Tolak Kedatangan Rohingya, Hikmahanto Minta Kantor UNHCR di Jakarta Ditutup

12 Desember 2023 19:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi UNHCR. Foto: BalkansCat/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi UNHCR. Foto: BalkansCat/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pengamat hubungan internasional meminta kantor UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) di Jakarta ditutup. Permintaan ini muncul akibat datangnya ribuan orang Rohingya ke Aceh.
ADVERTISEMENT
Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi PBB yang diteken 26 negara pada 1951. Tidak ada kewajiban bagi Indonesia menampung para pengungsi baik dari Rohingya mau pun bukan.
"Saya minta UNHCR harus ditutup kantornya di Indonesia. Ini saya minta berulang-ulang. Kalau misalnya kita tidak tutup itu UNHCR maka masalah seperti ini akan terus berlanjut sampai kapanpun," jelas Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana saat diwawancarai pada podcast DipTalk kumparan.
Melihat dengan kacamata dari sisi kemanusiaan dan realitas yang ada di lapangan, Rektor Universitas Jenderal A. Yani ini menyebut penting bagi pemerintah untuk melihat ancaman kedaulatan yang ditimbulkan imigran Rohingya bila terus dibiarkan berlama-lama di Indonesia.
Sudah seharusnya, menurut Hikmahanto, UNHCR yang mengurusi masalah Rohingya — sesuai dengan fungsi mereka, untuk menangani isu-isu terkait pengungsi di dunia termasuk memberikan seseorang status 'pengungsi'.
ADVERTISEMENT
"Sudah sejak lama saya bilang sudahlah kantor UNHCR untuk men-screening orang-orang ini apakah dia pengungsi atau bukan — itu tutup di Indonesia," kata Hikmahanto.
Berkaca dari kasus kriminalitas yang ditimbulkan etnis Rohingya saat ditampung di Malaysia, Hikmahanto mengimbau pemerintah untuk mengambil langkah antisipasi sebelum itu terjadi juga di Indonesia.
Sebab, sambung Hikmahanto, etnis Rohingya yang tiba di Indonesia sudah membuat rakyat tidak nyaman — apalagi warga di Aceh.
Sejumlah imigran etnis Rohinga kembali mendarat di pantai desa Ie Meule, kecamatan Suka Jaya, Pulau Sabang, Aceh, Sabtu (2/12/2023). Foto: Ampelsa/Antara Foto
Keberadaan kantor UNHCR di Indonesia, menurut dia, adalah salah satu faktor pendorong mengapa banyak etnis Rohingya memutuskan berkunjung ke sini.
"Bahkan yang dari Timur Tengah datang pakai paspor resmi ya, lalu kemudian paspornya disobek ini hilang nanti mereka datang ke kantor UNHCR bilang bahwa 'saya di negara saya berganti agama karena saya berganti agama saya dikejar-kejar dan lain sebagainya' gitu kan, nah terus tolong saya diberikan status sebagai pengungsi," ucapnya.
ADVERTISEMENT
"Nah UNHCR kan nggak begitu saja percaya, butuh waktu dan lain sebagainya, disuruh pulang dan sebagainya. Tapi mereka paspornya udah nggak ada. Akhirnya mereka cari jalan gimana caranya bisa ke Australia. Akhirnya apa? Mafia, penyelundupan orang tuh banyak," sambung dia.
Hikmahanto kemudian memperingatkan kemungkinan besar terjadi tindak pidana penyelundupan manusia (people smuggling) hingga TPPO (human trafficking) sebagai masalah tambahan yang terpaksa dihadapi Indonesia. Padahal, lagi-lagi — itu bukan urusan Indonesia.
"Harapan kita kalaupun Indonesia diajak bicara tapi harus dalam konteks yang lebih luas, masyarakat internasional. Jangan kemudian ini dibebankan ke Indonesia," tegas dia.
Ilustrasi UNHCR. Foto: Ralf Liebhold/Shutterstock
Adapun berdirinya kantor UNHCR di Indonesia, kata Hikmahanto, berawal di tahun 1970-an ketika pengungsi dari Vietnam bagian utara melarikan diri saat perang. Kala itu, pemerintah di bawah kekuasaan Soeharto menyediakan Pulau Galang di Batam untuk para pengungsi Vietnam.
ADVERTISEMENT
Ketika perang berakhir dan para pengungsi tersebut meninggalkan Indonesia — kembali ke Vietnam atau ke negara ketiga, UNHCR pun memindahkan kantor mereka ke Jakarta. "Kan itu gara-gara waktu dulu di Pulau Galang memang ada proses screening itu karena Pulau Galang sudah ditutup sudah selesai dipindahkan ke Jakarta," ucap Hikmahanto.
Namun, di era modern ini justru kantor UNHCR di Jakarta menjadi lokasi beberapa orang Rohingya terdampar, mendirikan tenda hingga berpotensi menyebarkan pengaruh negatif ke warga setempat.
"Sekarang di Jakarta banyak dan mereka-mereka [etnis Rohingya] ini nunggu antre kadang-kadang buat tenda di situ. Mohon maaf saya dapat cerita dari warga yang mengatakan di tenda-tenda itu siang-siang mereka melakukan hubungan seksual, mungkin. Tapi ada anak-anak sekolah yang lewat anak-anak warga kita. Coba bayangin kayak begitu itu? Saya enggak habis pikir," tutup dia.
ADVERTISEMENT