus terus diperbaharui. Kalau jurus yang sama terus menerus, ya lawan juga belajar cara mematikan jurus kita itu.
Saya melihat, misalnya dalam perkembangan terakhir pasca demonstrasi 4-11 dan 212, ketika isu asing aseng lalu isu anti-Islam itu betul-betul menghegemoni politik nasional, tenggelam semua isu-isu agenda reformasi itu. Harus diakuilah dalam demokrasi itu semua orang teriak. Yang paling kenceng dan yang paling lama (teriak) itu yang pasti akan direspons. Jadi kalau misalnya kita mau teriak isu HAM, teriak isu lingkungan, ya gak boleh kalah dengan aksi 4-11 dan 212 yang segede itu.
Saya tahu politik Indonesia karena langsung masuk Istana dan saya di samping Presiden kan. Partai politik itu juga nggak ngerespons isu perubahan sosial, tapi isu ‘kanan’ sekarang yang direspons. Ketakutan sekarang semua dengan radikalisme itu. Nah coba bisa nggak ngegeser bandul isu itu? Tapi kalau hanya sampai untuk dapet berita besok hari ada di halaman berapa gtu, yaa itu show aja.
Apa pertimbangan Anda ketika memutuskan masuk ke dalam dunia politik pemerintahan?
Saya kan lama di civil society, nah saya udah ngelihat waktu itu udah stuck-lah gerakan civil society itu kalau kita mau membuat perubahan yang lebih besar. Saya udah tahu lah kira-kira perubahan yang bisa didorongkan oleh civil society itu sejauh mana, kalau memang mau bikin perubahan yang lebih besar itu nggak bisa sendirian. Tapi waktu itu, udahlah saya mau pelihara domba aja.
Jadi awalnya masuk ke politik itu gara-gara temen-temen wartawan juga dorong saya maju di Jawa Barat. Itu aja. Karena gak disiapkan dengan baik, kan 3 minggu udah harus mulai pencalonan, dan saya juga nggak mempersiapkan dengan benar untuk masuk ke politik. Saya waktu itu, ya udah lah eksperimen juga itu.
Sebenarnya di gerakan antikorupsi, ada studi tentang korupsi di pemerintahan menyebut agenda antikorupsi bisa efektif kalau ada orang tua yang anti korupsi di dalam pemerintahan. Syaratnya itu dia harus pemegang kekuasaan tertingginya, apakah dia walikota, gubernur, dan sebagainya. Waktu itu konsepnya ya harus didorong ini orang-orang baik untuk masuk ke dalam pemerintahan. Tapi harus jadi pemegang kekuasaan tertingginya. Nah jadi saya ada pembenaran itu lah, maka saya coba masuk.
Waktu itu memang kebetulan PDIP ngajak, dan bukan berarti saya masuk PDIP waktu itu, tapi saya ditawarkan koalisi civil society dengan partai politik. Tapi setelah masuk musim kampanye, nggak ada civil society-nya yang bantuin. Nggak ada. Ya itu memang civil society selalu ingin jaga jarak dalam politik. Jadi saya juga gak dapet topangan dari civil society-nya di Jawa Barat. Ya temen-temen aja, temen-temen ICW. Dari pembiayaan juga gak punya duit, dapet remeh temeh tapi ya jalan aja. Nah kalah lah, kalah tipis lah kalau lihat waktunya. Kalau dari survei sih terus membaik, tapi kan waktu untuk saya terlalu pendek.
Saya berkenalan dengan Pak Jokowi ketika kita mengusulkan Bung Hatta Anti Corruption Award. Salah satu pemenang di periode itu Pak Jokowi sama Pak Herry Zudianto (Walikota Yogyakarta 2001-2011). Dari situ sebenarnya saya udah mulai kenal Pak Jokowi karena waktu itu si pemenang Bung Hatta Anti Corruption Award itu dibawa diskusi di berbagai tempat untuk menginspirasi daerah soal reformasi birokrasinya.
Jadi ya akhirnya, saya salah satu dan mungkin ya banyak lah yang akhirnya ngedorong Pak Jokowi masuk Jakarta. Setelah itu saya masuk Tim 11, waktu Pak Jokowi masuk pilpres, ya saya ikut jadi tim. Saya kira wajar, nggak ada rahasia.
Cukup banyak mantan aktivis kini berada di pemerintahan, sejauh mana perannya?
Jangan nanya gue, kalian aja yang menilai. Tapi jangan lihat kasus, lihat kebijakan-kebijakannya. Kalau per kasus ya susah, karena kita gak nanganin kasus. Coba lihat kebijakannya, sekarang misalnya perhutanan sosial. Itu agenda dari tahun berapa itu? Dari tahun ‘60an gak jalan, baru sekarang jalan.
Lalu agenda misalnya social welfare. Dulu masih kasih beras busuk ke rakyat, sekarang dananya ditransfer langsung ke situ. Lalu Dana Desa, sekarang orang miskin semua sudah dikasih negara mulai dari kesehatan, pendidikan, segala macem. Dan itu udah masuk di dalam mekanisme APBN. Kan salah satu prasyarat untuk jadi negara maju, program kemiskinannya harus udah masuk dalam sistem. Nah itu lewat sistem-sistem jaminan sosial.
Bagaimana dengan kebijakan antikorupsi?
Korupsi itu menurut saya jangan dilihat dari kasus. Kalau kasus, kita harus lihat juga bahwa korupsi itu ada yang disebut dengan state capture, disalokasi anggaran. Anggaran kan disusun oleh orang, kekuatan politik, lobi, segala macem, berbagai kepentingan, kan akan mempengaruhi anggaran ini dan untuk apa aja. Anggaran untuk rakyat ini yang harus besar.
Jadi kalau kita ngomong antikorupsi hanya dari hukum, itu kan berarti hanya ngelihat di implementasi anggaran. Padahal korupsi itu sudah dimulai dari penyusunan anggaran. Yang harusnya untuk biaya pendidikan lebih besar, malah nanti mungkin beli senjata atau pengeluaran yang tidak produktif. Nah itu yang harus kita kawal.
Jadi makanya saya di sini, ini lihat aja di sini kan anggaran untuk UMKM kan kecil banget. Nah ini Pak Jokowi udah minta tolong untuk dilihatin lagi anggarannya. Saya bilang, ‘Pak kalau saya mungkin nggak harus membesarkan biaya birokrasinya, tapi pembiayaan untuk modal kerja, modal investasi, itu yang harus digedein’. Karena itu yang saya kira kita harus kawal. Saya tertarik di sini karena saya kira kemiskinan kan problem dari korupsi itu, bukan hanya semata-mata rakyatnya memang bodoh, rakyat tidak berdaya. Tapi juga masalah pengalokasian resources negara. Termasuk anggaran, kebijakan.
Terkait Revisi UU KPK pada September tahun lalu, banyak yang akhirnya kecewa juga pada Anda. Bagaimana pandangan Anda terkait polemik tersebut?
Kalau coba dipahami itu kan usulan revisi UU KPK itu mulai dari tahun pertama. Yang mengusulkan kan kita tahu siapa, saya kira dari semua partai politik di parlemen itu kan mengusulkan. Sebenarnya revisi UU KPK itu kalau nggak dijagain, termasuk kalau Pak Jokowi setuju, dari awal juga udah direvisi. Kalau pun kemudian di akhir-akhirnya setuju direvisi, saya kira ada dinamika politik yang mungkin juga harus dipahami.
Kalau terus-terusan ninju, pertahanan itu juga kan ada jebolnya juga kan. Jadi menurut saya dinamika itu yang harus dipahami. Faktornya bukan hanya pihak-pihak yang kita tahu dari dulu juga banyak pihak yang tidak setuju dengan KPK. Tapi juga memang ada dinamika di internal KPK dan dinamika di masyarakat kan juga berubah. Dulu KPK diganggu sedikit aja, semua orang turun. Belakangan kan tidak.
Bukan berarti saya setuju atau ingin membenarkan revisi UU KPK itu, saya kira tidak. Tapi ini kan ada situasi politik tertentu yang memang harus dilihat bahwa KPK itu ada di dalam realitas politik. Dari dulu yang selalu kita khawatirkan, KPK ini kalau manajemen politiknya tidak hati-hati, tidak memperhitungkan kelembagaannya, memang akan terjadi seperti ini. Karena loop hole yang paling besar itu adalah KPK ini diangkat oleh mekanisme politik, undang-undangnya bisa direvisi kapan aja oleh DPR, pengangkatan komisionernya juga oleh DPR. Jadi kalau KPK-nya perang terus sama lembaga yang mengangkatnya, pasti akan dipilih orang yang tidak akan memerangi (DPR), kan sesederhana itu. Sesimpel itu.
Kemarin itu kan kalau saya tanya temen-temen aktivis, kalian punya lobi ke siapa. Ya lobi satu-satunya ke Pak Jokowi. Karena itu wajar kemarahannya kemudian ke Pak Jokowi karena berharap banyak ke Pak Jokowi untuk tidak menyetujui. Tapi kan Pak Jokowi ada di dalam wilayah politik juga.
Selama tiga tahun Anda berada di Kantor Staf Presiden, apa program utama saat itu?
Salah satu agenda Pak Jokowi kan perhutanan sosial. Itu pijakan karena sekarang itu gap kepemilikan tanah ini udah luar biasa. Ada satu yang punya jutaan hektar, ada jutaan yang nggak punya tanah. Makanya waktu itu saya diminta oleh Pak Jokowi untuk di KSP, untuk mengontrol kebijakan itu, reforma agraria.
Reforma agraria itu ada dua program, satu perhutanan sosial dengan mendistribusikan tanah 2 hektar per KK. Konsepnya dipinjemin kayak HGU perusahaan tapi ini untuk perorangan. Dialokasikan 12,7 juta hektare untuk. Terus yang kedua redistribusi tanah ke masyarakat, 9 juta hektare.
Sebab kan akses terhadap lahan itu, menurut saya, dalam ekonomi itu sangat penting tapi itu gak terlalu tenar, lebih tertarik heboh-heboh KPK itu. Perhutanan sosial itu saya kawal, makanya saya tarikin tuh temen-temen reforma agraria untuk masuk ke Istana semua. Yang pegang agenda itu kan civil society, itu dimasukin di agenda kampanye, terus saya memastikan itu masuk di dalam program Kementerian LHK dan ATR-BPN.
Saya di KSP waktu itu membentuk tim yang sangat kuat, Abetnego Tarigan (eks Direktur Walhi) salah satunya. Rakyat seneng banget sekarang, rakyat dapet 2 hektar selama 35 tahun bisa diperpanjang lagi 35 tahun. Ngebina ini kan saya dengan temen-temen itu, dahsyat itu perubahan ekonominya.
Bagaimana perjalanan untuk merealisasikan program tersebut?
Sekarang selama ini kan pengusaha besar begitu mudah mendapatkan lahan. Nah sekarang mau dibagiin ke rakyat, itu kan begitu susah. Menurut saya itu perlu kerja-kerja yang gede. Kita ada berapa gelintir orang yang bisa ngerjain itu? Itu kan lintas sektoral. Gak mudah. Diimplementasinya, Pak Jokowi juga marah ketika udah ada yang dikasih SK sebagai penerima perhutanan sosial, tapi begitu ke lapangan ditolak oleh Perhutani dan dibilang gak ada tanahnya. Sempat Pak Jokowi marah ke direktur Perhutani itu.
Jadi gak bisa gampang gitu lho. Challenge-nya banyak. Jadi kalau kita hanya 1-2 orang di situ (Istana) bagaimana… Saya tahu persis, perusahaan yang gede-gede itu punya orang di dalem Perhutani, di birokrasi. Makanya Pak Jokowi kan terus menerus bilang soal program penyederhanaan birokrasi, perizinan, terus-terus teriak. Ini gak mudah, banyak kepentingan. Kalau disederhanakan birokrasi itu kan peluang korupsinya hilang.
Tapi kemudian sekarang muncul Omnibus Law yang dikhawatirkan menurunkan pendapatan masyarakat karena upah minimum yang diterapkan bukan lagi Upah Minimum Kota?
Misalnya begini, di beberapa daerah itu yang harus dipikirkan kan penciptaan lapangan kerja. Tapi ada daerah-daerah, karena pengupahannya diberikan bahkan di level bupati, setiap pilkada itu upah dinaikin tuh sampai tidak masuk akal. Akhirnya industrinya kabur. Akhirnya banyak yang mengusulkan ke pengupahan ke pusat lagi.