Tri Maharani, Penyelamat Nyawa Manusia dari Gigitan Ular Berbisa

4 Oktober 2018 19:30 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dokter Tri Maharani memberikan penjelasan soal penanganan korban gigitan ular. (Foto: kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Dokter Tri Maharani memberikan penjelasan soal penanganan korban gigitan ular. (Foto: kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dengan wilayah geografis yang terdiri dari gunung, hutan, dan sungai, Indonesia menjadi wilayah yang strategis bagi 348 jenis ular. Ironisnya, meski ada 76 jenis ular berbisa yang ada di Indonesia, antivenom atau antibisa yang beredar di Indonesia hanya bisa digunakan bagi tiga jenis ular saja.
ADVERTISEMENT
Minimnya perhatian terhadap pertolongan gigitan ular berbisa di Indonesia membuat dokter spesialis emergensi, Tri Maharani, tergerak. Dengan subspesialisasi toksinologi, Tri tercatat sebagai salah satu dari 53 dokter penanganan bisa ular dan gigitan hewan berbahaya.
"Sebetulnya saya ini PNS di dinas kesehatan Provinsi Jawa Timur. Kemudian, saya memulai misi ini karena mata saya tercelik bahwa pasien gigitan ular itu terabaikan dan banyak orang mati percuma tanpa penanganan yang benar," kata Tri saat memberikan penjelasan pada Sobat Air ADES di Bea Muring, NTT.
Ilustrasi Ular King Cobra (Foto: shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ular King Cobra (Foto: shutterstock)
Pada tahun 2016 saja, menurut Tri, ada 135 ribu orang tergigit ular, 728 di antaranya tergigit ular berbisa dan 35 orang harus meninggal. Untuk itu, mulai tahun 2016 lalu, Tri mulai kegiatannya berkeliling Indonesia untuk memberikan edukasi soal penanganan gigitan ular berbisa.
ADVERTISEMENT
"Akhirnya saya berkeliling Indonesia, berkomitmen untuk melatih masyarakat dokter dan perawat tentang penanganannya yang benar," ungkap pakar penanganan bisa ular di Indonesia ini.
ilustrasi ular (Foto: dok.thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi ular (Foto: dok.thinkstock)
Soal penanganan terhadap bisa ular, Tri menyebut masih banyak orang yang menerapkannya secara salah. Umumnya, orang akan mengikat bagian yang tergigit ular dan mencoba mengeluarkan darah yang dipercaya mengandung bisa ular.
"Banyak yang bilang, semakin ikatannya kencang, semakin bisa ular tidak menjalar. Kemudian disedot darahnya, dikeluarkan darah banyak-banyak agar tidak menjalar. Itu salah," tegasnya.
Sebab, Tri menjelaskan, berdasarkan penelitian World Health Organization (WHO) tahun 1979, bisa ular tidak tersebar melalui pembuluh darah namun melalui kelenjar getah bening. Sehingga, mengikat bagian tubuh yang tergigit atau mengeluarkan darahnya adalah hal yang sia-sia.
ADVERTISEMENT
"Justru hal itu bisa menyebabkan pembekuan darah dan akhirnya diamputasi karena yang diikat adalah pembuluh darahnya," lanjut dia.
Satu-satunya pertolongan pertama yang benar bagi korban gigitan ular, menurut Tri, adalah imobilisasi atau membuat bagian tubuh yang digigit tidak bergerak. Sehingga, kelenjar getah bening yang berada di otot tidak akan bergerak dan menyebabkan bisa ular menyebar.
"Yang perlu dilakukan adalah dibuat tidak bergerak atau imobilisasi dengan alat bidai yang bisa dibuat dari kayu, bambu, gebog pisang, kulit kayu, atau kardus. Pokoknya apa saja yang bersifat rigid," jelas Tri.
Ilustrasi suplai P3K. (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi suplai P3K. (Foto: Shutterstock)
Bidai tersebut harus diikat kuat mulai dari ujung jari hingga sendi yang tidak bergerak. Misalnya, jika yang terkena gigitan ular adalah di kaki, maka bidai harus dipasang mulai dari ujung kaki hingga pangkal paha.
ADVERTISEMENT
"Kemudian untuk menggabungkan bidai ini bisa menggunakan kain, perban, atau elastic bandage. Pastikan ini terikat kuat dan tidak bergerak setelah itu baru dibawa ke tempat layanan kesehatan untuk diobservasi selama 48 jam atau dua hari," tuturnya.
Setelah dua hari, jika tidak terjadi tanda-tanda fase yang lebih berat atau fase sistemik, maka pasien sudah bisa pulang. Tri menjelaskan, ciri-ciri fase sistemik yang muncul bisa berbeda-beda tergantung jenis ular yang menggigitnya.
"Misalnya untuk ular hijau yang banyak di Pulau Flores ini adalah pendarahan. Jadi bekas gigitan akan berdarah, gusi mengalami pendarahan, mimisan, muntah darah, berak darah, kencing darah. Karena dia menimbulkan pendarahan di seluruh lubang tubuh," kata Tri.
Jika hal tersebut terjadi, Tri meminta agar korban segera menghubungi dirinya untuk mendapatkan antivenom atau penawar bisa. Sebab, anti venom yang tersedia di Indonesia hanya bisa digunakan untuk bisa ular kobra jawa, welang, dan biduk.
Ular copperhead. (Foto: Thomas Fatora)
zoom-in-whitePerbesar
Ular copperhead. (Foto: Thomas Fatora)
Sementara untuk antivenom jenis ular lainnya hanya bisa didapatkan melalui Tri saja. Sebab, Tri merupakan satu-satunya yang memegang izin edar obat tersebut di Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Dan itu bisa didapatkan secara gratis karena tugas saya memang tidak mencari profit tetapi untuk menolong nyawa manusia. Antivenom ini juga hanya bisa diberikan saat fase sistemik oleh dokter. Pada fase awal tidak perlu diberikan karena tidak ada gunanya," kata dia.
Meski demikian, Tri menyarankan agar korban gigitan ular segera menghubungi dirinya melalui website recsindonesia.blogspot.com atau melalui pesan WhatsApp di 085334030409. Sehingga, penanganan korban bisa ular bisa lebih cepat dan efektif.
"Saya buka RECS (Remote Envenomation Consultan Service) itu 24 jam. Saya sudah kerja 6 tahun dan 24 jam saya enggak tidur untuk menjawab orang-orang yang membutuhkan. Karena siapa lagi yang bisa menentukan jenis ularnya? Jadi silakan hubungi saya," pungkasnya.
ADVERTISEMENT