Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Tren Pekerja Komuter di RI Turun, Pekerja Sirkuler dan Migran Risen Meningkat
6 Oktober 2024 10:01 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Rinaya (21) dan Fauzan (22) adalah dua orang di antara 4 juta warga Jabodetabek yang menjalankan hari-harinya sebagai seorang komuter . Sejak Februari hingga Juni lalu, mereka aktif berkomuter dari Kota Bogor dan Kabupaten Bogor ke kantor mereka di daerah Karet.
ADVERTISEMENT
Tiap harinya, Rinaya harus menempuh 56 km dari rumahnya di Baranangsiang, Kecamatan Bogor Timur. Sedangkan Fauzan, harus menempuh jarak 41 km dari Metland Cileungsi. Keduanya mengandalkan KRL sebagai alat transportasinya ke kantor.
Mereka menghabiskan waktu rata-rata 2,5 jam untuk satu kali perjalanan. Ongkos yang harus dikeluarkan Rinaya untuk sekali perjalanan berkisar 25-30 ribu. Ongkos itu termasuk ongkos ojek online sekitar 20 ribu dari rumah hingga stasiun KRL terdekatnya, yaitu Stasiun Bogor. Sisanya adalah ongkos yang harus dikeluarkan untuk KRL atau TransJakarta menuju kantornya.
Saat berangkat ke kantor, Rinaya tidak menemukan kendala yang berarti di KRL karena jam masuk kantornya di sekitar jam 1 siang. Namun, saat pulang pada pukul 7 malam, ia harus berhadapan dengan lautan manusia di Stasiun Manggarai.
ADVERTISEMENT
“Kadang, kalau misalkan gue udah enggak sanggup gitu, gue udah pengen duduk banget di kereta gitu aja. Jadi gue naik kereta ke arah Jakarta Kota. Terus, sampai Jakarta Kota, yaudah gue di situ aja, sampai keretanya jalan lagi ke Bogor, jadi gue nggak turun kereta,” tutur Rinaya, Jumat (27/9).
Fauzan yang tinggal di Cileungsi terkadang pergi ke kantor menggunakan KRL ataupun LRT. Menurutnya, LRT sangat membantu aktivitas bepergiannya. Dari rumah, ia naik motor ke stasiun LRT Harjamukti dan bisa langsung turun di stasiun akhir Dukuh Atas.
“Sekarang alhamdulillah sudah ada LRT di Cibubur. Jadi dari Cileungsi, gue kan naik motor dulu tuh ke Harjamukti. Baru gue bisa naik LRT. Kalau gak ada LRT, gue dari Cileungsi tuh naik bus ke Tanah Abang dulu. Itu naik bus 20 ribu. 20 ribu apa 30 ribu gitu. Kalau nggak ada LRT itu lebih mahal lagi, karena memang susah transportasi umumnya,” tutur Fauzan.
Sama-sama tinggal di daerah Bogor, Khairunnisa (22) memilih jalan yang berbeda dengan Rinaya dan Fauzan. Ia memilih untuk menetap di indekos di daerah Cawang UKI untuk mencapai tempatnya beraktivitas tiap harinya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, Cawang UKI menjadi pilihan yang tepat karena letaknya yang mudah diakses dari mana pun. Tiap harinya ia pergi ke kantor di Tendean atau tempat liputannya menggunakan TransJakarta.
Sejak awal diterima magang pada Februari lalu, ia sudah mantap untuk memilih tinggal di indekos di Jakarta dibanding harus pulang-pergi Bogor-Jakarta. Jarak rumah ke kantornya adalah 72 km. Stasiun terdekat dari rumahnya adalah stasiun Bogor, tetapi itupun jaraknya 12 km.
Satu bulannya, ongkos yang ia keluarkan untuk TransJakarta dari halte Cawang Central ke kantornya berkisar Rp200-300 ribu. Ia telah mengkalkulasi ongkos yang harus ia keluarkan jika tidak menetap di Jakarta. Berdasarkan perhitungannya, jika ia memilih untuk PP, ongkos yang harus ia keluarkan per harinya adalah Rp87 ribu.
ADVERTISEMENT
“Gue lebih mending ngekos Rp 2 juta 2 ratus ribu per bulannya dibanding harus PP 3 jam 40 menit ke kantor,” kata Khairunnisa kepada kumparan, Rabu (02/10).
Statistik Mobilitas Tenaga Kerja di Indonesia
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), status mobilitas spasial pekerja di Indonesia dapat dibedakan menjadi mobilitas permanen dan nonpermanen. Mobilitas permanen adalah perpindahan pekerja ke tempat lain dengan tujuan menetap dalam waktu satu tahun atau lebih.
Dalam mobilitas permanen dikenal istilah migran risen. Migran risen adalah sebutan bagi penduduk bekerja berusia 15 tahun ke atas yang 5 tahun sebelum pendataan tinggal di luar kabupaten/kota tempat tinggal sekarang.
Migran risen di Indonesia meningkat dari tahun 2022 ke 2023. Semula tercatat sebesar 2,8 persen dari seluruh penduduk yang bekerja. Pada 2023, angka ini meningkat menjadi 3,1 persen. Peningkatan terbesar pekerja migran risen terjadi di Provinsi Sumatra Barat. Sedangkan, provinsi dengan persentase migran risen terendah adalah Provinsi Papua.
ADVERTISEMENT
Provinsi dengan pekerja migran risen terbesar adalah Jawa Tengah. Setidaknya, satu dari lima pekerja migran risen di Indonesia tercatat berada di Provinsi Jawa Tengah. Angka ini diikuti oleh Jawa Barat dan Jawa Timur. Dari data ini, dapat disimpulkan bahwa Pulau Jawa masih menjadi tujuan utama para pekerja migran risen dari Jawa maupun pulau lainnya.
Pada 2023, terdapat kurang lebih 4.357.300 pekerja migran risen. Sebanyak 27,7 persen di antaranya bekerja pada sektor jasa dan penjualan. Kemudian disusul oleh pekerja kasar. Bidang pekerjaan yang paling sedikit digeluti pekerja migran risen adalah TNI-POLRI dengan angka 1,2 persen.
Mobilitas nonpermanen dibedakan menjadi mobilitas komuter dan sirkuler. Komuter adalah perpindahan pekerja dari rumah ke tempat kerja, lalu kembali ke rumah dalam waktu kurang dari satu hari.
ADVERTISEMENT
Sedangkan sirkuler adalah perpindahan pekerja dari rumah ke tempat kerja, tetapi kembali ke rumah lebih dari satu hari. Pekerja komuter dan sirkuler termasuk ke dalam kelompok movers. Sedangkan pekerja yang tidak melakukan perpindahan antarkota untuk mencapai tempat bekerjanya dinamakan stayers.
Per 2023, total terdapat 139,85 juta orang yang bekerja di Indonesia. Mayoritas dari pekerja itu merupakan stayers dengan persentase 92,5 persentase dari total pekerja di Indonesia. Kelompok movers didominasi oleh komuter dan paling sedikit adalah kelompok sirkuler.
Meski demikian, kelompok sirkuler faktanya mengalami kenaikan dibanding tahun 2022. Uniknya, komuter justru berkurang dari tahun sebelumnya. Tren kenaikan jumlah pekerja sirkuler erat kaitannya dengan keberadaan pusat ekonomi regional.
Pekerja sirkuler cenderung bergerak menuju peluang ekonomi yang lebih besar. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan lapangan kerja yang lebih beragam, peluang pertumbuhan karier yang lebih baik, dan infrastruktur yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Alasan lainnya adalah pendapatan yang lebih tinggi, akses ke layanan pendidikan, kesehatan, dan kehidupan sosial yang lebih dinamis juga memegaruhi keputusan pekerja berpindah ke daerah pusat ekonomi.
Dari total 3.151.900 pekerja yang merupakan pekerja sirkuler, provinsi yang memiliki jumlah pekerja sirkuler terbanyak adalah Jawa Barat. Sebanyak 27,5 persen pekerja sirkuler tinggal di sana. Setengah dari 10 posisi terbanyak pekerja sirkulernya berasal dari provinsi di Pulau Jawa. Sisanya dari Sumatra dan Sulawesi.
Sebanyak 25,3 persen pekerja sirkuler di Indonesia bekerja sebagai pekerja kasar. Diikuti dengan sektor usaha dan penjualan. Sama dengan pekerja migran risen, TNI-POLRI menduduki peringkat terakhir dengan hanya 31.519 orang pekerja sirkuler.
Kelompok movers terakhir adalah komuter. Tahun 2023 tercatat ada 7.384.300 orang yang merupakan pekerja komuter. Secara umum, jumlah pekerja komuter di Indonesia menurun. Tahun 2022 komuter di Indonesia berjumlah 8,1 juta orang yang terpusat di Pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
Tetapi, jika dibandingkan dengan 2022, hanya 5 dari 34 provinsi di Indonesia mengalami penurunan jumlah komuter.
Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah komuter terbesar dengan 1,9 juta orang atau 26,5 persen mengalami penurunan yang paling signifikan. Penurunan jumlah komuter ini sebanyak 2,5 persen atau 385 ribu orang.
Selain Pulau Jawa, kegiatan komuter terbesar ada di Provinsi Sumatra Utara, Lampung, Bali, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Sebanyak 1.731.600 pekerja komuter bekerja di sektor jasa dan penjualan. Sama dengan migran risen dan sirkuler, pada pekerja komuter sektor pekerjaan paling sedikit adalah TNI-POLRI dengan hanya hanya 96.200 orang di dalamnya.
Secara garis besar, persentase pekerja migran risen, sirkuler, maupun komuter paling sedikit ada di kawasan timur Indonesia. Pekerja di Indonesia terpusat di Pulau Jawa karena 55,9 persen penduduk Indonesia bertempat tinggal di Pulau Jawa. Selain itu, 57,8 persen Produk Domestik Bruto (PDRB) juga dihasilkan dari Pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
Reporter: Aliya R Putri