Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Titi soal Kotak Kosong: Ada Upaya Ciptakan Calon Tunggal, Amankan Kemenangan
11 September 2024 21:00 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Peneliti Pemilu di Fakultas Hukum UI, Titi Anggraini, bicara terkait maraknya di sejumlah daerah yang paslonnya menghadapi kotak kosong. Tercatat ada 41 daerah yang calon kepala daerahnya hanya satu pasang sehingga akan melawan kotak kosong.
ADVERTISEMENT
Titi mengatakan, KPU harus membuat PKPU tentang ketentuan teknis dalam Pilkada ulang jika calon tunggal kalah dari kotak kosong. Ini penting agar tak jadi masalah di kemudian hari.
"Saya meyakini pasti akan ada rekonfigurasi koalisi pencalonan. Partai pasti enggan mencalonkan paslon yang sudah terbukti kalah dan tidak diterima pemilih," kata Titi kepada kumparan, Rabu (11/9).
Titi menilai ada upaya untuk mempersulit calon yang maju secara perseorangan atau independen. Ini terlihat dalam Keputusan KPU No.1229/2024 yang dinilai tidak logis.
"Serta, syarat calon perseorangan yang sangat berat. Ditambah lagi perpanjangan pendaftaran yang tidak bisa optimal, akibat adanya aturan dalam Keputusan KPU No.1229/2024 yang tidak logis," ucap Titi.
Ada Upaya Menciptakan Calon Tunggal
ADVERTISEMENT
Menurut Titi, kondisi saat ini ada unsur kesengajaan. Ada upaya untuk menciptakan calon tunggal sehingga tak perlu menguras tenaga dalam memenangkan Pilkada.
"Selain bisa dikatakan memang ada upaya untuk sengaja menciptakan calon tunggal, dalam rangka menghindari kompetisi dan mengamankan kemenangan. Calon tunggal tidak mengenal identitas partai, hampir semua partai besar punya kader yang menjadi calon tunggal di Pilkada 2024," ujar Titi.
Titi lalu menceritakan bagaiman awalnya muncul calon tunggal. Ia menyebut, calon tunggal lahir untuk mengatasi kebuntuan dalam proses Pilkada. Ini pernah terjadi pada Pilkada 2015, rata-rata calon tunggal hanya didukung maksimal 3 partai politik.
"Namun, setelah Pilkada serentak tahun 2015, Pilkada calon tunggal bertransformasi menjadi jalan pintas, untuk mengamankan kemenangan dengan hegemoni petahana yang begitu kental," ungkap Titi.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, bagi Titi, Pilkada semestinya tak bersamaan dengan Pilpres dan Pileg. Hal ini dinilai agar tak terjadi kepentingan koalisi Pilpres dalam pencalonan Pilkada.
"Kalau semua pra syarat itu tersedia, barulah fenomena maraknya calon tunggal dianggap sebagai bagian dari dinamika dalam berdemokrasi," pungkasnya.
Live Update