TKI Asal Cilacap Korban Penyiksaan di Hong Kong Tuntut Kompensasi Rp 1,8 M

7 Oktober 2022 12:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Cilacap, Kartika Puspitasari, meminta kompensasi di pengadilan Hong Kong pada Kamis (6/10). Kartika meminta ganti rugi dari majikannya atas penyiksaan yang dia alami saat menjadi Asisten Rumah Tangga (ART) di Hong Kong.
ADVERTISEMENT
Kasus tersebut membanjiri pemberitaan dan memicu protes sekitar satu dekade lalu di Hong Kong maupun Indonesia. Kedua majikannya telah dihukum dan dipenjara setelah diadili pada 2013. Mereka tidak hadir dalam pengadilan terbaru untuk gugatan perdata ini.
"Saya masih merasakan trauma berat yang membuat saya rentan secara emosional, saya sering mengalami mimpi buruk dan gemetar setiap kali saya melihat orang yang mirip dengan mantan majikan saya," ungkap Kartika dengan bantuan penerjemah saat konferensi pers di Hong Kong, dikutip dari AFP, Jumat (7/10).
"Saya kehilangan kepercayaan diri karena bekas luka yang terlihat di tubuh saya, yang masih perih dan nyeri," lanjut dia.
Ilustrasi ART. Foto: Odua Images/Shutterstock
Kartika mengaku terluka secara fisik dan mental akibat perlakuan majikannya. Tetapi, wanita yang kini berusia 40 tahun itu kembali ke rumah tanpa kompensasi pada 2014. Padahal, Kartika bekerja selama dua tahun dengan upah bulanan yang tidak pernah dibayarkan.
ADVERTISEMENT
Berkat bantuan para aktivis, dia bersaksi di pengadilan Hong Kong. Kartika menuntut ganti rugi sebesar HKD 930 ribu (Rp 1,8 miliar). Permintaan ganti rugi semacam itu jarang dilakukan oleh TKI.
Hong Kong menaungi sekitar 340.000 pekerja migran dalam sektor domestik. Mayoritasnya berasal dari Filipina dan Indonesia. Sebagian pekerja migran lainnya datang dari Nepal, India, dan Pakistan. Mereka tidak menerima hak-hak dasar seperti upah minimum.
Sistem negara tersebut mengharuskan pekerja domestik untuk tinggal di rumah majikan mereka. Aturan itu diyakini membuat mereka lebih rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi. Majikan pun hanya membayarkan gaji bulanan minimum HKD 4,730 (Rp 9,1 juta).
Ilustrasi deportasi. Foto: Shutter Stock
Aktivis menyamakannya dengan perbudakan modern. Kendati demikian, para korban jarang melaporkan pengalaman mereka karena tidak mampu menuntut ganti rugi. Terlebih, visa mereka dapat berakhir bersama kontrak kerja selama menjalani proses hukum.
ADVERTISEMENT
Selama bekerja, korban biasanya kekurangan makanan dan istirahat yang layak. Situasi itu kemudian diperburuk oleh pandemi corona karena majikan memiliki alasan untuk menahan mereka di rumah.
"Pada saat itu, saya sangat putus asa. Saya tidak punya teman, tidak bisa menghubungi siapa pun dan disiksa setiap hari," ujar Kartika yang berlinang air mata.

Kasus Kartika

Ilustrasi pengeroyokan. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
Kartika adalah warga asal Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Dia berangkat untuk menjadi ART di Hong Kong sejak 12 Juli 2010.
Kartika bekerja di rumah keluarga Tai Chi-wai (42) yang merupakan sales peralatan listrik dan istrinya, Catherine Au Yuk-shan (41), yang merupakan pegawai rumah sakit umum.
Selama dua tahun berturut-turut, pasangan tersebut berulang kali menyerang dan menyiksa Kartika. Dilansir Reuters, mereka memukulinya dengan rantai sepeda dan menyetrika kulitnya.
ADVERTISEMENT
Kartika mengatakan, dia juga pernah disuruh mengenakan popok sebelum diikat pada kursi selama lima hari. Dia ditinggalkan dalam kondisi seperti itu selama keluarga majikannya berlibur ke Thailand. Namun, hakim meyakini, sebagian kesaksiannya ini dilebih-lebihkan.
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
Tai dan Au turut melarang Kartika untuk menginjakkan kaki di luar rumah mereka. Tetapi, Kartika berhasil melarikan diri dan mengadu kepada Konsulat Jenderal RI di Hong Kong pada Oktober 2013. Pelaku lantas menghadapi persidangan pada 18 September 2013.
Ratusan pekerja domestik asing menggelar unjuk rasa di luar pengadilan tersebut. Mereka membawa spanduk bertuliskan 'Tuan dan Nyonya Setan'. Tai dan Au membantah segala tuduhan Kartika. Mereka mengatakan, Kartika memberikan kesaksian palsu.
Pengadilan kemudian menjatuhkan hukuman penjara 3 tahun dan 3 bulan terhadap Tai. Sementara itu, Au menerima hukuman penjara 5 tahun dan 6 bulan atas delapan tuduhan. Putusan itu didasarkan pada pertimbangan atas kondisi mereka yang memiliki anak.
ADVERTISEMENT
Pasangan tersebut harus membayar denda pula senilai HKD 120 ribu (Rp 174 juta saat itu). Denda itu belum meliputi hak-hak normatif yang tidak diterima Kartika selama bekerja 2 tahun di Hong Kong.
Kartika tidak memperoleh upah bulanan, tunjangan makan, dan tiket pesawat selama cuti–yang mencapai sekitar HKD 117 ribu (Rp 150 juta saat itu). Migrant Center lantas membuat tuntutan terhadap Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ilustrasi kekerasan. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Pihaknya menekankan, pemerintah melakukan tindak kriminal kepada warga bahkan sebelum Kartika mengalami tindak kejahatan di Hong Kong. Pasalnya, pemerintah tidak menyediakan lapangan kerja. Migrant Center menuntut SBY bertanggung jawab atas gaji Kartika.
Kelompok-kelompok hak migran lainnya juga mengkritik putusan pengadilan di Hong Kong. Salah satunya adalah Indonesia Migrant Workers yang merasa bahwa vonis bagi Tai dan Au terlalu ringan.
ADVERTISEMENT
"Hukumannya terlalu ringan. Pasangan itu melakukannya secara bersama-sama," tutur Wakil Ketua Indonesian Migrant Workers, Sringatin.
Pemerintah RI mengaku mengejar ancaman denda maksimal dan hak-hak normatif Kartika melalui tuntutan hukum perdata pada September 2013. Pihaknya bekerja sama dengan pemerintah Hong Kong untuk mengajukan ganti rugi atas penderitaan Kartika.
Sebulan kemudian, Hong Kong menaikkan gaji bagi TKI. Pekerja juga mendapatkan kenaikan tunjangan makan. Kenaikan itu diharapkan meningkatkan taraf hidup TKI. Sebab, biaya hidup di negara tersebut sangat tinggi dibandingkan dengan negara penempatan lainnya.