Titi Anggraini Desak RUU Pemilu Segera Dibahas: Pileg Campuran-PT Pilpres 35%
19 Mei 2025 18:10 WIB
·
waktu baca 3 menitTiti Anggraini Desak RUU Pemilu Segera Dibahas: Pileg Campuran-PT Pilpres 35%
Dosen Pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mendesak RUU Pemilu segera dibahas. Katanya, agar simulasinya menjadi efektif dan persiapan menjelang Pemilu mendatang matang.kumparanNEWS



ADVERTISEMENT
Dosen Pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mendesak RUU Pemilu segera dibahas. Katanya, agar simulasinya menjadi efektif dan persiapan menjelang Pemilu mendatang matang.
ADVERTISEMENT
“Makanya harus dibahas sekarang RUU Pemilunya agar kita sempat simulasi. Jangan sampai nanti di ujung simulasi terburu-buru, sistemnya tidak matang,” ujarnya dalam diskusi di DPP Partai Demokrat, Jakarta Pusat pada Senin (19/5).
Adapun dalam RUU Pemilu, Titi mewakili Perludem mengusulkan beberapa perubahan. Salah satunya adalah sistem Pemilu campuran antara terbuka dan tertutup.
“Kelembagaan partai juga kuat, tapi pemilih juga dekat dengan wakilnya. Jadi, sistem pemilu campuran menggabungkan antara karakter memilih langsung caleg melalui satu dapil, satu wakil, atau first pass the post, single member district seperti pemilu di Amerika Serikat. Dengan kombinasi sistem proporsional tertutup atau close list,” ujarnya.
“Jadi kursi di provinsi itu terbagi antara yang dipilih melalui first pass the post, memilih langsung kandidat, satu dapil satu wakil dengan memilih wakil-wakil partai melalui sistem proporsional tertutup. Jadi kita kombinasikan kelebihan-kelebihannya dan mengurangi kelemahan-kelemahannya,” tambah dia.
ADVERTISEMENT
Ia pun mencontohkan dua sistem pemilu campuran, seperti di Italia dan Jerman.
“Italia menganut paralel di mana antara yang single member district atau first pass the post tidak terhubung dengan yang proporsional tertutup,” ujarnya.
“Ada juga jerman, itu kursi parlemennya dibagi dua, 598 ada yang 299 dipilih dengan first pass the post, single member district, satu dapil satu calon, ada yang 299 dipilih dengan proporsional tertutup,” sambungnya.
Selain itu, ia juga menyarankan agar Pemilu Nasional untuk pemilihan capres-DPR RI dengan Pemilu Daerah yang memilih Kepala Daerah-DPRD diberi jarak 2 tahun.
“Kenapa kami mau ada jeda dua tahun? Supaya tidak ada borong kekuasaan ketika model pemilunya seperti saat ini. Kalau di tahun yang sama pemaksaan koalisi nasional terhadap koalisi nasional akhirnya partai kehilangan identitasnya,” ucapnya.
“Selain itu adalah agar ada korelasi antara pencalonan kepala daerah dengan penguatan kelembagaan partai di daerah. Serta untuk memudahkan rasionalitas pekerja penyelenggara pemilu, menciptakan pemilih kritis, dan memberikan ruang evaluasi secara memadai,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, ia juga mengusulkan agar ambang batas pencalonan kepala daerah mengikuti presiden yang sudah diputuskan MK sebanyak 0 persen.
“Kepala daerah kalau di nasional presiden dihapus kenapa di kepala daerah harus dipertahankan padahal eksekutif nasional adalah referensi untuk eksekutif daerah,” ucapnya.
Ia juga mengatakan bahwa batasan ambang batas pencalonan (presidential threshold) atau koalisi pencalonan presiden-kepala daerah maksimal 35 persen.
“Mengapa begitu? Pertama sebenarnya partai itu butuh dukungan signifikan di parlemen. Presiden itu perlu dukungan signifikan di parlemen, bukan dukungan kursi super mayoritas,” ucapnya.
“Dan 35 persen adalah dipilih dengan pertimbangan critical mass 30 persen minimal untuk ikut mempengaruhi pengambilan keputusan,” tandasnya.