Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Tragedi Kematian Mahsa Amini yang Membuat Iran Bergejolak
22 September 2022 20:00 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Kematian Mahsa Amini , perempuan berusia 22 tahun yang diduga tewas di tangan polisi moral Iran , menimbulkan gejolak amarah besar-besaran di penjuru ‘negeri para mullah’ itu.
ADVERTISEMENT
Unjuk rasa telah menelan 10 korban jiwa, melukai hampir ratusan lainnya, menuai kecaman dari berbagai pihak, dan teranyar, turut menghambat akses internet bagi penduduk.
Warga di ibu kota Teheran dan wilayah Kurdi menyesaki jalanan sejak unjuk rasa meletus pada Jumat (16/9) pekan lalu.
Demonstran memadati rumah sakit di mana Mahsa meninggal dunia dan para mahasiswa Universitas Tehran ikut unjuk rasa menentang polisi moral dengan membawa poster bertuliskan ‘wanita, kehidupan, kebebasan’.
Tak hanya itu, sebagai bentuk protes, demonstran perempuan menantang aparat dengan memotong rambut atau melepas hijab mereka di hadapan publik.
Menurut peraturan berperilaku yang semakin diperketat di bawah kepemimpinan Presiden Ebrahim Raisi, perempuan di Iran dilarang memperlihatkan rambut di tempat umum.
ADVERTISEMENT
Di saat bersamaan, bentrokan antara suku minoritas Kurdistan dengan aparat kepolisian menjadi pusaran kerusuhan yang terparah dan dapat memicu kembalinya ketegangan antara kedua pihak.
Selama beberapa dekade, Garda Revolusi Iran (IRGC) memadamkan protes dengan tindakan keras di wilayah Kurdi.
IRGC tidak sungkan menjatuhkan hukuman mati terhadap demonstran. Dan kekerasan itu kembali terulang dengan kematian Amini.
Dalam bentrokan itu, pasukan keamanan menembaki kerumunan, sehingga menewaskan dua pengunjuk rasa di kampung halaman Mahsa, yakni Kota Saqqez, Provinsi Kurdistan.
Unjuk rasa yang berlangsung hampir sepekan ini dilaporkan menjadi yang terbesar sejak kerusuhan akibat kekurangan air pada 2021 lalu.
Akibat itu juga, baru-baru ini pemerintah Teheran juga memutuskan untuk memblokir internet dan membatasi akses media sosial yang paling banyak digunakan penduduk, seperti Whatsapp dan Instagram.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana awal mula kasus kematian Mahsa Amini yang menggegerkan khalayak luas ini?
Awal Mula Mahsa Amini Ditangkap Polisi Moral
Menurut laporan media, kasus ini berawal ketika Mahsa berkunjung ke Teheran bersama saudara laki-lakinya, Kiaresh Amini, pada Selasa (13/9) pekan lalu untuk menemui keluarga.
Mahsa sedang berada di pintu masuk jalan raya Haqqini ketika disergap oleh polisi moral yang berada di sekitar.
Polisi moral atau disebut dengan patroli bimbingan (Persia: Gashte Ershad) adalah lembaga utama di Iran yang didirikan sejak 2005 dan bertugas menegakkan tata cara berperilaku di kalangan masyarakat sesuai dengan kaidah Syiah.
Mahsa ditangkap lantaran dituduh mengenakan jilbab yang tidak sesuai aturan, di mana rezim Raisi memerintahkan perempuan untuk menutup seluruh rambutnya.
Usai ditangkap, Mahsa digiring oleh aparat ke dalam sebuah mobil van berwarna hijau dan putih yang menjadi ciri khas patroli bimbingan. Kiaresh diberi tahu, saudara perempuannya akan dibawa ke pusat penahanan untuk menjalani ‘arahan’ dan akan dibebaskan tak lama setelah itu.
Namun, takdir berkata lain. Mahsa tidak dapat keluar dengan selamat dari pusat penahanan itu.
ADVERTISEMENT
Ia malah dilarikan ke rumah sakit usai dinyatakan mengalami gejala stroke dan epilepsi ketika sedang berada dalam tahanan polisi moral. Setelah koma selama tiga hari, nyawa Mahsa tidak tertolong dan ia meninggal dunia pada Jumat (16/9).
Polisi Moral Bertanggung Jawab atas Tewasnya Mahsa
Pihak keluarga Mahsa menyangkal tegas pernyataan polisi soal penyakit yang ia derita. Menurut sang ayah, putrinya tidak memiliki riwayat penyakit apa pun dan kondisinya sehat sebelum ditangkap.
Berdasarkan foto-foto kondisi Mahsa yang didapatkan dari rumah sakit, terdapat memar di bagian kaki dan kepala Mahsa yang mengindikasikan adanya penyiksaan terhadap mahasiswi itu.
“Dia (Mahsa) tidak menderita epilepsi, atau penyakit jantung. Penyakit terburuk yang dideritanya adalah flu. Video yang mereka tunjukkan dari pusat penahanan juga diedit,” ujar ayah Mahsa, seperti dikutip dari The Guardian.
ADVERTISEMENT
“Mengapa mereka (polisi) tidak menunjukkan rekaman ketika mereka membawa putri saya keluar dari van? Mengapa mereka tidak menunjukkan apa yang terjadi di koridor pusat penahanan? Secara psikologis hal itu membuatnya stres dan polisi yang bertanggung jawab atas bencana ini,” tegas dia.
Tak berhenti di situ, dugaan ayah Mahsa pun didukung oleh pernyataan dari rumah sakit tempat Mahsa dirawat. Dalam sebuah pernyataan Instagram, pihak RS Kasra mengeklaim bahwa Mahsa sudah mengalami mati otak saat tiba di IGD.
“Resusitasi dilakukan pada pasien, detak jantung kembali dan pasien dirawat di unit perawatan intensif,” tulis RS Kasra.
“Sayangnya, setelah 48 jam pada hari Jumat, pasien mengalami serangan jantung lagi, karena kematian otak. Terlepas dari upaya tim medis, mereka gagal menghidupkannya kembali dan pasien meninggal dunia,” imbuh mereka.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Namun, postingan itu langsung dihapus satu jam kemudian.
Sementara saksi mata yang berada di lokasi kejadian saat Mahsa ditangkap mengatakan, mereka melihat Mahsa dipukuli oleh aparat polisi moral yang ingin membawanya ke pusat penahanan.
Pemakaman Dihadiri Lebih dari 1.000 Orang
Jenazah Mahsa kemudian dibawa ke kampung halamannya di Kota Haqqez dengan menggunakan pesawat kargo. Pemakaman digelar pada Sabtu (17/9) dan juga dihadiri oleh para demonstran yang ingin memberikan dukungan kepada keluarga Mahsa.
Polisi berusaha menekan jumlah pelayat ke pemakaman Mahsa, namun dilaporkan ada 1.000 orang yang sudah berada di sisi makam. Para demonstran kemudian berkumpul di luar kantor gubernur Saqqez dan terjadi bentrok dengan aparat kepolisian. Lebih dari 30 orang terluka dalam bentrokan itu.
Kematian Mahsa menjadi simbol perlawanan bagi perempuan Iran terhadap aturan berpakaian di negara itu. Kasus tersebut lantas menuai pertanyaan besar terhadap akuntabilitas polisi moral serta kekerasan yang ditimbulkan, di mana seharusnya polisi moral bertugas melindungi perempuan, bukan mengintimidasi mereka.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara Islam, Iran memiliki hukum berpakaian yang diatur dalam Pasal 638 dari hukum pidana Islam.
Pasal itu menyebutkan, adalah kejahatan bagi wanita yang tidak mengenakan jilbab dan tidak berpakaian tertutup di tempat umum. Meski demikian, hak polisi moral untuk secara sewenang-wenang menangkap warganya tanpa surat perintah dari pengadilan pun masih dipertanyakan.