Cover Lipsus Di Balik Abolisi Tom Lembong

Tom Lembong Dapat Abolisi, Siapa Dalang Kriminalisasi?

12 Agustus 2025 8:38 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
10
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tom Lembong Dapat Abolisi, Siapa Dalang Kriminalisasi?
Usai ditahan 9 bulan lamanya, Tom Lembong akhirnya bebas karena abolisi dari Prabowo. Merasa dikriminalisasi, kini Tom melaporkan hakim & auditor BPKP untuk mengungkap siapa dalang di balik kasusnya.
kumparanNEWS
Setelah ditahan 9 bulan lamanya, Tom Lembong akhirnya bebas karena abolisi dari Prabowo. Merasa dikriminalisasi, kini Tom melaporkan hakim dan auditor BPKP untuk mengungkap siapa dalang di balik kasusnya.
***
Panggilan telepon yang tak biasa itu datang pada Kamis malam, (31/7). Di sambungan telepon, suara Sufmi Dasco Ahmad terdengar jelas di telinga Ari Yusuf Amir, kuasa hukum eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong.
Kepada Ari, Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Harian Partai Gerindra itu menyampaikan niat Presiden Prabowo Subianto yang ingin memberikan abolisi kepada Tom Lembong. Dasco juga menyampaikan rasa simpatiknya.
“Selanjutnya kami memastikan [kepada Sufmi Dasco] bahwa tidak ada syarat apa pun [dalam pemberian abolisi]” kata Ari pada kumparan di Mampang, Jakarta Selatan, Kamis (7/8).
Kabar abolisi itu diterima Ari hampir 2 pekan setelah Tom divonis 4,5 tahun penjara pada 18 Juli. Semua serba mendadak dan tanpa aba-aba sebelumnya. Berbeda dengan pemberian amnesti kepada Sekjen PDIP 2014-2025, Hasto Kristiyanto, yang sudah diinformasikan kepada elite PDIP sejak 27 Juli.
Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula, Tom Lembong, melambaikan tangan usai pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (18/7/2025). Foto: Ertadha Sulthan/ANTARA
Dalam kasusnya, Tom dinilai terlibat kasus korupsi impor gula di eranya menjabat Mendag satu dekade lampau. Tom dinilai melakukan korupsi karena memberikan izin impor kepada perusahaan swasta–bukan kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang merupakan anggota holding BUMN Pangan.
Vonis itu memicu kritik publik. Sebab walau tak ditemukan niat jahat (mens rea) maupun unsur memperkaya diri pada Tom, majelis hakim tetap menghukumnya.
Setelah mendapat kabar dari Dasco, Ari meminta waktu sekitar satu jam untuk mengkaji maksud abolisi. Ia kemudian mengubah arah perjalanannya menuju kediaman Tom di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Di apartemen Tom sudah berkumpul istri Tom, Franciska Wihardja; anggota tim hukumnya; dan sahabat-sahabat dekatnya.
Berdiskusi sekitar satu jam, tim pengacara Tom menilai pembelian abolisi positif. Sebab segala proses hukum Tom dihapuskan dan kasusnya dianggap tidak ada. Ari kemudian menghubungi kembali Dasco dan menerima keputusan abolisi.
Tom Lembong dan istrinya, Maria Franciska Wihardja, memasuki ruangan untuk mengikuti sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (4/7/2025). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA
Selain kepada Ari, Dasco pun sempat berbicara dengan istri Tom, Ciska, melalui telepon. Ketika mendengar kabar abolisi, Ciska sempat menangis haru. Ciska merasa ditahannya Tom selama 9 bulan merupakan sebuah penderitaan bagi keluarganya.
“Istrinya [Tom] sampai kaget dengan proses [hukum] ini dan merasa dalam setiap persidangan tidak ada keadilan di negara ini,” kata Ari mengutarakan keluh kesah Ciska.
Di malam yang sama, sekitar beberapa kilometer ke arah timur dari Kuningan, Tom Lembong sudah terlelap sejak bakda magrib di Rutan Cipinang. Menggunakan penutup mata dan sumbat telinga, sekira pukul 21.00 WIB, blok tahanan tempat Tom mendekam riuh oleh gedoran penghuni rutan lain.
Dalam kondisi setengah bangun dan mengumpulkan nyawa, Tom mendengar teriakan “Pak Tom bebas, Pak Tom bebas” dari para tahanan. Menurut cerita Tom kepada Ari, Tom awalnya abai dengan teriakan itu. Tom yang setengah terlelap menganggap kebebasannya sebagai mimpi.
“Wah, ini saya mimpi nih. Ah mimpi ini, mimpi. Ya biarin ajalah,” ujar Tom seperti ditirukan Ari.
Tom Lembong melambaikan tangan usai dinyatakan bebas di Lapas Cipinang, Jakarta, Jumat (1/8/2025). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Dalam cerita lain di kanal YouTube Anies Baswedan, Tom pertama kali mendengar dirinya mendapat abolisi dari tahanan lain. Namun ia sempat salah kira abolisi sebagai gerakan abolisionisme atau penghapusan perbudakan di Amerika Serikat dan Eropa pada abad 18.
Tom lalu dipanggil pengurus rutan yang baru saja menonton konferensi pers di Gedung DPR. Petugas rutan kemudian menjelaskan kepada Tom pengumuman abolisi yang disampaikan Dasco bersama Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, serta sejumlah anggota Komisi III DPR.
Tom pun akhirnya memahami maksud abolisi yang diberikan Prabowo. Kemenkum menjelaskan, abolisi merupakan hak konstitusional presiden untuk menghapus tuntutan pidana atau menghentikan proses hukum yang sedang berjalan, dengan mempertimbangkan pendapat DPR. Landasan hukumnya tertulis di Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, diperkuat UU Darurat Nomor 11/1954, UU 17/2014, serta tata tertib DPR.
Pengumuman abolisi Tom berbarengan dengan amnesti Hasto dan 1.177 orang terpidana lain. Mayoritas dari kasus narkotika, makar, dan pelanggaran UU ITE.
Tom Lembong saat menjabat sebagai Kepala BKPM sedang mendampingi Presiden Jokowi meninjau layanan OSS. Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan
Di antara ribuan terpidana yang mendapat amnesti, terdapat nama Yulian ‘Ongen’ Paonganan dan Sugi Nur Raharja alias Gus Nur. Keduanya terjerat kasus pencemaran nama baik Joko Widodo (Jokowi) saat masih menjabat presiden. Baik Tom, Hasto, Ongen, maupun Gus Nur selama ini dikenal sebagai ‘lawan politik’ Jokowi.
Meski demikian, Menkum Supratman menampik pemberian abolisi dan amnesti sebagai cara Prabowo untuk lepas dari warisan politik masa lalu. Ia menegaskan pemberian amnesti dan abolisi sebagai wujud Prabowo untuk menciptakan perdamaian antaranak bangsa di semua lapisan.
“Pertimbangan Pak Presiden mengeluarkan pengampunan (abolisi) adalah untuk memenuhi rasa kemanusiaan dan keadilan serta rekonsiliasi nasional,” ucapnya.
Thomas Lembong memeluk istrinya saat keluar dari Lapas Cipinang, Jakarta, Jumat (1/8/2025). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Tom Lembong Laporkan Hakim hingga Auditor

Menerima Keppres abolisi Nomor 18 Tahun 2025 pada Jumat (1/8) malam, Kejaksaan Agung langsung membebaskan Tom dari Rutan Cipinang. Barang-barang pribadi Tom seperti laptop yang disita dikembalikan pada Senin (4/8) kepada tim pengacara disertai berita acara dan dokumentasi resmi.
Sembilan bulan berada di balik jeruji besi, Tom mengaku tak memiliki perasaan dizalimi ataupun dendam pribadi.
“Semua ini adalah rencana Tuhan, dan rencana Tuhan selalu sempurna,” katanya, mengulang nasihat yang ia pegang dari sang istri saat diwawancara kumparan di Mampang, Jakarta Selatan, Kamis (7/8).
Walau begitu, bagi Tom, kebebasan itu bukan berarti langkahnya berhenti. Ia memilih melakukan evaluasi atas proses hukum yang dialaminya.
Tom melaporkan majelis hakim yang menangani kasusnya ke Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY) atas dugaan pelanggaran kode etik hakim dan profesionalisme. Mereka yang dilaporkan terdiri dari Hakim Ketua Dennie Arsan Fatrika, beserta Hakim Anggota Alfis Setyawan dan Purwanto S Abdullah.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memimpin jalannya sidang terakit kasus dugaan korupsi impor gula Thomas Lembong di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (13/3/2025). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Salah satu poin yang dipersoalkan, kata Ari, yakni pertimbangan vonis hakim yang menganggap Tom mengedepankan ekonomi kapitalis daripada sistem demokrasi ekonomi dan Pancasila.
“Siapa yang bisa menjelaskan kenapa hakim membuat kalimat ekonomi kapitalis? …Salah dia! [Hakim] profesional gimana? Anda [Hakim] membuat kalimat yang salah, Pak Tom melibatkan koperasi (dalam impor gula). Ekonomi kapitalis di mana ini?” tegas Ari.
Selain itu, tim pengacara Tom juga melaporkan auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ke Ombudsman maupun BPKP. Peran auditor BPKP begitu krusial di kasus Tom. Sebab dari hasil audit itulah, jaksa Kejagung mendakwa Tom telah merugikan keuangan negara.
Semula saat penyidikan pada Oktober 2024, Kejagung menyebut kerugian negara berdasarkan audit BPKP mencapai Rp 400 miliar. Namun saat memasuki proses persidangan pada awal Maret 2025, jumlah kerugian negara bertambah menjadi Rp 578 miliar.
Padahal menurut Ari, audit BPKP belum dilakukan pada saat itu. Sedangkan Tom menyebut hasil audit BPKP baru diserahkan ke majelis hakim setelah 13 kali sidang bergulir. Sehingga menurut Ari, belum ada unsur delik materiil (kerugian negara) saat jaksa mendakwa Tom.
Terlebih laporan hasil pemeriksaan (LHP) audit BPKP baru diberikan kepada majelis hakim dan pihak Tom sepekan sebelum pemeriksaan ahli dari BPKP pada 23 Juni. Namun jaksa berkilah tak ada kewajiban untuk memberi LHP yang merupakan barang bukti kepada terdakwa.
Tom Lembong dan pengacaranya, Ari Yusuf Amir, saat menjalani sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (18/7/2025). Foto: Bayu Pratama S/ANTARA
Pada akhirnya, majelis hakim tak memakai hasil audit BPKP secara keseluruhan. Hakim menilai kerugian negara di kasus Tom hanya senilai Rp 194 miliar yang merupakan komponen kemahalan harga yang dibayarkan PT PPI dalam pengadaan gula kristal putih.
Hakim mengesampingkan hitungan audit BPKP yang menilai ada kerugian Rp 383 miliar terkait kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor gula.
“Yang menghasilkan audit seperti demikian sangat-sangat tidak profesional proses pembuatan auditnya,” ucap Zaid Mushafi, anggota tim pengacara Tom Lembong.
Dalam laporannya ke Ombudsman, tim pengacara Tom tak membeberkan siapa saja auditor yang diadukan. Namun ada satu nama yang disebut yakni Chusnul Khotimah. Chusnul pula yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum (JPU) sebagai ahli di sidang.
Menurut sumber-sumber kumparan di lingkaran kasus ini, Chusnul disebut sebagai auditor yang baru lolos CPNS pada 2024. Nama Chusnul Khotimah memang ada di dokumen hasil seleksi pengadaan CPNS BPKP 2024 dengan jabatan auditor ahli pertama.
Jaksa Agung ST Burhanuddin (kanan) berjalan bersama Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh (kiri) di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (21/3/2025). Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Meski demikian, BPKP mengklarifikasi bahwa audit kasus Tom dilaksanakan atas permintaan resmi Kejagung dan berdasarkan standar audit yang berlaku. BPKP juga menegaskan tim auditor kasus ini merupakan auditor-auditor BPKP yang berpengalaman.
“Tidak ada seorang pun dalam tim tersebut yang baru lulus seleksi administrasi CPNS tahun 2024 seperti ramai beredar,” ujar Gunawan Wibisono, Jubir BPKP, dalam rilisnya pada 7 Agustus.
Dalam keterangan terpisah, Gunawan menyatakan auditor yang memberikan keterangan ahli di sidang Tom Lembong adalah Khusnul Khotimah, Auditor Ahli Muda yang sudah berpengalaman. Sedangkan narasi yang beredar, kata Gunawan, adalah Chusnul Khotimah. Sehingga keduanya adalah orang yang berbeda.
Menurut Gunawan, Chusnul Khotimah memang pernah mengikuti CPNS BPKP pada 2024 dan lolos seleksi administrasi. Namun kemudian tidak lolos pada tahapan berikutnya: seleksi kompetensi dasar (SKD). Gunawan menyertakan bukti tidak lolosnya nama tersebut di sini.
"Jadi ini adalah dua nama yang berbeda," kata Gunawan.
Yang jelas, Gunawan menekankan penugasan saat itu dilakukan oleh tim, bukan personal, dan telah sesuai prosedur.
Walau demikian, Ari menilai kasus Tom masih diselimuti kejanggalan dan bukan sekadar kesalahan teknis hukum, melainkan adanya dugaan kriminalisasi. Ia menduga persidangan Tom memiliki kepentingan politis ketimbang penegakan hukum.
“Untuk jaksa, ini kan belum lengkap [berkas kasusnya] kenapa sudah buat penuntutan? Untuk hakim, ini kan enggak ada fakta [persidangan], kenapa kamu putus bersalah? Kamu yang nyuruh siapa, bisa keungkap di situ,” ujar Ari.
Ari berharap pelaporan-pelaporan itu bisa mengoreksi penyimpangan yang terjadi dalam proses hukum Tom. Dengan koreksi tersebut, kata Ari, nantinya hakim, auditor BPKP, dan jaksa akan menolak ketika ada perintah untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai aturan dan mengorbankan profesionalitas.
“Mereka [harapannya] akan menolak. Misalnya, ‘Enggak bisa, nanti kalau suatu saat kondisi politik berubah, kami (anak buah yang dapat perintah -red) yang kena.’ Harus begitu,” kata Ari.
Tom Lembong saat hendak mengikuti sidang vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (18/7/2025). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters

Mengusut Dalang Kriminalisasi Tom Lembong

Selama 9 bulan ditahan hingga kini bebas, kasus Tom Lembong tak pernah benar-benar jelas. Sumber kumparan yang mengikuti perkara ini berujar, sumirnya unsur pidana di perkara Tom disebut-sebut sempat membuat internal Kejaksaan Agung (Kejagung) terbelah saat proses penyidikan, antara menyetop atau melanjutkan perkaranya.
Tetapi Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, membantah kabar itu.
“Tidak benar [internal Kejagung terbelah]. Semua penanganan perkara dilakukan secara profesional dan melalui mekanisme ekpose atau gelar perkara,” jelas Anang.
Sumirnya konstruksi hukum kasus Tom itu juga sempat disuarakan Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, saat awal proses penyidikan oleh Kejagung pada November 2024.
Ketika itu, politikus Gerindra tersebut meminta Kejagung menjelaskan secara gamblang ke publik. Sebab jika tidak, kasus Tom bisa memunculkan tuduhan bahwa pemerintahan Prabowo menggunakan hukum sebagai alat politik.
Ilustrasi: Adi Prabowo/kumparan
Pernyataan Habiburokhman itu yang semakin meyakinkan Tom bahwa kasusnya berbau kriminalisasi dan politisasi. Ia memasukkannya dalam nota pembelaan atau pleidoi di sidang pada 9 Juli. Pleidoi Tom juga menyinggung sikap 8 fraksi di Komisi III yang khawatir dan tidak setuju dengan pendekatan jaksa dalam kasusnya.
“Apresiasi dan terima kasih saya yang tulus kepada Bapak Habiburokhman dan para Wakil Ketua dan anggota Komisi III, yang kebanyakan adalah lawan politik saya di Pemilu tahun 2024 atas pernyataan-pernyataannya yang membela proses hukum yang adil bagi saya,” kata Tom kala itu.
Meski menganggap perkaranya kriminalisasi dan politisasi, kubu Tom belum secara gamblang menyebut siapa yang menjadi dalang.
Dalam proses persidangan, Tom hanya menjelaskan bahwa ia dibidik kasus impor gula sejak bergabung sebagai tim sukses Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar di Pilpres 2024. Pilihan itu, kata Tom, berseberangan dengan penguasa saat itu. Ketika Pilpres 2024 berlangsung, Jokowi masih menjabat Presiden.
Anies Baswedan mengunggah kebersamaannya dengan Tom Lembong saat perayaan ulang tahun istrinya, Fery Farhati. Foto: x/@aniesbaswedan
Sementara menurut Ari, Prabowo justru mendengar suara masyarakat dan berkomitmen menghadirkan hukum yang berkeadilan dengan memberikan abolisi.
Sumber kumparan menyebut, saat menghubungi Ari Yusuf, Dasco bahkan menegaskan kasus hukum Tom bukan berasal dari pihak Prabowo. Saat dikonfirmasi mengenai hal itu, Dasco maupun Ari tak membalas.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menduga pelaku kriminalisasi Tom setidaknya pernah memiliki kekuatan setara presiden. Ia pun mendukung langkah Tom melaporkan hakim dan auditor BPKP untuk mengetahui siapa dalangnya.
Melalui pelaporan tersebut, kata Feri, bisa ditelusuri apakah kasus Tom merupakan pesanan politik. Selain itu, bisa mengungkap siapa pihak yang semestinya bertanggung jawab dalam kebijakan impor gula saat era Jokowi itu.
Sehari setelah Tom bebas dari rutan, Jokowi mengakui kebijakan impor gula merupakan perintahnya saat menjabat presiden. Namun level teknisnya berada di kementerian terkait. Merujuk pernyataan itu, Feri menilai Jokowi secara sadar mengakui terlibat.
“Siapa yang merekayasa kok Tom Lembong kena sementara Jokowi tidak kena? Itu bagaimana ceritanya. Padahal dia (Jokowi) sendiri mengakui terlibat dari perkara-perkara itu. Perlu diungkap siapa yang bermain, siapa yang menggunakan cara-cara politik di ruang hukum,” kata Feri.
Jokowi di depan Gedung Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (30/4/2025). Foto: Fauzan/ANTARA

Mengoreksi Hukum Era Jokowi

Selain Tom dan Hasto, terdapat Ongen dan Gus Nur yang mendapat amnesti dari Prabowo. Ongen dipidana terkait kasus UU ITE karena menghina kepala negara (Jokowi), sementara Gus Nur dipidana lantaran kasus tuduhan ijazah Jokowi palsu. Jika ditilik, keempatnya memiliki kelindan relasi politik yang berseberangan dengan Jokowi.
Feri Amsari menilai keputusan abolisi dan amnesti ini adalah pernyataan tersirat bahwa peradilan Tom dkk di era sebelumnya adalah political trial—peradilan politik yang lahir dari kriminalisasi.
“Ada titik tertentu Presiden Prabowo bisa dikatakan punya cara pandang berbeda [dengan era Jokowi], tidak boleh orang kemudian dipidanakan karena hal-hal yang tidak benar. Itu sangat baik ya untuk kemudian membangun citra Pak Prabowo,” kata Feri kepada kumparan.
Senada, pengamat politik Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago menilai keputusan Prabowo memberikan abolisi dan amnesti sebagai upaya koreksi, evaluasi, sekaligus kritik terhadap proses hukum di era Jokowi.
“Pak Prabowo ingin memberikan pembelajaran bahwa jangan ketika mentang-mentang Anda berkuasa…kemudian menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan, sebagai [alat] politik,” terang Pangi.
Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Selasa (22/10/2024). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA
Selain itu, Pangi berpandangan Prabowo gelisah karena menangkap kegaduhan tak berkesudahan dari kasus Tom maupun Hasto. Terlebih kini muncul desakan terhadap Kejagung untuk mengeksekusi relawan Jokowi, Silfester Matutina, yang telah divonis 1,5 tahun penjara dalam kasus penghinaan Jusuf Kalla pada 2019.
Menurut Pangi, jika Silfester tak ditahan, akan muncul sentimen negatif bahwa hukum di era Prabowo tidak tegak lurus padahal sudah inkrah atau berkekuatan hukum tetap. Bisa pula dianggap belum lepas dari bayang-bayang Jokowi.
Kapuspenkum Kejagung Anang mengonfirmasi bahwa Silfester sudah dinyatakan bersalah, tinggal melakukan eksekusi hukuman saja. kumparan telah menghubungi Silfester, namun hingga tulisan ini tayang ia belum merespons.
“Untuk eksekusi itu di Kejari Jakarta Selatan. Sebetulnya itu sudah inkrah, tidak ada masalah, tinggal dilaksanakan saja,” ujar Anang.
Analis komunikasi politik Hendri Satrio menyebut Prabowo menjalankan dua rumus politiknya dalam pemberian abolisi dan amnesti. Pertama, merangkul semua kekuatan. Kedua, Prabowo percaya jika para elite politik rukun, maka pembangunan bisa dilaksanakan dengan mudah.
“Pokoknya dia (Prabowo) penginnya adem-ayem, rukun,” tutup Hendri.
***
Catatan redaksi:
Pada 14 Agustus, artikel ini mendapat penambahan keterangan dari BPKP mengenai auditor yang dilaporkan ke Ombudsman. Keterangan disisipkan karena BPKP baru menjawab setelah artikel terbit.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten