news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Tradisi Ngelawang di Bali yang Kini Berubah

31 Mei 2018 22:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tradisi ngelawang di Denpasar, Bali. (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tradisi ngelawang di Denpasar, Bali. (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tradisi ngelawang yang identik dengan perayaan Galungan dan Kuningan digelar setiap enam bulan di Bali. Baik saat hari H Galungan, Umanis Galungan seperti hari ini, Kamis (31/5), yang biasanya terus hingga Hari Raya Kuningan yang jatuh 10 hari setelah Galungan, akan tampak anak-anak berkeliling di jalan-jalan mengarak barong bangkung sambil menari diiringi gamelan.
ADVERTISEMENT
Tak hanya untuk memeriahkan Galungan dalam merayakan kemenangan Dharma atas Adharma, tapi dipercaya sebagai tradisi tolak bala.
Di jalan-jalan, khususnya di desa akan tampak para warga menunggu anak-anak tersebut ngelawang. Kedatangan mereka akan diketahui ketika terdengar bunyi gamelan dimainkan.
Dalam ngelawang, anak-anak ini memiliki peran masing-masing. Ada yang melakoni barong, rangda, monyet dan yang memainkan gamelan sebagai musik pengiringnya. Anak-anak yang ngelawang selama perjalanan berkeliling desa akan berhenti di beberapa titik untuk menunjukkan atraksinya. Setiap satu kali pertunjukkan di satu titik, warga akan memberikan uang kepada mereka.
Tradisi ngelawang di Denpasar, Bali. (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tradisi ngelawang di Denpasar, Bali. (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
Budayawan Bali, I Wayan Dibia menyampaikan tradisi Ngelawang sendiri sudah ada sejak lama. Dibia sendiri sudah tradisi itu melihat sejak tahun 1960an.
ADVERTISEMENT
Namun memang ada perubahan seiring perkembangannya. Seperti maknanya untuk tolak bala, ngelawang pada zaman dahulu dilakukan hingga masuk ke rumah-rumah warga. Mereka akan menari di antara dua buah pohon. Sementara saat ini, ngelawang dilakukan hanya di jalan-jalan saja.
Walaupun, melihat antusiasme anak-anak muda dalam melestarikan tradisi seni dan budaya di Bali, tapi dari sisi kualitas ia melihat ada yang perlu dibenahi. Menurutnya, hari ini tradisi ngelawang lebih condong pada kepentingan sekuler.
"Bentuk ngelawang saat ini adalah untuk kepentingan sekuler, untuk mendapatkan uang, bukan melengkapi Galungan," ujar Dibia kepada kumparan, Kamis (31/5).
Tradisi ngelawang di Denpasar, Bali. (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tradisi ngelawang di Denpasar, Bali. (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
Zaman dahulu, khususnya di desa-desa penglawang ini masuk ke rumah, sementara penabuh tetap di jalan. Pemilik rumah akan mempersilakan masuk, untuk menari baik di area halaman rumah, atau di bawah pohon yang dianggap perlu dapat "ruatan".
ADVERTISEMENT
"Kalau saya berkiblat ke ingatan saya. Umur saya 12 tahun, tahun 1960-an sudah ada. Marak sekali. Mereka masuk ke rumah, misalnya di bawah 2 pohon yang lama tidak berbuah, dilakukan tarian di sana. Usai pentas, para pemilik rumah kasih upah. Bisa makanan atau apa saja, kalau belakang ini uang," ujarnya.
Pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Program Studi Seni, Program Doktor, Pascasarjana ISI Denpasar (2017-2018) ini sendiri menilai dengan condongnya pada kepentingan sekuler, kualitas pun berubah.
"Sekarang ngelawang dilakukan di jalan saja. Kedua, bahwa penglawang cenderung tidak membekali kemampuan yang memadai, baik musikan maupun teatrikal. Tabuh sering kali sekadar bunyi, sekadar menari. Tidak lagi menampilkan sesuatu memadai," tambahnya.
Tradisi ngelawang di Denpasar, Bali. (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tradisi ngelawang di Denpasar, Bali. (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
Ia mengimbau jika memang ngelawang ini sebagai salah satu tradisi yang akan dilestarikan, agar bisa dilakoni dengan mempertahankan kualitasnya dengan persiapan yang mumpuni.
ADVERTISEMENT
"Ini yang perlu dicatat dan dapat perhatian. Agar ngelawang jadi aktivitas seni dan budaya sekaligus menjadi income bagi pengalawangnya," ujar Dibia.
Formulasi Baru
Lakon ngelawang hari ini juga berkembang. Kemunculan tokoh monyet dan rangda dalam tradisi ngelawang ini, menurut Dibia, adalah formulasi terbaru. Dibia mengatakan, pada zaman dahulu, ngelawang menggunakan barong sungsungan yang sakral.
"Kalau yang dulu, barong Sungsungan yang sakral. Karena saat itu kasih kesempatan untuk mepajar, ada ngaturan banten sebelumnya (menghaturkan sesajen)," kata Dibia.
Tradisi ngelawang di Denpasar, Bali. (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tradisi ngelawang di Denpasar, Bali. (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
Dibia juga menyampaikan, sesungguhnya pada zaman dahulu, tak hanya ngelawang barong yang meramaikan Hari Raya Galungan dan Kuningan.
"Sebelumnya ada beberapa ngelawang lain. Ada ngelawang joged pingitan dari Sukawati, ngelawang Arja Muani," ujarnya.
ADVERTISEMENT
"Dulu jumlah ngupahnya juga menentukan panjang atau durasi pertunjukkan," tambahnya.