Tradisi Oposisi atau Jalan Pragmatis Gabung Jokowi

28 Juni 2019 19:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rapat paripurna DPR Foto: Ferio Pristiawan /kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rapat paripurna DPR Foto: Ferio Pristiawan /kumparan
ADVERTISEMENT
Partai politik koalisi Prabowo-Sandi (Gerindra, PKS, PAN, Demokrat) malu-malu kucing menentukan sikap untuk bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf, pasca-putusan MK yang mematahkan seluruh dalil kecurangan di Pilpres 2019.
ADVERTISEMENT
Adalah Demokrat dan PAN yang lebih dulu melempar sinyal akan menyeberang dari koalisi Prabowo-Sandi, dengan alasan koalisi sudah bubar. Kursi menteri dan dukungan pemerintah jadi tawaran yang menggiurkan, namun oposisi akan pincang.
"Pak Prabowo tadi menyampaikan ke saya dengan berakhir putusan MK maka koalisi sudah berakhir," ujar Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan di Sentul Selatan, Bogor, Jawa Barat, Kamis (27/6).
Setali tiga uang, Demokrat juga buru-buru menyebut koalisi Prabowo-Sandi sudah berakhir. "Kalau peluit ditiupkan tanda pertandingan dimulai, pasti akan ada peluit ditiupkan tanda pertandingan berakhir. Saya kira iya (koalisi berakhir)," ujar Sekjen Demokrat Hinca Panjaitan di Jalan Kertanegara, Jaksel, Jumat (28/6).
Capres dan Cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno beserta sekjen partai koalisi menggelar konferensi pers usai keputusan Mahkamah Konstitusi di Jalan Kertanegara IV, Jakarta Selatan, Kamis (27/6). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Pengamat politik sekaligus Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TEPI), Jerry Sumampow, menilai indikasi Demokrat dan PAN menyeberang ke koalisi Jokowi adalah bentuk pragmatisme dalam berpolitik.
ADVERTISEMENT
Padahal, esensi pemilu dibuat serentak berdasarkan putusan MK, ditujukan agar koalisi yang terbangun koalisi ideologis dan kokoh karena pileg dan pilpres serentak, bukan koalisi pragmatis.
"Salah satu tujuan putusan MK (soal pemilu serentak) itu membangun koalisi yang ajeg gitu, ya. Kalau Anda baca di sana itu jelas-jelas supaya parpol tidak koalisi taktis dan koalisi pragmatis. Sebetulnya itu yang mau dihindari oleh sistem pemilu serentak ini," ucap Jerry dalam diskusi di 'Sesudah MK: Silaturahmi atau Negosiasi', di Kantor Formappi di kawasan Matraman, Jakarta Timur, Jumat (28/6).
Jerry menilai, upaya mencari celah merapat ke koalisi 01 itu justru berseberangan dengan suasana kebatinan Prabowo yang tampaknya belum ikhlas melepaskan kemenangan kepada Jokowi-Ma'ruf.
ADVERTISEMENT
Dalam pidato merespons putusan MK, Prabowo justru bicara mengenai pencarian terhadap upaya hukum lain pasca MK.
"Karena itu saya kira perlu mengingatkan ke Pak Jokowi untuk konsisten dengan sistem ini (format koalisi sejak awal). Supaya kita enggak sia-sia terus bikin sistem," sambungnya.
Aktivis sekaligus pendiri LSM Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti, menilai perpindahan koalisi adalah hal yang wajar dalam perpolitikan Indonesia. Namun, ia keberatan apabila ada negosiasi ulang perihal koalisi usai putusan MK.
"Kita merasa agak keberatan kalau kemudian hasil pemilu ini menghasilkan negosiasi ulang, agak mencederai. Sebaiknya komposisi yang dibentuk awal itu (koalisi) dipertahankan," kata Ray di kesempatan yang sama.
ADVERTISEMENT
Ray memandang yang berhak menikmati kekuasaan usai pemilu adalah koalisi yang tergabung sejak awal dengan Jokowi. Sebab mereka adalah yang berjuang memenangkan paslon yang diusung.
Sementara, bagi partai koalisi 02, Ray menyebut seharusnya Gerindra, PKS, Demokrat, PAN, ditambah parpol non-parlemen yaitu Berkarya dan Garuda, tetap pada posisinya sebagai oposisi.
"Nikmatilah jadi oposisi. Oleh karena itu tidak perlu tergoda kekuasaan tetap di luar. Jadi partai ini PKS, Gerindra, PAN, Demokrat, Berkarya, Garuda, silakanlah jadi penikmat oposisi," ujarnya.
Diskusi 'Sesudah MK: Silaturahmi atau Negosiasi', di Kantor Formappi di kawasan Matraman, Jumat (28/6). Foto: Lutfan Darmawan/kumparan
Peneliti Formappi, Lucius Karus, menyebut apabila koalisi 01 benar pecah dan ada yang bergabung ke koalisi 01, maka menunjukkan bentuk ketidakseriusan atas komposisi koalisi yang dibangun sejak awal.
Hal ini juga akan berdampak buruk, sebab semangat membangun koalisi bukan lagi dengan prinsip ideologis antarparpol saat mengusung capres-cawapres, namun lebih kepada politik bagi-bagi kekuasaan di pemerintahan.
ADVERTISEMENT
"Dorongan koalisi yang mau diformat ulang ini tidak sesuai prinsip ideologis. Sekarang bicara koalisi siapa dapat apa. Ini perlu bagaimana bicara melembagakan koalisi. Ini selama ini jadi tugas yang belum terlaksana," ucapnya.