Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8

ADVERTISEMENT
Kasus positif corona di Indonesia terus bertambah setiap harinya. Berdasarkan data Gugus Tugas COVID-19, Jumat (15/5), kasus positif di Tanah Air mencapai 16.496. Lalu, kapan pandemi ini akan berakhir?
ADVERTISEMENT
Menurut Data-Driven Innovation Lab yang dinaungi Singapore University of Technology and Design (STUD), prediksi akhir pandemi di Indonesia baru berakhir 7 Oktober 2020. Prediksi tersebut diolah dengan bantuan artificial intelligence (AI) dengan sumber data 4 Mei 2020.
Meski begitu, prediksi tetaplah prediksi. Ada sejumlah variabel yang mampu mengubah jalannya prediksi tersebut. Mulai dari kebijakan pemerintah, sikap masyarakat, ketersediaan vaksin, hingga tingkat imunitas.
Paling tidak, kini sejumlah daerah telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Masyarakat tak lagi bisa beraktivitas normal. Mudik lebaran pun telah dilarang.
Secara teoritis, kebijakan membatasi pergerakan orang memang mampu membendung penularan corona. Namun fakta di lapangan, penambahan kasus positif corona nasional maupun di wilayah yang menerapkan PSBB tetap terjadi.
ADVERTISEMENT
Maka pertanyaan yang lebih penting adalah, bagaimana kita tahu apabila kita telah mengontrol penyebaran corona?
Grafik Penambahan Kasus Terhadap Waktu dalam Skala Normal
Kita terbiasa memahami perkembangan kasus corona melalui grafik penambahan kasus terhadap waktu. Grafik tersebut bisa dilihat di bawah ini:
Grafik tersebut menjadi yang paling mudah dipahami. Dalam diagram garis, sumbu Y (vertikal) merujuk pada jumlah kasus. Sementara sumbu X (horizontal) merujuk pada dimensi waktu kapan kasus tersebut terdeteksi. Pada prinsipnya, grafik ini berguna untuk melihat perkembangan kasus dari hari ke hari.
Minusnya, mata kita akan sulit untuk mengetahui tren penambahan kasus tersebut. Apakah sudah membaik atau justru semakin memburuk.
Grafik ini tak bisa mengukur tingkat keberhasilan suatu negara dalam menekan jumlah penambahan kasus corona. Kita perlu grafik lain yang lebih mencerminkan tren pertumbuhan kasus.
ADVERTISEMENT
Grafik Penambahan Kasus Terhadap Total Kasus dalam Skala Logaritmik
Aatish Bhatia, seorang fisikawan AS, juga punya keresahan yang sama. Ph.D dari Departemen Fisika dan Astronomi, Rutgers University, itu mencoba mengambil sudut pandang lain.
Ia menggunakan grafik penambahan kasus terhadap total kasus untuk mengukur tren pergerakan penyebaran corona. Dalam hal ini, penambahan kasus yang dimaksud Bhatia adalah penambahan kasus pekanan (weekly confirmed case).
Grafik ini memang memiliki dua kuantitas yang tidak lazim dilihat publik. Baik sumbu X maupun Y dalam diagram garis diisi satuan yang bersifat logaritmik (10,100, 1.000, dan seterusnya). Grafik ini digunakan untuk menormalisasi jangkauan nilai yang terlalu ekstrem.
Bhatia bukan cuma menawarkan sudut pandang tersebut. Ia bahkan membagikan metodologi dan sejumlah asumsi matematis yang ia gunakan di channel YouTube Minute Physics.
ADVERTISEMENT
Metodologinya dapat dilihat dalam video di bawah ini:
Bhatia pun membuat dashboard khusus di https://aatishb.com/covidtrends. Di sana, kita bisa melihat tren pergerakan penyebaran corona di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Secara umum, grafik yang dibuat Bhatia diasumsikan pada data total kasus positif dan jumlah kasus baru. Total kasus positif ia letakkan ke sumbu X, sementara jumlah kasus baru untuk sumbu Y.
Berdasarkan asumsi Bhatia itu, fase penurunan terjadi saat penambahan kasus pada pekan tertentu lebih sedikit dibanding penambahan kasus sebelumnya.
Tren Pertumbuhan Kasus
Data terakhir yang ada di database Bhatia ada pada tanggal 14 Mei 2020. Berdasarkan data tersebut, Indonesia belum bisa dikatakan memasuki fase penurunan. Sebaliknya, kurva di tanggal itu justru tampak paling tinggi dibanding hari-hari sebelumnya.
Pada 14 Mei 2020, total kasus positif di Indonesia mencapai 16.006. Sementara itu, penambahan kasus baru pekanan (8-14 Mei 2020) mencapai 3.230. Akibatnya, potongan garis antara data penambahan dan kasus positif masih terlihat linear ke atas.
ADVERTISEMENT
Hal yang berbeda justru terjadi di Malaysia dan Singapura. Grafik skala logaritmik di 2 negeri jiran tersebut mulai mengalami penurunan.
Di Malaysia, puncak tren pertumbuhan kasus terjadi pada 21 Maret 2020. Kala itu, total kasus mencapai 1.183, sedangkan penambahan kasus baru (15-21 Maret) mencapai 945.
Pada 14 Mei 2020, jumlah kasus positif di Malaysia membengkak menjadi 6.819. Sementara itu, penambahan kasus turun menjadi 352.
Di atas kertas, jumlah kasus positif 14 Mei 2020 memang 6 kali lipat dibanding data 21 Maret 2020. Namun melalui skala logaritmik, kita dapat melihat grafik pertumbuhan kasusnya justru menurun secara tajam.
Sejak 18 Maret 2020, Malaysia memang sudah memberlakukan lockdown. Orang yang keluar rumah diancam kurungan maksimal 6 bulan penjara. Dalam rentang 2 bulan, tepatnya 4 Mei 2020, Malaysia mulai melonggarkan lockdown karena dianggap sudah memasuki fase penurunan corona.
ADVERTISEMENT
Selain Malaysia, fase penurunan juga terjadi di Singapura. Di negara tersebut, fase puncak pertumbuhan kasus terjadi pada 26 April 2020. Namun setelahnya, tren pertumbuhan kasusnya mengalami penurunan.
Pada 26 April 2020, jumlah kasus positif di Singapura mencapai 13.624. Sementara penambahan kasusnya mencapai 7.036. Pada 14 Mei 2020, kasus positif mencapai 26.098, sedangkan penambahan kasus turun menjadi 5.159. Ini yang membuat grafiknya turut menurun.
=====
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona